logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 36

"Ayo masuk." Perasaan buruk sudah Delisha rasakan saat menginjakkan kaki pertamanya dalam ruangan itu. Padahal saat hanya bersama Ayden, Delisha merasa senang karena lebih biak daripada rumahnya yang disebut neraka.
"Kita ke ruangan Tante aja. Ini pembicaraan yang sangat pribadi dan intim." Delisha hanya mampu menunduk dengan keringat dingin yang terus menguncur dari tubuhnya.  Apa iya, Ibu Ayden seorang psikolog yang tahu cara mencuci otak manusia dengan memasukan dirinya dalam ruangan yang semuanya serba putih dan tak ada suara. Mungkin keluar dari ruangan itu Delisha jadi gila. Atau Delisha terus diputar suara-suara aneh yang seolah tak ada hentinya, otaknya dicuci.
"Masuk!" Semua pembicaraan itu terasa dominan, sehingga Delisha tahu ia berada dalam sebuah kendali dan ia hanya anak kecil cupu yang tak bisa apa-apa selain menurut.
Delisha sempat mengangkat wajahnya dan melihat keadaan sekeliling. Hanya ruangan kerja biasa. Banyak buku-buku di lemari dan di atas meja kerja yang ada laptop berwarna abu-abu di depannya. Gadis itu memperhatikan temboknya jangan-jangan berwarna putih, tapi tidak! Tembok itu berwarna jingga, sehingga terasa lebih segar.
"Duduk!" perintah lagi. Delisha duduk di bangku besar hitam yang terasa empuk, walau tidak dengan perasaannya yang terus was-was. Lantai terasa dingin, ruangan terasa dingin, tidak dengan perasaan Delisha yang sudah tak karuan.
"Siapa tadi namanya?"
"Lisha." jawab Delisha lemah sambil menunduk. Harusnya ia tak boleh menunjukan kelemahan pada lawannya, karena begitu lawannya akan semena-mena pada dirinya. Tapi Delisha bisa apa? Ia hanya anak kecil naif yang masuk dalam kubangan dosa dan terus tersedot ke dalam dan tak bisa kembali.
"Kelas berapa kamu?"
"Kelas IX Tante." Delisha makin menunduk, rasanya semakin malu dan merasa begitu terhina. Kamu baru kelas IX dan sudah bisa bikin anak? Itu yang Delisha rasakan saat pertanyaan itu terlontar dari bibir wanita cantik di depannya.
"Sebentar lagi ujian?" Delisha mengangguk. Pikirannya bercabang antara fokus belajar untuk ujian nasional atau menghadapi detik-detik kelahiran nanti. Delisha benar-benar harus menanggung dua masalah dalam waktu bersamaan. Walau kewajiban seorang pelajar seusianya adalah belajar bukan baca ilmu parenting atau memegang dot bayi.
"Iya."
"Ibu awalnya nggak nyangka dan berpikir, jika kamu sudah besar dan dewasa jadi tahu resiko yang kamu lakukan. Tapi—" Wanita itu menjeda kalimatnya dan tak jadi meneruskan, seolah berat mengatakan dan hanya mampu menggeleng.
Sinta mengira yang hamil anak yang tubuhnya besar dan anak yang berani dan dewasa. Karena anak-anak berani yang mencoba hal-hal seperti ini. Bukan anak kecil yang terlihat polos sekaligus bodoh! Sinta kehabisan kata-kata, bahkan memukul Ayden hingga kayu itu patah dan habis tidak akan menemukan solusi dan menjawab semua rasa penasarannya dan rasa marah yang ada dalam dirinya.
Delisha merasa semakin terpojok. Ruangan yang sebenarnya dingin tak membuat Delisha ikut menggigil, bahkan ia keringatan sekarang. Bagaimana ia ingin membuka sweater yang setia menempel di tubuhnya beberapa bulan terakhir ini.
"Udah hamil berapa bulan?" Delisha hanya mampu menggeleng, menggigit bibirnya dan menunduk.
Sinta memijit kepalanya. Benar-benar kepala otaknya bisa meledak sekarang. Bagaimana seorang anak kecil hamil dan bahkan tak tahu ia hamil berapa bulan sekarang, dan bisa Sinta tebak jika Delisha juga awalnya tak tahu jika ia hamil. Setan siapa yang merasuki pikiran Ayden hingga berbuat sejauh ini?
"Orang tuamu tahu ini?" Delisha menggeleng. Membahas orang tua perasaannya langsung ambyar. Bagaimana ia tak pernah merasakan arti sebuah keluarga dan juga orang tua.
"Bagaimana juga orang tuamu harus tahu ini. Bagaimana kalau melahirkan nanti?" Delisha sudah menahan tangisnya. Bagaimana memikirkan orang tua atau keluarga, semakin membuat dirinya hancur dan tak berdaya.
Kalau boleh, ia rela tinggal di hutan sendirian jika harus tinggal bersama orang tua itu—para iblis. Beruntung, Delisha selalu menghindar dan mengunci dirinya hingga tak perlu berinteraksi dengan mereka, karena melihat wajah mereka saja Delisha sudah merasa sial. Mereka menganggap Delisha anak pembawa sial, bagi Delisha para iblis itu sial bagi hidupnya.
Delisha diam. Diam seribu bahasa. Dihadapkan pada situasi apapun, ia tetap berada dalam pihak yang bersalah dan pihak yang lemah.
"Bagaimana Lisha?" Suaranya memang terdengar lembut, tapi Delisha itu adalah suara yang mengintimidasi, membuat lawan tak bisa berkutik dan hanya bisa berkata ya dan ya.
"Hah?" tanya Delisha dengan orang bodoh.
Sinta hanya menggeleng. Dia masih begitu kecil dan bodoh.
"Kenal Ayden di mana?" Delisha jadi ingat, jika ia kenal di kantin sekolah, saat ia bolos mata pelajaran matematika dan pergi ke kantin membeli roti dan ada segerombolan anak-anak dari sekolah sebelah.
"Di kantin." jawab Delisha polos. Dia memang berbicara apa adanya.
Ayo Lisha! Jangan seperti itu. Kamu bukan kambing atau sapi yang menurut jika hidungnya dicucuk. Kamu punya akal. Delisha terus merapalkan doa ini, tetap saja dari awal ia sudah kalah duluan.
"Kamu yakin itu anak Ayden?"
Rasanya Delisha disambar petir. Maksudnya bagaimana? Apakah ia hamil dari om-om kepala botak dengan perut buncit? Makaudnya begitu? Apa artinya Delisha begitu murahan di mata orang-orang? Padahal semua ini karena ia tak tahu sama sekali. Delisha begitu menyesal, tidak sex edukasi sedari dulu. Saat semuanya sudah terjadi baru ia membuka matanya selebar mungkin.
"Benar Lisha?" Delisha sudah mengangkat wajahnya dengan air mata penuh. Kenapa semua orang selalu menganggap dirinya rendah? Padahal Delisha tak merugikan mereka sedikitpun. Bahkan, jika boleh menuntut, Delisha bisa melaporkan Ayden ke kantor polisi karena usianya masih di bawah umur.
"Tante anggap saya murahan?" tanya Delisha dengan suara getir. Ya ia memang hamil semuda ini, tapi demi Tuhan jika tahu ia bisa hamil, Delisha takkan bodoh membuka dirinya untuk Ayden. Hati Delisha makin hancur, hati yang remuk itu semakin diinjak-injak hingga tak berbentuk.
"Nggak dong sayang. Sebagai orang tua, Ibu ingin memastikan semuanya. Siapa tahu, Ayden begitu naif dan labil untuk mengakui seperti itu. Mungkin karena ia kalah taruhan atau apa. Kamu cantik, jadi tidak salah kalau laki-laki pada taruhan."
"Jadi ... Karena saya cantik, Tante pikir saya akan menggoda semua laki-laki dan saya akan hamil dari semua laki-laki?" Walau pertanyaan terdengar begitu polos, tapi mengandung sarkas yang luar biasa.
Mulai detik ini, Delisha membenci Ayden hingga ke tulang-tulang. Bagaimana laki-laki itu menghancurkan hidupnya dan sekarang Ibunya semakin membuat dirinya remuk.
"Ibu tidak bilang seperti itu. Tapi kamu yang menuduh diri sendiri seperti itu. Berarti kamu yang mengakuinya sendiri!"
Terjebak! Delisha terjebak dengan orang dewasa dan masalah orang dewasa pula. Padahal, ia mengira pembicaraan ini akan lebih dari hati ke hati sebagai seorang ibu dan anak. Dirinya memang tak pantas menghirup oksigen di bumi.
"Karena Tante yang mancing duluan! Tante sebenarnya menuduh saya! Coba Tante tahu, jangan hanya menuduh dari pihak perempuan tapi dari laki-lakinya juga. Bagaimana Tante tidak tahu fakta bahwa saya tidak pernah tahu hamil seperti apa, dan anak Tante yang merusak saya. Tapi saya diam! Saya tak pernah menuntut Ayden. Karena saya yang bodoh! Tapi jangan menuduh saya murahan! Anak Tante itu yang brengsek!"
Tubuh Delisha gemetaran, tak menyangka ia bisa seberani ini untuk menentang orang dewasa. Semua perasaan dan apa yang ia pendam dalam keresahannya ia tumpahkan di sini.
"Berarti kamu dan Ayden tidak bisa bersama!" putus Sinta.
"Siapa yang mau sama dia? Saya tak pernah menuntut Ayden untuk tanggung jawab. Saya bisa melakukan semua ini sendirian."
Delisha langsung berdiri dari bangkunya dan berniat akan bunuh diri setelah keluar dari rumah ini, karena tak ada yang bisa ia harapkan dan juga pertahankan.
"Ini buat kamu! Dan jangan pernah ganggu hidup Ayden. Anggap saja kalian tidak salah mengenal! Mengenai anak itu, Ayden masih sekolah dia tidak pantas punya anak!"
Hati Delisha begitu panas. Gadis itu mengepalkan tangannya dan berbalik.
"Dan Tante pikir saya kerja? Saya orang dewasa? Saya bahkan masih terlalu anak-anak untuk mengerti masalah orang dewasa! Siapa yang membawa saya masuk dalam lingkaran ini? Ayden! Yang patut disalahkan di sini Ayden! Bahkan orang tuanya bagaimana mereka mendidik anak mereka bisa brengsek seperti itu!"
Delisha maju "Dan ini?" Delisha menarik amplop coklat yang sangat tebal tersebut. Gadis itu mengeluarkan isinya dengan tangan gemetar dan langsung mencampakkan di wajah Ibu Ayden. Benar-benar mencampakkan. Delisha pikir itu hanya ada dalam imajinasi liarnya, tapi ia bisa. Bahkan membuat Ibu Ayden menganga tak percaya. Ada anak kecil yang begitu berani seperti ini.
"Makan uang kalian! Manusia menang makhluk paling menjijikan!"
Delisha langsung keluar dari ruangan itu dan berlari. Ia takut! Begitu takut, bahkan kakinya seperti tak bisa lagi menopang dirinya karena tubuhnya gemetaran semuanya. Entah keberanian dari mana, tapi Delisha bisa melakukan hal yang luar biasa. Ia menjadi pahlawan untuk diri sendiri.
Demi apapun, Delisha membenci Ayden hingga seumur hidupnya! Bahkan anak yang ada dalam perutnya yang tidak tahu apa-apa Delisha benci!
Keadaan yang memaksa dirinya untuk menjadi kejam!

Book Comment (373)

  • avatar
    argariniratih pangestika

    novel nya bagus. banyak sekali pelajaran yg kita ambil dari kisah novel ini. miriss memang dengan anak muda jaman sekarang, semoga anak anak kita dan para remaja lainnya tidak terjerumus dalam pergaulan bebas. sangat disayangkan masa depan mereka harus hancur karna salah pergaulan.

    29/12/2021

      0
  • avatar
    SunifaMiftakhul

    ah aku seneng banget cerita ini😍

    05/08

      0
  • avatar
    YunusAshar

    Keren Kak, lanjutkan

    04/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters