logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 11

Tubuhku menggigil.
"Oh iya, kamu ganti baju ya. Nanti bajunya dikeringkan dulu." Aku menunduk melihat rok milikku yang terus menetes. Aku memeluk diriku sendiri. Yang aku inginkan, baju kering dan selimut yang hangat, sambil tidur.
Aku membuka sepatuku yang basah dan hanya berdiri di teras rumahnya. Tak berani masuk, nanti rumahnya basah.
"Nggak papa, masuk aja. Nanti di bagian kanan ada kamar mandi. Ada handuk juga di dalam. Nanti aku pinjamkan baju aku." Aku mengangguk, dan berlari cepat ke kamar mandi walau rumahnya sudah basah. Dengan cepat aku melaksanakan ritual mandi dan keluar hanya berbalut handuk. Aku memeras baju seragam hingga kering. Karena aku harus pulang dengan memakai seragam yang sudah kering.
"Oh iya ini baju aku. Celananya juga pakai boxer aja ya." Cowok itu melempar bajunya berwarna kuning dan boxer berwarna biru. Bahkan dalam kamar mandi, aku sempat mencium aroma tubuhnya. Aku suka wangi tubuhnya.
Aku melihat tubuh kecilku tenggelam dalam baju kebesaran ini hingga mencapai lutut dan juga boxer yang kebesaran, beruntung celana karet yang tidak kedodoran.
"Alamak tak pakai BH." aku berseru malu, saat melihat ada tonjolan di pakaianku. Semoga cowok itu tidak sadar.
Aku keluar, dan melihat cowok itu sudah menonton TV.
"Oh iya ini jemurnya di mana?" Aku menunjuk pakaianku yang basah. Bahkan bra dan panties sengaja kucuci dan peras nanti bisa dipakai lagi.
"Sini." Cowok itu mengambil pakaianku. Tapi dengan cepat aku mencegahnya karena takut ia memegang pakaian dalam milikku.
"Aku aja yang jemur."
"Tuh kipasnya." Cowok itu menunjuk kipas besi yang berdiri kokoh di samping TV ramping yang berlayar sangat luas tersebut.
Aku mengibaskan dan berharap semoga pakaianku cepat kering dan pulang.
"Mau dikeringin pakai mesin cuci nggak? Biar cepat kering." Aku menggeleng, dan duduk di samping cowok ini, sambil memeluk tubuh sendiri.
Dingin, tapi perutku keroncongan.
"Dingin-dingin gini, enak makan mie." Dengan cepat aku mengangguk. Perutku lapar dan mie kedengarannya sangat mengiurkan.
"Aku masak dulu."
"Biar aku bantu." Aku langsung menawarkan diri. Dia sudah berbaik hati menampungku dan mau memberiku makan, jadi aku harus membalasnya. Asal dia mendampingiku agar aku tak kesulitan mencari barang-barang.
Cowok itu mengeluarkan dua bungkus mie dari laci.
"Kamu suka pakai sayur?" Cowok itu mengangguk, aku memegang pisau sekarang, niat hati ingin mengiris bawang karena aku ingin menumis bawang terlebih dahulu.
"Semua suka." Komentarnya, sambil mengeluarkan sayur dari dalam kulkas.
"Orang tuamu nggak ada?" Cowik itu menatapku sebentar. Ia sedang berjongkok di bawah kulkas, mengambil sawi yang mau dimasak.
"Ada kerja." Cowok itu mengambil sayur dan mencuci terlebih dahulu.
"Oh iya, aku selalu lupa nama kamu. Siapa nama kamu?"
"Panggil aku bee." Aku menggeleng. Kedengarannya begitu norak. Aku hanya ingin panggilan normal.
"Ayden. Kan aku udah bilang berkali-kali." Aku langsung mencatat namanya dalam otakku, semoga aku tidak melupakan namanya secepat ini.
Aku meletakan wajan di atas kompor menghidupkan kompor dan menumis bawang terlebih dahulu.
"Oh iya, makan pedas enak juga." Cowok itu langsung mengeluarkan sebotol saos dari lucu. Rumahanya semua makanan lengkap. Aish lupa, namanya Ayden. Tolong ingatkan aku, jika aku lupa lagi namanya. Padahal, namanya tidak susah.
Aku memasukan sayur, telur dan terkahir mie. Hufh, dari baunya saja snagat mengugah selera. Di luar juga hujan sepertinya tidak sederas awal.
Mie aku tuangkan dalam dua mangkok. Cowok itu membawa minuman dingin, aku membawa mie tadi duduk di depan sofa tadi yang awalnya. Kami melewati pakaianku yang masih dijemur. Terlihat, panties milikku berwarna pink sedang melayang di atas kipas. Hufh... Bikin malu saja.
"Jangan lihat dalaman aku." Aku berbalik dan melihat cowok itu. Dan benar saja, matanya melihat kesana.
"Coba tadi nggak bilang, aku nggak lihat kok." alibinya. Aku hanya mendesis kesal. Alasan banyak.
Kami kembali duduk di sofa tadi, dengan memegang masing-masing mangkok yang berisi mie yang masih berasap.
Aku membuka minuman kaleng terlebih dahulu, mendinginkan perutku sebelum makanan hangat menyapa lambungku.
"Nanti pulangnya nunggu hujan reda aja." Aku mengangguk, kami makan dalam diam. Aku harus menunggu pakaianku kering baru pulang. Lagian di rumah, tidak ada yang menungguku dan mereka tak peduli jika aku tidak pulang. Bahkan mereka senang, dan berharao aku mati duluan.
Selesai makan, cowok itu mengajak nonton TV, awalnya ia ingin menonton film horor, tapi aku tak mau karena aku tak suka film horor dan bisa saja ia modus.
Bosan nonton TV, ia mengajakku main monopoli. Sampai bosan, tapi aku senang berada di sekitarnya. Aku bebas tertawa, dan mengeluarkan ekspresiku. Bukan hanya terkurung sendirian dalam kamar yang membuat hidupku terlihat makin menyedihkan, dan membuatku ingin terus melukai diri. Akhir-akhir ini, aku sudah jarang melukai diri. Mungkin aku sudah pada tahap bodo amat, walau aku masih belum tenang saat tidur setiap malam. Aku harus minum obat tidur, baru aku merasakan ketangangan.
Saat hujan reda dan bajuku kering, sudah sangat malam. Pukul 09.27. saat aku melangkah keluar dari rumah itu. Aku sudah makan malam, cowok itu bilang orang tuanya kerja tapi orang tuanya tak ada pulang. Malam itu, ia memasan ayam goreng. Kami kembali makan, dan bermain monopoli hingga bosan.
Ia mengajakku untuk kembali ke rumahnya, tapi aku tak menjawabnya.
_____________________________
Dan sekarang, aku sedang berjalan pelan menuju rumahku sambil menenteng sepatuku yang masih basah. Aku tak tahu, besok mau pakai sepatu apa ke sekolah. Aku tak punya cadangan.
Aku membuka pelan pintu dapur, berharap belum dikunci.
"Nggak bisa gitu mak! Walau bagaimanapun, dia harus dicari. Bagaimana kalau dia dicuri om-om pedofil, pejahat kelamin?"
"Biar aja, biar dia membusuk di jalanan!" Mama berteriak. Tubuhku sampai gemetaran mendergarnya.
"Lisha anak kita Ma."
"Dia bukan anak aku!" pekikan Mama begitu kuat. Aku mengintip di balik pintu, dengan tubuh gemetaran. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tak mungkin tidur di luar. Jika, aku masuk sekarang, Mama dan Papa akan semakin murka padaku.
Aku bersandar di pintu, tanpa sadar pintu tergeser. Oh bencana!
Ke dua orang tua itu, menatapku seperti melihat daging segar. Habislah diriku setelah ini.
"Jalan kecil pulang pak. Dia cari pelanggan sampai larut seperti ini. Mulai besok, jangan kasih dia makan. Biar dia cari om-om perut buncit yang mau kasih makan dia!"
Aku hanya berani menunduk, tak berani menatap mereka, dan tak berani bergerak. Tubuhku kaku.
Plak!
Plak!
Plak!
Plak!
Dan saat kurasakan empat kali tamparan keras melayang ke pipiku. Kepalaku langsung pusing, air mata turun tanpa bisa kucegah. Seperti yang kubilang, aku benci dengan hidupku!
"Anak pembawa sial! Kenapa tak mati aja dari dulu?!"
Dan sepertinya aku harus bersenang-senang malam ini, dengan mengoreskan lenganku yang lukanya sudah kering.

Book Comment (373)

  • avatar
    argariniratih pangestika

    novel nya bagus. banyak sekali pelajaran yg kita ambil dari kisah novel ini. miriss memang dengan anak muda jaman sekarang, semoga anak anak kita dan para remaja lainnya tidak terjerumus dalam pergaulan bebas. sangat disayangkan masa depan mereka harus hancur karna salah pergaulan.

    29/12/2021

      0
  • avatar
    SunifaMiftakhul

    ah aku seneng banget cerita ini😍

    05/08

      0
  • avatar
    YunusAshar

    Keren Kak, lanjutkan

    04/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters