logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 39

Delisha suka belajar, tapi tidak dengan pelajaran olahraga. Bagaimana dengan keadaannya sekarang ia tidak bebas bergerak. Bagaimana praktik olahraga terakhir sebelum minggu depan melaksanakan ujian nasional, dan Delisha akan fokus pada kehamilannya, dan menyambut kelahirannya, walau ia mungkin akan mengurus semuanya sendirian.
Terik matahari begitu menyengat. Delisha masih pakai sweater, walau tubuhnya kecil tapi tubuh ibu hamil dan tidak itu sangat berbeda.
Delisha hanya berdoa semoga tidak ada gilirannya, bagaimana mereka harus berlari 15 putaran mengelilingi lapangan basket, dan akan ada sit up 50 kali. Membayangkan saja Delisha akan pingsan duluan, dari dulu ia paling malas berolahraga.
Mana namanya termasuk awal sesuai dengan jadwal. Delisha hanya terdiam di bawah pohon Ketapang, melihat teman-temannya buat kelompok dan bergurau bersama.
Entah kenapa Delisha begitu takut, jika ketahuan sekarang. Gadis itu menghitung atau pura-pura kesurupan, jika ia pingsan maka semua akan tahu jika ia hamil. Delisha gelisah walau ia terlihat tenang, tapi dalam otaknya berperangai.
Priiiiitttt!
Pak Sucito meniupkan peluit, menyuruh semua siswa berkumpul dan memberi aba-aba dan pemanasan terlebih dahulu.
"Kalian lari 15 kali keliling lapangan. Yang cewek sit up 50 kali. Yang cowok push up 50 kali, ini nilai ujian praktek buat kelulusan. Ada pertanyaan?"
"Pak! Kalau misalkan, dia misalkan dia sit up lebih banyak bisa dapat nilai tinggi?" tanya Sela.
"Ya. Bisa Bapak pertimbangkan." Sela dan teman ceweknya jingkrak-jingkrak, dan bertos ria. Delisha diam, rasanya lebih baik mati.
"Biasanya kita mulai dari nomor absen pertama, sekarang Bapak mau dari terakhir."
"Yaaaahhhh." sorak semua murid kompak, apalagi barisan nama di belakang absen. Berarti Delisha masih bisa melihat teman-temannya yang lain melakukan sebelum ia menemukan strategi untuk kabur dari sini.
"Delisha kenapa masih pakai jaket? Buka jaketnya." Delisha menggeleng. Selama hamil, sweater busuk ini tak pernah ia tanggalkan jika keluar rumah.
"Dibuka aja. Karena cuaca juga panas sekarang."
Karena merasakan semua mata tertuju padanya, Delisha mundur dan dengan perlahan membuka sweater tersebut walau tubuhnya gemetaran takut ketahuan. Ia benar-benar terjebak sekarang.
Gadis itu bergabung dan Zian yang langsung berlari sebagai nama palinh terakhir.
Delisha hanya duduk di sana menyaksikan temannya berlari dengan napas ngos-ngosan. Delisha sepertinya tidak akan sanggup, bahkan ia tak bisa duduk terlalu lama sekarang, ia cepat merasa kelelahan. Mungkin ini juga alasan anak sekolah tak boleh hamil, karena bisa menganggu aktivitas sekolah. Sebagai anak sekolah yang masih muda dan aktif, mereka harus gesit.
Panas matahari semakin terik. Teman-teman yang sudah selesai bisa pergi ke kantin dan membeli minuman. Dan Delisha hanya seperti orang cengok.
Delisha mendekati Pak Sucipto.
Prrrriiit!!!
"Jangan curang larinya!" teriak Pak Sucipto.
"Pak! Napas saya mau putus!" teriak Sela tak mau kalah.
"Lari aja!"
Delisha sengaja meminta pada gurunya ia jadi bagian yang terakhir saja karena jika pingsan semua teman-temannya sudah berada di kantin.
"Pak! Saya mau yang terakhir aja. Perut saya sakit." Perut sakit tapi Delisha walah memegang wajahnya. Ia tak berani memegang perutnya karena bisa ketahuan dari bentuknya. Beruntung saat awal sudah dibeli baju olahraga yang kebesaran, dan ia bukan seperti teman-teman lain yang baju olahraga dikecilkan hingga sangat ketat seperti itu.
"Kenapa?"
"Sakit perut." Delisha melirik ke kantin yang berada di atas lapangan basket. Ayden ada di sana. Laki-laki itu menatap dirinya, tapi Delisha pura-pura tidak melihatnya.
Tanpa mendapatkan jawaban, Delisha kembali ke tempatnya semula dan melihat teman-temannya yang sudah keringatan dan tertawa. Andai ia bisa hidup normal seperti mereka. Hidup Delisha takkan sama lagi dengan teman-teman sebayanya. Ia akan mengurus anak, dan berhubungan dengan popok bayi dan minyak bayi. Merenungi ini, Delisha hanya bisa terdiam. Semua sudah terjadi apalagi yang mau diratapi? Ia hanya perlu menyiapkan mental untuk melahirkan nanti.
Gadis itu masih menunggu karena masih ada di barisan abjad M.
"Minum dulu." Delisha menoleh pada Ayden yang sudah menempelkan minuman di pipinya. Gadis itu diam, dan menerima minuman dari kekasihnya. Kekasih? Delisha tak yakin, hubungannya bersama Ayden simpang siur, mau dibilang mereka musuhan tapi hubungan mereka lebih intim dari itu. Teman intim tanpa status. Mungkin ini yang lebih baik.
"Olahraga?" Delisha mengangguk, saat membuka minuman teh campur mangga yang dingin dan segar. Beruntung teman-temannya pada sibuk, jika tidak ia akan diejek. Ayden adalah anak sekolah sebelah yang lumayan populer.
"Aku takut." bisik Delisha. Ayden mengangguk. Ia mengerti apa yang gadis kecil bodoh ini rasakan.
"Aku di sini. Nanti aku lihatin." Delisha mencengkram botol minuman warna kuning tersebut dan menunggu giliran. Saat Ayden berada di sampingnya ia merasa lebih tenang sekarang. Mau membenci laki-laki ini tapi rasanya Delisha seperti selalu membutuhkan Ayden. Hubungan simpang-siur yang tak tahu kemana arahnya.
"Kamu buka sweater?" Delisha mengangguk.
"Disuruh tadi."
"Nggak takut?" Delisha menatap Ayden. Kekhawatiran laki-laki ini sama seperti yang ia rasakan. Mereka sama-sama takut, jika ketahuan orang lain, mereka sama-sama takut jika dihakimi orang lain. Mereka adalah remaja-remaja naif yang salah arah.
"Nggak nampak kan?" Delisha malah bertanya balik, Ayden menggeleng. Selanjutnya keduanya terdiam.
Tiba giliran Delisha, gadis itu sempat deg-degan. Jika tidak ada Ayden ia akan pingsan.
Gadis itu memasuki lapangan dan sempat berbalik melihat Ayden yang mengangguk. Delisha menarik napas panjang, dan saat peluit panjang Pak Sucipto dibunyikan gadis itu mulai berlari pelan. Delisha masih bisa mengontrol di putaran ke ke 4. Delisha melihat teman-temannya yang sudah beristirahat semuanya. Ya Tuhan, napasnya sudah terasa berat dan matanya juga terasa berat, tapi Delisha tetap berlari dengan keadaan mata gelap.
Delisha sempat melihat keadaan lapangan yang terasa seperti berputar, dan semuanya terasa menghitam walau masih mendengar suara orang.

Book Comment (373)

  • avatar
    argariniratih pangestika

    novel nya bagus. banyak sekali pelajaran yg kita ambil dari kisah novel ini. miriss memang dengan anak muda jaman sekarang, semoga anak anak kita dan para remaja lainnya tidak terjerumus dalam pergaulan bebas. sangat disayangkan masa depan mereka harus hancur karna salah pergaulan.

    29/12/2021

      0
  • avatar
    SunifaMiftakhul

    ah aku seneng banget cerita ini😍

    05/08

      0
  • avatar
    YunusAshar

    Keren Kak, lanjutkan

    04/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters