logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Karena Aku Mencintaimu

Karena Aku Mencintaimu

Syerril Elizhafa


Chapter 1 Awal Mula

Ternyata apa yang dikatakan Mama tadi tidak meleset, pesta pernikahan Kak Erin yang meriah ini tamu undangannya lebih di dominasi orang-orang seumuranku. Pantas Mama bersikeras menyuruhku datang, dengan alasan tidak enak badan.
Meskipun sama-sama kerja kantoran, suasana canggung tetap saja ada. Bagiku ini tetap pertemuan formal.
Belum apa-apa sudah capek sendiri. Banyak yang berbincang berkelompok atau dengan teman barunya sambil membawa cawan berisi minuman. Sedangkan aku, mau ngobrol sama siapa? Di sini tidak satu pun yang kukenal. Aku hanya mewakili Mama. Temanku sama sekali tidak ada.
Belum selesai mencoba berdamai dengan pikiran, tiba-tiba seorang laki-laki yang asik berbincang dengan teman di sebelahnya, menumpahkan minuman ke bajuku. Tidak semua, tapi cukup membuat sedikit bagian gaunku berubah warna. Lagi pula dia juga tidak sengaja, mungkin.
Iya, tapi aku yang malu. Gaun peach yang aku kenakan menjadi sedikit kemerahan. Kena sirup.
"Yaa, basah, deh!" sungutku yang membuat laki-laki itu juga beberapa orang menoleh.
Menyadari sudah melakukan kesalahan akut, dia buru-buru minta maaf. Namun, terlambat. Secepat kilat aku menitipkan kado pada orang di sebelahku dan berlari ke luar gedung. Biar sajalah tidak mengikuti acara hingga selesai. Toh, amanah Mama sudah tersampaikan.
Berlari dan terus berlari melewati deretan kendaraan di area parkir yang luas, tidak kupedulikan pandangan aneh orang-orang yang baru datang dan berpapasan denganku. Sampai di mobil, aku segera menutup pintu dari dalam. Hendak menghubungi Mama, tapi ...
Tuk! Tuk! Tuk!
Laki-laki yang tadi menumpahkan minuman ke gaunku, ternyata menyusul. Dia mengetuk kaca mobil dari luar minta dibukakan. Basi, dah, memangnya kalau minta maaf pakaian ini bisa kering bagus seperti semula.
Tanpa menghiraukan dia, aku tancap gas melajukan mobil. Tentu sambil marah-marah sepanjang jalan pulang. Kalau tahu begini, mending rebahan saja.
Tiba di pintu gerbang rumah, mobil langsung kulajukan ke garasi. Tidak peduli tatapan heran Pak Satpam. Namun, saat ke luar dari mobil hendak meninggalkan garasi, aku dikejutkan oleh adu mulut antara Pak satpam dan seseorang dari dalam mobil BMW hitam.
Awalnya tidak jelas siapa orang itu, tapi setelah aku mendekat karena rasa penasaran dan dia ke luar dari pintu kemudi ... ya ampun, laki-laki tadi ternyata. Kok, bisa menyusul ke sini, terus tepat waktu?
"Ada apa, Pak?" tanyaku menghentikan percekcokan mereka.
Pak satpam memandangku masih dengan wajah geram. "Ini, Neng. Orang ini memaksa masuk pas saya mau nutup gerbang. Katanya ada urusan penting sama Eneng. Ditanya baik-baik, eh marah!"
Yang dituduh masih diam menunggu. Memasang ekspresi tidak bersalah.
"Ya sudah. Maafin dia, ya, Pak. Dia temen kampus saya," ucapku tersenyum simpul.
"Hah, temennya Eneng? Tapi, kok, nggak tahu namanya Eneng, ya?"
"Udah, nggak apa-apa."
"Terus dibiarin masuk sama mobilnya atau ...."
"Tidak usah, Pak!" potong laki-laki berkemeja biru itu cepat. "Saya cuma mau bicara sebentar sama dia."
Laki-laki aneh itu menarik tanganku menjauhi Pak satpam. Namun, tidak segera bicara. Dia hanya mematung gugup sampai aku yang mulai bertanya. Dasar nggak waras!
"Kamu ngapain ngikutin aku pulang?"
"Saya minta maaf atas peristiwa tadi. Gara-gara saya tidak sengaja, kamu jadi gagal ikut pesta sampai selesai," balasnya dengan ekspresi serba salah.
Aku mengembuskan napas kasar. "Udah lupain aja. Aku nggak apa-apa, kok."
"Kamu nggak marah?"
Aku menggeleng, percuma marah sama laki-laki tahu nggak sih! Paling ngajak ribut terus selesai dengan minta maaf doang.
"Minta ganti rugi berapa?" tanya laki-laki itu ngeyel.
Apaan sih ini orang, cerewet nggak pulang-pulang. Dia laki-laki tulen apa bencis?
"Udah nggak usah, mending kamu pulang. Udah malam!" tolakku.
Aku hendak melangkah meninggalkannya, tapi dia buru-buru mencengkeram tanganku ditahan pergi. "Kita belum kenalan. Selain maaf, saya juga butuh nama kamu."
"Apaan!" Aku menepis kasar tangannya. "Nggak penting tahu!" Kemudian segera berjalan cepat menjauh.
Rupanya laki-laki itu tetap mengejarku dan berhasil menaruh tanganku untuk digenggamkan pada sebuah kertas agak tebal. Sebelum berlalu pergi, dia sempat mengucapkan kalimat yang membuat aku mematung cukup lama.
"Itu kartu nama saya. Saya tahu kamu tidak tulus memaafkan, dan saya punya segala macam cara setelah mengetahui kamu tinggal di sini."
Maksudnya apa? Dasar norak!
Aku tidak menanggapi sampai deru mobil laki-laki itu menjauh. Meletakkan asal kartu namanya di tas supaya tidak ketahuan Mama maupun Papa. Lalu, masuk rumah. Datang sendiri, pergi sendiri. Apa namanya kalau bukan aneh.
Benar, kan. Di sofa ruang tamu yang berwarna hijau tua, kedua orang tuaku menunggu. Dan, mereka terkejut melihatku pulang cepat. Lebih awal dari prediksi, kan, ya.
"Loh, Della. Kok, cepat sekali ke pesta?" tanya Papa begitu aku duduk di hadapannya.
"Iya. Kamu jadi berangkat, kan, Sayang?" Kali ini ganti Mama bertanya penuh selidik.
"Jadi, Pa, Ma. Tapi ya gitu sampai di sana bete terus pulang!" sungutku sambil menopang dagu.
Mama terkekeh, wanita yang kecantikannya menurun padaku itu berjalan mendekat dan duduk di sampingku. "Memangnya kenapa? Cerita, kamu tadi di pesta mengalami apa, Sayang?"
Kuembuskan napas berat sebelum bicara. "Gaunku kesiram sirup, Ma. Padahal aku nggak kenal sama orangnya, belum kasih kado ke pengantin juga. Ya udah aku titipin aja itu kado!"
Mama menanggapi antusias. "Terus dia nggak minta maaf atau ganti rugi, Del?"
"Ya enggaklah, Ma!"
"Kamu pulang juga sendiri? Nggak dianterin?"
"Ma, sudahlah. Itu cuma masalah kecil. Jangan terlalu memanjakan anak!" Papa yang sejak tadi menyimak, langsung angkat bicara. Mungkin bosan dengan kami.
Pengalamanku terlalu receh, tapi tetap dibesar-besarkan. Padahal sudah kerja di kantor.
Anaknya membesar-besarkan masalah, Mamanya antusias membela. Padahal, kan ... namanya juga orang tua. Sih, nggak salah.
Papa nyebelin!
"Papa ini!" Mama langsung pasang badan berdiri membelaku. "Della kan anak kita satu-satunya, wajar dong kalau ada yang menyakiti dia, terus Mama bela!"
"Iya, tapi Della tidak diapa-apakan sama orang itu, kan? Pulang dengan selamat, mobilnya selamat, tidak dirampok. Gaun toh bisa dicuci atau beli lagi!"
"Pa, tapi kalau dibiarkan, orang itu pasti berani kurang ajar sama Della! Anak kita!"
Aku hanya mendengarkan adu mulut mereka, bingung harus melerai. Orang tuaku sama-sama keras kepala dan suka ribut, kalau aku kenapa-kenapa. Jadi, ya sudah menunggu selesai saja. Meskipun dengan resiko kepalaku sakit dengan suara terlalu berisik.
"Sayang, sudah kamu ganti baju terus istirahat. Papa biar Mama yang hadapi." Mama mengultimatum.
Akhirnya aku dipersilakan pergi juga.
Buru-buru aku berdiri dan bicara. "Della ke kamar dulu, Ma, Pa!"
Setelah itu, aku menaiki anak tangga, berganti pakaian, dan merebahkan diri di tempat tidur. Pertengkaran Mama Papa membuat aku lelah.

Book Comment (427)

  • avatar
    KeringBatu

    aku suka dengan crita ini

    19/06

      0
  • avatar
    PirahSafirah

    Mantapp

    26/03

      0
  • avatar
    DinanaFiki Ariska

    👍👍👍👍

    06/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters