logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 34

Sudah malam, artinya orang tua Ayden kembali ke kandang. Bagaimana sibuknya orang tua Ayden hingga ia merasa kesepian dan bersenang-senang bersama teman adalah jalan ninja. Walau Ayden sekarang tak bisa lagi bermain dengan teman-teman sebayanya, disaat yang lain sibuk memegang rokok, Ayden memegang botol susu bayi.
"Ada laporan apa?" Ayden hanya memandangi orang tuanya dengan wajah melas, meminta belas kasihan dan mungkin mencari solusinya. Pemikiran Delisha masih terlalu anak-anak hingga tak bisa diajak diskusi mengenai masa depan. Gadis itu masih tetap bodoh dan polos.
"Ma. Ayden benar-benar mau tanggung jawab. Dia masih sekolah, dan tetap mau sekolah."
"Berapa umurnya?" tanya Sinta. Jika membahas ini rasanya ingin merontokkan semua gigi Ayden karena kesal, bagaimana dengan gampangnya menghamili anak orang. Orang yang usianya 10 tahun di atasnya saja, mikir ribuan kali untuk menghamili anak orang dan anaknya sendiri begitu dungu. Bahkan jika punya kekutan seperti Ibu Malin Kundang, Sinta akan menyumpahi Ayden jadi batu.
"15 tahun."
"Ya Tuhan Ayden! Kamu benar-benar Mama dan Papa serangan jantung! Besok panggil anak itu, jumpai Mama dan Papa."
"Tangan Papa udah berkedut lagi nih." ujar Ayah Ayden. Ayden langsung meraba wajahnya yang bahkan lukanya belum kering.
"Ayden menyesal Pa. Makanya mau tanggung jawab." Orang tua Ayden malah tertawa geli. Yang bicara di depan mereka, pasti bukan putra semata wayang mereka. Bagaimana Ayden yang masih anak-anak sok jadi pahlawan mau bertanggung jawab, walau itu memang kewajibannya tapi itu tak bisa dilakukan.
"Bagus! Kalau kamu ada pikiran mau bertanggung jawab. Tapi, belum Papa izinkan sekarang. Urus Arjuna sampai kamu paham, bagaimana rasanya bertanggung jawab, baru Papa izinkan kamu bawa bayi itu ke rumah." Ayden langsung merasa sesak napas. Rasanya seperti semua masalah ditumpahkan di atas dadanya. Delisha bodoh dan polos, tak bisa diajak diskusi, orang tuanya egois yang tak bisa diajak kerjasama dan memberi solusi. Malah membuat dirinya semakin bertambah beban. Kenapa pemikiran orang tuanya terlalu rumit, dengan menambah beban dalam hidupnya? Bukankah ia bersikap sangat dewasa dan gentleman sejati mau bertanggung jawab.
"Papa, Mama nggak bisa diajak kerjasama. Mana ada orang tua yang bikin anak susah?" Kesabaran Ayden habis.
"Kamu nantang Papa. Bahkan, Papa bisa gabungin kamu di pohon mangga sekarang." Ayden tak gentar. Ia gondok, ia marah, ia juga sudah tak sabar. Bagaimana orang tuanya seperti sengaja membuat dirinya luntang-lantung dan semakin menambah beban.
"Kalau nggak mau nurutin kata Mama dan Papa, silahkan keluar dari rumah ini. Tinggal di kos, cari uang sendiri, biar tahu apa itu tanggung jawab, dan bawalah bayi itu hidup susah."
"Aku diusir?" tanya Ayden tak percaya. Ia adalah anak tunggal yang harusnya disayang, dan dijaga jangan sampai hilang tapi sekarang dirinya diusir? Benar-benar diusir?
"Bukankah kata-kata Papa sudah jelas?" Ayden tahu, ayahnya adalah laki-laki yang sangat tegas, sekali bicara A tetap A, tidak bisa belok ke C atau D.
"Dan aku jadi gelandangan?" Sinta hanya bisa geleng-geleng, anak laki-lakinya bodoh dan juga naive. Ia ingin menantang orang tuanya, tapi juga masih berharap banyak pada orang tuanya. Terlihat jelas, Ayden belum dewasa dan mandiri sama sekali, ia tak bisa bertanggung jawab, jika tak mau anak orang yang masih kecil itu dipukuli Ayden setiap hari.
"Nak ... Mama mengerti keresahan kamu. Tapi bertanggung jawab, bukan sesimpel yang ada dalam pikiran kamu, yang ada kamu mati duluan. Percaya sama Mama dan Papa, kita mau yang terbaik buat kamu, kita mau kamu belajar dari kesalahan, belajar dari tanggung jawab itu seperti apa. Mama nggak bisa bayangkan, bagaimana kalian harus sekolah dan mengurus anak. Bahkan yang usia dewasa aja mereka tak tahan. Kalian masih labil, emosi belum stabil, bagaimana harus hadapi bayi yang hanya tahu nangis, belum lagi masalah di sekolah."
"Jadi ... Mama nyuruh Ayden nggak bertanggung jawab?"
"Sinta ... Lihat anakmu." Ayden mengepalkan tangannya. Ayahnya terlalu menyepelekan dirinya, Ayden yakin ia bisa bertanggung jawab dan jadi ayah yang luar biasa bagi dua anak-anaknya.
"Nggak sayang. Mama mau kamu belajar dulu, bukan Mama mau ajarkan anak Mama jadi pengecut, tapi belajar untuk meminimalisir masalah besar yang lain. Jadi, anggap saja kamu sedang training sekarang, sebelum terjun ke dunia yang sebenarnya."
"Ma ... Bagaimana dengan Lisha yang akan melahirkan sendiri dan ngurus bayi sendirian?"
"Jadi namanya Lisha? Panggil dia kesini, jumpai Mama."
"Ma ..." Ayden masih memelas menatap orang tuanya.
"Panggil aja besok nak. Mama tahu yang terbaik buat kalian."
Ayden pasrah. Benar-benar pasrah. Dia hanyalah remaja naif yang ingin berbuat salah dan ingin bertanggung jawab, tapi juga anak kecil yang masih menadah orang tuanya dan tak bisa banyak berbuat saat orang tuanya sudah memberi amandat sedemikian rupa.
Ayden ingin bertanggung jawab, tapi Ayden juga tak mau kehilangan semua fasilitas yang ia dapatkan dari orang tuanya.

Book Comment (373)

  • avatar
    argariniratih pangestika

    novel nya bagus. banyak sekali pelajaran yg kita ambil dari kisah novel ini. miriss memang dengan anak muda jaman sekarang, semoga anak anak kita dan para remaja lainnya tidak terjerumus dalam pergaulan bebas. sangat disayangkan masa depan mereka harus hancur karna salah pergaulan.

    29/12/2021

      0
  • avatar
    SunifaMiftakhul

    ah aku seneng banget cerita ini😍

    05/08

      0
  • avatar
    YunusAshar

    Keren Kak, lanjutkan

    04/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters