logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 56

"Kamu lapar?" Rasa lapar itu tak terasa saat di kepalanya berkecamuk banyak masalah.
"Aku masak ya." Delisha ingin mencegah laki-laki itu. Tapi Ayden membuka jaket miliknya dan hanya memakai kaos oblong berwarna hitam.
Ayden keluar. Delisha akhirnya mengikuti Ayden. Orang tua Ayden belum masuk ke kamar, bahkan mereka sibuk mengagumi kreatur Cheryl. Bayi mengemaskan yang membuat Delisha bertahan hidup hingga sekarang.
"Ayden mau masak, Ma. Lisha lapar." Delisha hanya menunduk saat Ibu Ayden menatapnya tajam, seperti tak suka dengan dirinya.
Delisha dan Ayden melewati ruang tamu dan menuju dapur.
"Kita masak yang sederhana aja. Rebus wortel aja sama daun seledri. Biar ASI-nya lancar."
"Aku bantu." Delisha menawarkan diri. Ayden mengeluarkan empat potong wortel dari kulkas. Delisha mencucinya dan memotong bulat-bulat.
"Ini ada tahu kering. Bisa dicampur kayaknya kan?" Delisha hanya mengangguk. Dia jarang memasak, jadi ukuran wortel yang ia buat ukurannya besar-besar dan tak karuan semuanya.
"Kamu ngantuk?"
"Dikit."
Ayden mengambil air di panci dan merebusnya setelah itu ia masukan tahu kering yang ia maksud. Laki-laki itu mengiris daun seledri.
"Tapi kayaknya nggak enak kalau nggak ada ayam. Tambah ayam aja ya." Tanya sendiri, jawab sendiri. Delisha hanya tersenyum dengan kegilaan Ayden. Laki-laki itu mengeluarkan ayam bahkan udang juga.
Kalau boleh jujur, Delisha lebih nyaman berada di sini dan bisa merasakan rumah itu di sini. Bagaimana mungkin rumah orang dia anggap seperti rumah, jika rumahnya yang selama ini ia tempati terasa seperti neraka.
Delisha memasukan wortel yang sudah ia potong dan Ayden membersihkan ayam dan memisahkan dari es yang masih beku.
"Setelah kenyang boleh tidur. Biar besok pagi, Cheryl ada makanan." Delisha berbalik dan memandang laki-laki ini. Dia sangat perhatian pada dirinya, walau semua kekacauan ini Ayden yang menciptakannya tapi dia membuktikannya dengan bertanggung jawab. Usianya masih muda tapi cara berpikirnya seperti orang dewasa. Diam-diam, Delisha begitu salut pada Ayden.
Keduanya duduk menunggu makanan mereka makan dan mencicipi rasanya.
"Lisha mau makan pakai nasi?"
"Dikit aja." Delisha duduk, saat Ayden sudah menyedok nasi.
Soup dadakan buatan mereka sudah jadi.
Delisha tak sadar dia tersenyum begitu lebar saat melihat soup dengan asap yang masih mengepul tersebut.
"Mari kita makan."
Delisha terkikik. Dengan satu centong nasi dan satu mangkuk soup ayam, sepertinya dia akan sangat kenyang, bahkan tak perlu sarapan esok hari.
"Aku sedikit mengantuk." Ayden hanya mengangguk dan makan begitu lahap. Keduanya makan dalam diam, walau Delisha seperti tak bisa menahan lagi rasa kantuk yang luar biasa menyerangnya sekarang.
"Habiskan, Lisha! Baru tidur." Delisha makan lagi. Kalau mau egois dia mau berhenti sekarang, tapi mengingat wajah imut Cheryl yang mengemaskan dia langsung makan banyak, karena tahu bayinya itu banyak makan dan juga tak sabar biar Cheryl cepat besar.
"Kita lomba ya. Siapa yang habis duluan, nanti dapat jatah cium Cheryl besok pagi." Delisha tersenyum dan menggeleng, walau tak sabar juga untuk menghabiskan. Dia sebenarnya tidak mau berpisah dengan putrinya, tapi mengalah karena sadar diri.
"Kenyang." tandas Ayden saat minum air begitu banyak. Delisha hanya tersisa satu sendok dan tersisa kuah soup.
Saat kembali ke kamar, Delisha mengintip orang tua Ayden dan mereka sudah tidak ada di tempat. Delisha bernapas lega, tak perlu kucing-kucingan dengan orang tua Ayden.
Sebenarnya merasa kikuk, Delisha harus tidur di kamar Ayden. Walau memang hanya tidur, tidak ada hal lain yang dilakukan.
Keduanya berjalan dengan perut yang terasa sangat kenyang. Ayden mengamit tangan Delisha dan keduanya tersenyum. Ingin sekali merasakan seperti remaja normal seperti yang lainnya tapi takdir hidup mereka berbeda.
"Kamu suka hidup lampu atau mati?"
"Mati aja."
"Sikat gigi dulu." Delisha menggeleng, tapi Ayden menarik dirinya dan memberi sikat gigi dan sikat gigi bersama.
"Biasakan tidur malam sikat gigi, cuci muka, cuci kaki. Pakai kaos kaki biar tidurnya nyaman."
Saat keluar, Delisha mengintip jam berapa. Sudah pukul 2 dini hari. Di saat yang lain sedang tertidur pulas, Delisha baru tertidur dan dia harus bangun pagi untuk menyiapkan kebutuhan Cheryl. Delisha jadi teringat putrinya apa bayi merah itu bangun? Apa Cheryl menangis? Dia tidak bisa tenang sekarang. Delisha tak bisa tidur tanpa menghirup aroma bayi Cheryl.
"Udah tidur."
"Tapi Cheryl?"
"Dia udah tidur tuh. Kan Mama pernah jadi orang tua jadi tahu gimana ngurus bayi." Delisha dengan ragu naik ke atas ranjang, Ayden terus menarik dirinya untuk mendekat. Gadis itu tak memikirkan apa-apa. Saat dulu masih bodoh dan tak tahu perbuatannya bisa menghasilkan anak, dan sekarang juga Delisha juga masih merasa bodoh.
"Jangan pikirkan apapun. Tutup aja matanya dan rasakan kalau kamu itu capek bangat, seolah besok itu kamu harus kerja berat, jadi sekarang waktu kamu untuk tidur." Sugesti itu memang sukses membuat mata Delisha terasa berat, tapi saat tangan Ayden melingkar di perutnya dia tidak bisa menutup matanya.
"Kenapa?" Ayden seperti mengerti keresahan yang Delisha rasakan. Gadis itu masih menyembunyikan kepalanya di dada Ayden.
"Nggak mau tidur?"
"Nggak ngantuk lagi."
"Hitung domba aja. Atau hitung mundur, entar bisa tidur. Nanti besok ngantuk." Delisha menggeleng. Memikirkan banyak hal membuat dia terkadang takut menutup matanya dan saat membuka dia mendapati kenyataan yang lebih kejam dari ini, dan Delisha tak siap sama sekali.
"Jangan pikirkan yang memang di luar kuasa kita." Delisha hanya mengangguk tapi tak kunjung menutupi matanya.
Ayden bangun dan bersandar di headboard, Delisha juga ikut bangun. Delisha menyandarkan kepalanya di bahu Ayden.
"Kamu tidur ngorok nggak?"
"Nggak!"
"Yaudah, mau tidur nggak, Mami Cheryl?"
"Aku bukan Mama kamu." Ayden terkekeh. Di ruangan yang remang-remang itu, keduanya terdiam menikmati pelukan hangat yang diberikan masing-masing lawan, dan memikirkan banyak hal, terutama status mereka yang sebenarnya sudah menjadi orang tua di usia yang super muda seperti ini.
"Kamu bangga punya anak?" Delisha terdiam. Dulu saat tahu dia akan punya anak semuda ini, Delisha merasa dunianya berhenti, Delisha ingin mati. Tapi saat makhluk mengemaskan itu lahir, dia punya harapan baru, Delisha ingin merawat Cheryl, Delisha ingin melihat Cheryl tumbuh jadi anak yang pintar dan mengemaskan.
"Setiap orang di dunia ini pasti bangga punya anak, walau anaknya jelek, jahat, bahkan cacat sekalipun." Delisha menjawab dengan merasakan perih yang luar biasa saat dia mengingat keluarganya. Dia adalah anak yang tak pernah dianggap, padahal dia selalu bersikap menjadi anak manis yang dinginkan semua orang tua.
"Kamu luar biasa, Lisha!"
Delisha tersenyum sekilas. Dia tahu hidupnya seolah berakhir sekarang, tapi banyak hal yang membuat mereka belajar dan mampu bangkit. Dunia pasti melihat mereka aneh, dunia pasti akan mengatakan mereka, tapi banyak hal yang tidak semua orang dapatkan dari kejadian yang mereka rasakan.
"Kamu akan tetap sekolah, Lisha. Jangan takut." Delisha melihat Ayden lagi. Di tengah kegelapan Ayden bisa melihat bagaimana Delisha tersenyum dan bibirnya juga menungingkan senyuman ke atas.
Hanya bunyi pendingin ruangan yang terasa. Delisha akan kabur sebentar ke sini sebelum ia memutuskan untuk menginap di mana lagi, seolah hidupnya nomaden.
"Saat kita merasa hidup kita paling sial tapi ada hidup orang lain lebih parah dari kita. Bukan membandingkan orang lain agar kita bersyukur, tapi aku aku mau kami selalu ingat bukan kita yang menderita sendirian di dunia ada. Begitu banyak kisah orang-orang yang bisa kita petik hikmahnya."
"Kamu macam ceramah." komentar Delisha. Ayden selalu bersikap seperti orang tua yang sudah tahu asam-garam kehidupan, walau Delisha diam-diam menyetujui hal itu.
Delisha masih nyaman memeluk Ayden. Laki-laki itu mengelus-elus rambutnya bahkan menciumnya.
"Aku tahu hubungan kamu dan keluargamu kacau. Aku akan membujuk orang tua aku biar kamu boleh tinggal di sini. Kita akan mengurus Cheryl bersama." Delisha hanya mencengkram celana laki-laki itu. Terkadang dia ingin mengutuk laki-laki ini, tapi dia juga bersyukur mengenal Ayden dalam hidupnya.
"Kamu pernah mikirin masa depan seperti apa?" tanya Delisha, yang pasti dia akan hidup bersama Cheryl hingga dewasa.
"Terlalu panjang mikirin itu. Tapi aku pasti akan sekolah, kuliah, dapat kerja." Delisha juga memikirkan hal yang sama. Dia juga sebentar lagi lulus kuliah.
"Nanti sekolah sama aku aja."
"Kenapa gitu?"
"Nggak kenapa-kenapa. Kan kamu mau sekolah."
"Cheryl?" Apapun yang akan Delisha lakukan dia akan memikirkan nasib anaknya terlebih dahulu.
"Dia akan berada di tangan yang tepat. Jangan takut." Delisha semakin memeluk laki-laki ini. Ini adalah kesempatan pada mereka untuk membicarakan banyak hal.
"Terima kasih."
"Untuk?"
"Terima kasih buat semuanya."
"Kamu hebat, Lisha! Kamu luar biasa. Kamu masih kecil, tapi kamu sangat tegar sampai sekarang. Semoga di masa depan kita bisa bersama." Seperti sebuah janji manis yang bisa membuat siapa saja mabuk. Walau Delisha tersenyum dan berharap dia tetap bersama Ayden, hanya untuk Sekarang mereka akan fokus pada Cheryl dan juga sekolah mereka.
"Kamu mau sama aku, pas kita udah dewasa? Aku akan kerja, Cheryl akan bahagia." Delisha langsung membayangkan hidup seperti apa yang akan mereka jalani, bahkan rahimnya kembali terasa menghangat.
"Yang utama itu Cheryl." Ayden mengangguk. Dia belum dewasa, tapi merasa ini adalah tanggung jawabnya untuk menghidupi putrinya.
"Kita akan merawat Cheryl bersama." Tanpa terasa pelukan itu semakin erat. Mereka adalah kedua remaja yang terjebak dengan kehidupan orang dewasa dan memiliki impian yang sangat indah, dan mereka belum tahu tantangan apa yang terjadi ke depan.
"Aku boleh cium nggak?" Bukan! Bukan Ayden yang menawarkan tapi Delisha. Dia hanya ingin menyalurkan perasaan yang ia rasakan pada laki-laki. Rasa terlindungi, rasa nyaman, semua perasaan yang tak pernah ia rasakan dan tak pernah dia dapatkan dari orangtuanya.
Delisha duduk di pangkuan Ayden dan memeluk belakang laki-laki itu. Ayden hanya tersenyum. Harusnya mereka anak remaja yang dipusingkan dengan banyak pekerjaan sekolah atau putus cinta, tapi mereka harus berhadapan dengan minyak bayi, popok bayi, memandikan bayi.
"Aku suka dengan bau kamu. Bau bayi, bikin kangen." Delisha hanya tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke arah Ayden. Saat lidahnya keduanya kembali reuni. Ayden adalah laki-laki yang mengambil ciuman pertama, kedua dan begitu sampai seterusnya. Delisha suka mencium laki-laki ini. Gadis itu teringat jika dia sudah sikat gigi.
Ciuman itu semakin panas, Ayden tak berani menggerayangi pucuk dada Delisha takut air susu gadis itu keluar, akhirnya tangannya hanya bermain di lehernya. Pada akhirnya dia membawa bibirnya untuk mengecup leher Delisha dan memberi beberapa tanda.
"Eeuummm." Jika tak ingat jahitannya belum kering, Delisha tak segan untuk mengulangi tapi dia juga harus pandai menghitung agar tidak hamil lagi. Delisha belum siap untuk hamil terus-terusan.
Tanpa sadar pintu kamar mereka terbuka dan lampu kamar dihidupkan. Tubuh Delisha langsung terasa kaku.
"Selesaikan dulu. Nanti Mama masuk lagi. Cheryl nangis terus, tadi Mama panggil nggak dengar." Delisha hanya menunduk sedangkan napas hangat Ayden masih terasa di lehernya.

Book Comment (373)

  • avatar
    argariniratih pangestika

    novel nya bagus. banyak sekali pelajaran yg kita ambil dari kisah novel ini. miriss memang dengan anak muda jaman sekarang, semoga anak anak kita dan para remaja lainnya tidak terjerumus dalam pergaulan bebas. sangat disayangkan masa depan mereka harus hancur karna salah pergaulan.

    29/12/2021

      0
  • avatar
    SunifaMiftakhul

    ah aku seneng banget cerita ini😍

    05/08

      0
  • avatar
    YunusAshar

    Keren Kak, lanjutkan

    04/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters