logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Percayalah Padaku

"Apa yang kamu sembunyikan sebenarnya, Del?" desak Bian lagi.
"Nggak ada. Aku serius, aku ...."
Ucapanku langsung terhenti saat Bian membingkai wajahku. Tatapan mata laki-laki ini teramat dalam penuh selidik, membuat detak jantung serasa diambil dengan cara paling menyakitkan. Bukan hanya salah tingkah, aku merasa seperti tersangka yang tidak bisa lagi mengelak.
"Kamu pembohong, Della! Kamu yang kukenal bukan begini!" ucap Bian penuh penekanan.
Sementara, aku kembali tidak berkutik, bingung harus bicara jujur dari mana. Tidak mungkin terus di dekatnya dalam keadaan seperti ini, kan? Tapi kalau jujur ....
"Della, katakan, aku harus melakukan apa untuk kejujuran kamu kali ini?" Bian menyentuh pundakku karena sejak tadi aku hanya mematung. "Apa aja, Del. Nyawa sekalipun silakan ambil!"
Tuhan, bagaimana ini? Segitunya Bian ingin aku mengurai permasalahan yang akhir-akhir ini menjadi beban pikiranku.
Kalau sampai Bian nekat melakukan hal yang sama seperti caranya mendapatkan cintaku ... atau bisa jadi lebih buruk dari itu, bagaimana? Aku jelas tidak akan memaafkan diri sendiri.
Dengan menguatkan hati, kutepis pelan tangan laki-laki tampan ini. Berpaling dari matanya, menatap ke arah jalan raya yang mulai ditaburi rintik air dari langit. Suasananya selalu hujan dalam beberapa kesempatan bersama Bian.
"Kalau aku berterus terang, kamu bakalan benci banget sama aku, nggak?." Dengan suara gemetar selesai juga kalimat itu.
"Enggak, Della. Apa pun yang terjadi setelah ini, tidak akan pernah mempengaruhi perasaanku. Aku janji, dan aku sangat mencintaimu!" balasnya penuh keyakinan.
Akhirnya kuceritakan tulisan misterius berpita kuning dan merah itu, apa saja isi ancamannya, serta teror itu berhenti kalau intensitas pertemuan kami juga berkurang. Supaya Bian percaya, aku juga menunjukkan foto media teror itu.
Bian tercengang, beberapa kali dia mengusap wajah gusar.
"Sekarang terserah kamu. Mau percaya atau enggak, Bi. Kita putus juga demi kebaikan kamu," ucapku pelan memecah suasana canggung.
"Terus, apa dengan putus masalah ini selesai?"
"Semoga saja."
"Bagaimana dengan cinta kita, Della?"
Bagaimana? Ya aku nggak ngerti, aku juga takut kehilangan kamu sebenarnya, Bi. Yaelah dari tadi malah balik nanya, nggak nyari jalan keluar.
Tidak ingin terlihat cengeng di depan Bian, aku menepuk pundaknya pelan. "Semua akan berlalu seiring kita yang berusaha melupakan."
"Della, tapi aku nggak bisa. Dan, kamu nggak boleh menghadapi ujian cinta ini sendirian. Kita akan tetap bersama, apa pun yang terjadi. Oke!" pungkas Bian.
Sebelum aku mengutarakan penolakan lagi, Bian lebih dulu menggenggam tanganku. Mengatakan bahwa tidak ada yang boleh memisahkan cinta kami, apa dan siapa bukan hal penting merintangi perjuangan. Cinta akan selalu diuji untuk mengetahui, dua orang yang katanya saling mencintai memilih berjuang atau menyerah.
Baiklah, demi kamu aku juga akan berjuang melewati ini semua. Aku percaya kamu orang baik, Bi. Akan selalu menemani aku.
°°°°
Matahari memberikan sinarnya yang hangat perlahan, saat aku memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju kantor. Jalanan macet yang biasanya membuat uring-uringan, sekarang tidak lagi. Bahkan, aku membuka setengah kaca mobil, membiarkan angin bercampur polusi menerpa wajah dan rambut dari samping kanan. Suasana hati yang berbeda ternyata membuat pagi lebih berwarna.
Bahagia, bebas, itulah yang aku rasakan sekarang. Sudah seminggu teror itu lenyap, padahal aku masih jalan diam-diam sama Bian. Backstreet gitu istilahnya, lebih banyak komunikasi di handphone kalau kangen..
Iya barangkali saja orang yang meneror itu mengira kami sudah putus, atau ... capek mungkin jadi detektif. Semoga saja.
Tuk!
Sebuah benda tiba-tiba jatuh tepat mengenai setir, kemudian menggelinding begitu saja sampai menabrak sepatuku. Sepertinya sengaja di lempar salah satu pengendara motor dari kanan mobilku, entah siapa. Kan, tidak mungkin mengamati pengendara satu demi satu, di saat jalanan ramai begini.
Sekilas melihat ke bawah, itu hanya sebuah pensil berwarna hijau yang dibalut ... oh tidak, kertas putih dengan pita merah hati?
Tergesa kujalankan mobil karena sudah berada tidak jauh dari kantor, memarkir rapi di sebelah kendaraan roda empat lain akhirnya. Mengambil benda yang kembali membuatku panik. Maksud hati hendak membaca, tapi teguran beberapa orang teman memaksa buru-buru menyembunyikan benda ini dalam tas.
Nanti saja dibuka, syukur kalau ketemu Bian. Sekarang sebaiknya aku ikut mereka masuk ruang kerja, berakting manis seolah tidak terjadi apa-apa.
[Bi, aku dapat teror itu lagi]
Send.
Sesampainya di ruangan kerja, langsung kukirim pesan pada Bian.
Tidak menunggu lama apa yang kutulis berubah centang dua warna biru, langsung dibaca. Nggak sibuk mungkin dia.
[Udah dibaca?]
[Belum, aku di kantor sekarang. Nunggu kamu aja nanti]
[Ya sudah, nanti pulang kantor kita ketemu di Persada Resto]
[Iya, deh]
[Matiin handphone, kerja yang bener!]
[Iya]
Cerewet banget jadi pacar.
Buru-buru aku mematikan wifi, memasukkan benda pipih itu ke tas bersamaan langkah teman kerja yang terdengar dari luar pintu. Nasiblah, hari ini jadwal padat, fokus nggak fokus ya tetap mikir.
Pekerjaan dari awal hingga akhir, aku hanya mengerjakan file-file itu setengah hati. Nggak ditanya teman, nggak disuruh presentasi, aman. Pikiran sedang tertuju pada pensil di dalam tas. Kan, gawat kalau pak bos minta aku menjabarkan materi saat meeting misalnya.
°°°°
Sore ini aku benar-benar mengembuskan napas lega, akhirnya terbebas dari rutinitas melelahkan hari senin. Meski tidak benar-benar tenang aslinya, sih.
"Della. Mau jalan sama kita, nggak?" tanya salah seorang teman dekatku.
"Enggak, dehh. Aku langsung pulang aja," jawabku memasang ekspresi semalas mungkin. "Maaf, ya."
"Sejak kapan Bu Della jadi cewek rumahan?" celetuk salah satu karyawan.
"Setahu aku sih sejak Bu Della punya pacar direktur cakep itu, lho!" sahut yang lain, langsung disusul tawa.
Ngadi-ngadi emang anak kantor, nih. Namun, aku tersenyum juga oleh candaan mereka.
"Pada berisik deh kalian!" Aku pura-pura kesal yang justru disambut ciye-ciye mereka. "Jalan dulu, ya, mau pulang!"
"Iya, calon Bu direktur!"
Aku langsung menutup pintu mobil, menyalakan mesin hingga kendaraan roda empat ini tancap gas meninggalkan area parkir kantor tempatku bekerja. Tidak kuhiraukan ledekan teman-temanku yang sering absurd itu, yang masih setia di teras entah menunggu apa.
Hah, aku benar-benar tidak ingin bercanda apalagi jalan-jalan. Beban pikiran kali ini tidak bisa selesai hanya dengan heng out. Aku ingin ketemu Bian, supaya masalah cepat selesai.
"Halo, Bi. Kamu udah di resto?" Aku langsung menanyakan keberadaan pacarku, begitu telepon terhubung.
"Iya, barusan. Kamu di mana, Del?"
"Masih di jalan, lima menit aku sampai situ."
"Oke. Hati-hati kalau nyetir."
Iya, cerewet lagi, sih!
"Oke, deh, tungguin!"
Usai mematikan sambungan telepon, aku kembali melajukan mobil langsung ke Persada Resto. Kali ini agak ngebut mengejar waktu.

Book Comment (427)

  • avatar
    KeringBatu

    aku suka dengan crita ini

    19/06

      0
  • avatar
    PirahSafirah

    Mantapp

    26/03

      0
  • avatar
    DinanaFiki Ariska

    👍👍👍👍

    06/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters