logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 56 Ini Saya, David

"Pak woy, berhenti Pak, berhenti!"
Ada apa sebenarnya. Kenapa pengendara dibelakang meneriaki saya, dan mengklakson dengan beruntun.
Saya menghentikan mobil. Rasanya sedikit kesal, karena perjalanan saya terganggu. Kabar dari Dasa membuat fikiran kalut, dan saya langsung mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Namun, saya terpaksa berhenti di jalan yang jaraknya masih jauh dari tempat yang akan saya kunjungi.
"Keluar Pak, keluar!" Orang-orang itu menggedor kaca, menyuruh saya keluar, dan saya langsung menuruti karena tidak mau membuat masalah menjadi semakin panjang.
"Maaf, ada apa?" tanya saya. Saya serius masih bingung, kenapa orang-orang itu seperti akan mengeroyok saya, padahal saya tidak membuat masalah dengan mereka. Pengendara yang lain bahkan juga berhenti, dan semakin banyak orang yang berdatangan.
"Itu lihat Pak. Anda gimana sih, masa nabrak orang gak kerasa. Anda mau kabur ya?"
Saya tetap bingung. Baru setelah salah satu orang menarik lengan saya, membawa saya ke belakang, saya tersadar. Saya melihat, laki-laki tua itu tergeletak tengkurap, sementara tiga meter didepan, ada sepeda tergeletak yang rodanya lepas.
"Anda harus kami bawa ke kantor polisi karena sudah menabrak orang."
Saya hanya terdiam sembari menatap laki-laki tua yang tengkurap tidak berdaya, sementara fikiran saya tambah kalut, dan saya hanya pasrah ketika orang-orang itu membawa saya dengan kasar.
Beberapa jam saya menyelesaikan urusan di kantor polisi, saya langsung ke rumah sakit, berniat mengunjungi korban yang saya tabrak, tentu juga untuk meminta maaf.
Tidak habis fikir, kenapa saya bisa menyeret orang itu, hingga terbawa beberapa meter dan saya tidak sadar. Saya menghubungi Dasa, saya suruh dia untuk menyelesaikan kesepakatan tanpa kehadiran saya.
Hari itu, saya sibuk sekali dengan permasalahan duniawi yang datangnya tidak dapat dipungkiri.
Setelah tiba di kamar korban, saya langsung melakukan apa yang sudah saya niatkan. Saya siap menerima konsekuensi, karena saya mengakui itu murni kesalahan saya.
Saya bahkan berkali-kali berterimakasih kepada Tuhan, karena korban itu masih diberi umur panjang. Artinya, urusan saya dengan polisi tidak terlalu rumit, ditambah lagi saya sudah menyatakan siap menanggung kerugian.
"Pakde, ini orang yang nabrak kamu. Dia disini Pakde."
Wanita tua itu sudah ada sejak saya tiba disitu. Saya kira, dia istri laki-laki tua yang terbaring lemah dengan selang infus yang menancap di tangan kirinya. Namun ternyata bukan, setelah saya mendengar bahwa panggilan Pakde dia lontarkan.
Saya duduk dikursi sebelah laki-laki tua itu berbaring. Sementara beliau, berusaha melebarkan mata tuanya, dan mengangkat pelan tangan kanannya, menopang punggung tangan saya yang berada dipinggiran bangsal.
"Saya meminta maaf atas perbuatan yang saya lakukan, sehingga menyebabkan Anda menjadi seperti ini. Saya berjanji, akan menanggung kerugian, menanggung biaya rumah sakit, dan juga memberikan pesangon." kata saya panjang lebar. Saya orangnya, tidak bisa berbasa basi, apalagi sama orang yang baru saya temui. Saya langsung to the point, karena itu bagus, dan tentu tidak membuang waktu.
Mata beliau menutup, agak lama, membuat saya khawatir, dan langsung menyentuh tangannya, dan beliau kembali terjaga. Jantung saya sudah berdebar melebihi kapasitas. Rasa ketakutan menyerbu, andai kemungkinan terburuk itu terjadi.
"Saya punya satu permintaan." Beliau berkata dengan kalimat singkat dan nada bicara terputus putus. Tugas saya hanya mendengarkan, hingga semua yang beliau bicarakan tuntas dan bisa difahami.
"Tolong jaga putri saya satu-satunya."
Saya masih terdiam, menunggu kelanjutan.
"Dengan cara, menikahi dia."
Saya ingin menjawab, menyuarakan ketidaksanggupan. Saya sanggup jika disuruh menjaga putri beliau, ataupun juga menanggung biaya hidupnya. Namun, saya tidak sanggup jika harus menuruti permintaan beliau untuk menikahi putrinya.
Itu tentang pernikahan. Saya tidak main-main dengan ikatan sakral itu. Tiga puluh lima tahun saya masih melajang, bukan karena saya gay, seperti spekulasi orang-orang. Karena saya masih menunggu jodoh yang tepat, yang langsung diamanatkan Tuhan.
Saya tidak bisa sembarangan menikahi perempuan. Apalagi, perempuan yang saya tidak kenal, tidak tau bagaimana parasnya, dan juga akhlaknya.
Saya serius jika membicarakan tentang siapa yang akan saya nikahi, karena itu menyangkut dengan masa depan saya, anak-anak saya, untuk waktu yang tidak terbatas.
"Saya yakin kamu orang baik. Putri saya perlu pendamping, yang bisa menjaga dia, setelah saya gak ada."
Laki-laki tua itu berbicara seperti tidak punya harapan. Padahal, saya terus mendoakan, supaya beliau masih bisa kembali melanjutkan kehidupan. Tentu dengan begitu, saya tidak lagi berkewajiban menuruti permintaan yang tidak bisa saya kabulkan.
"Tolong, jaga Anna. Tolong, nikahi dia, dan jaga dia baik-baik seperti saya menjaganya."
Saya masih tidak percaya, kalo beliau sudah dipanggil Yang Maha Kuasa setelah menamatkan kalimat terakhir. Saya bahkan teriak-teriak memanggil suster, padahal sudah tau alat itu berbunyi, menandakan bahwa pasien sudah tidak bernyawa.
Beberapa hari setelah kejadian itu, saya hanya terdiam dipojokan kamar, dalam gelapnya ruangan yang sengaja tidak saya nyalakan lampu.
Beberapa hari terakhir setelah saya datang melayat, saya tidak bisa tidur, dan terus dihantui kalimat wasiat yang laki-laki tua itu katakan.
Wasiat itu terus merebak dikepala saya, menghipnotis saya, bahkan juga bergema ditelinga saya kapanpun, dimanapun, saat saya melakukan apapun.
"Tolong, jaga Anna. Tolong, nikahi dia, dan jaga dia baik-baik seperti saya menjaganya." Bahkan juga bibir saya bisa bicara sendiri tanpa sadar, mengulang kalimat wasiat itu.
Saya tidak tahan dengan semua itu. Saya berfikir, saya bisa menjadi gila, jika saya terus terpuruk dihantui wasiat orang yang meninggal karena saya tabrak.
Perlu beberapa jam untuk berfikir dan memutuskan apa yang akan saya lakukan, sebelum akhirnya saya benar-benar yakin, dan kembali mendatangi rumah laki-laki tua itu.
###
"Panggil saya Om David."
Saya tidak tau, kenapa saya menyuruh bocil itu memanggil saya dengan panggilan seperti itu. Menurut saya panggilan itu lebih baik, daripada dia memanggil saya dengan nama saja tanpa embel-embel, yang kedengarannya sama sekali tidak sopan.
Apa yang terlintas pertama kali setelah melihat putri laki-laki tua yang meminta saya untuk menikahi anaknya.
Hanya satu kata, yaitu 'kecil'.
Kata itu saya maksudkan untuk menggambarkan bahwa perempuan itu masih muda sekali, tentu jika dibandingkan dengan umur saya yang terpaut belasan tahun.
Perempuan itu lucu. Itu penilaian saya setelah menamatkan semua aspek yang ada di wajahnya. Saya bilang, bahwa perempuan itu juga cantik. Alisnya melengkung sempurna, seperti digambari pensil alis, juga hidungnya yang mancung tapi tidak begitu tinggi.
Yang membuat saya terkesan adalah, bentuk matanya yang lebar bagai mata barbie. Apalagi, ketika melihat dia terkejut, dan membelalakkan mata, itu adalah ekspresi super lucu yang sangat saya sukai.
Untuk orang yang baru saya temui, dia sudah menyita banyak perhatian saya.
"Ada uang pecah? Lima ribuan gitu?"
Saya menyebut dia dengan bocil, bocah kecil. Masih pagi sudah menghampiri saya yang sedang bersantai di sofa depan TV, mengulurkan selembar uang seratus ribu yang saya berikan, karena dia tidak mau jika saya beri kartu kredit ataupun ATM.
"Gak punya." jawab saya singkat, dan kembali membaca artikel online yang memberitakan kasus prostitusi artis.
"Aku mau jajan Om. Kalo masih pagi gini, kantin gak ada uang kembalian." katanya dengan nada sebal.
Saya meletakkan handphone, mengalihkan tatapan, menatap perempuan bernama Anna, yang sedang menatap saya dengan bibir manyun.
Ya Tuhan, ini masih pagi, saya tidak mau berakhir di kamar mandi.
Anna masih setia menunggu saya sembari mengatungkan tangan, sementara saya merogoh saku celana, sekiranya saya menemukan uang lima ribuan.
"Nah gitu dong. Makasih Om, berangkat dulu." pamitnya lalu berlarian kecil keluar rumah. Saya hanya geleng-geleng kepala menyaksikan gadis itu pergi. Pagi ini, dia tampak cantik dan menggemaskan dengan seragam sekolah. Saya lega, karena dia sudah tidak lagi terpuruk dan memarahi saya, memukuli saya dan menyebut saya sebagai pembunuh bapaknya.
Saya sepertinya berubah fikiran. Gadis kecil itu sangat lucu dan saya tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Mungkin, menuruti permintaan laki-laki tua itu, akan menjadi langkah selanjutnya yang akan saya lalui.
Begitu malam tiba, saya tertegun lagi. Meskipun saya tidak bisa menunjukkan atau menjelaskan dengan pujian, namun dalam hati saya tidak bisa berhenti memuji perempuan yang saat itu duduk disamping saya.
Dia sangat cantik. Saking cantiknya, saya bahkan tidak sadar bahwa dia masih bocil. Dress merah yang saya beli pagi itu, sangat pas melekat di tubuhnya yang langsing. Meskipun dia sempat menolak, akhirnya dia mau bahkan juga masih sempat memakai lipstik warna pink yang saya berikan untuk menutupi warna bibirnya yang merah menggoda.
Tolong, siapapun sadarkan saya. Saya tidak mau buru-buru menikahi dia dengan alasan saya tertarik dengan parasnya yang cantik. Namun, itu sepertinya bukan alasan naif jika ada alasan lain yang mendesak saya untuk segera menikahinya.
Banyak perempuan cantik diluar sana, tentu banyak juga yang seksi, yang lebih binal, yang bisa memberi saya kepuasan batin tiada tara.
Tapi, saya tidak bisa berpaling dengan gadis kecil yang sedang tidur pulas di hadapan saya. Dia begitu berantakan, dengan rambut yang menutupi wajahnya. Kakinya naik ke dinding, membuat boxer kebesaran itu terangkat, menampakkan paha mulus putih miliknya.
Saya menggeleng, segera menyadarkan diri. Saya laki-laki masih normal, jadi jangan heran jika otak saya mendadak nge blank menuju berbau kemesuman.
Saya pagi pagi niatnya ingin jogging disekitaran perumahan. Tentu mengajak Anna, yang saya lihat dia tidak pernah olahraga. Saya ingin dia segar bugar seperti saya. Meskipun tubuh dia sudah bagus, dan padat dibagian tertentu, olahraga tidak ada ada dampak buruknya asal tidak dilakukan berlebihan.
"Om benaran mau nikahin aku? Aku masih bocah Om, jangan deh. Banyak diluar sana tante-tante yang seksi dan teteknya gede. Aku mah apa? Nggak bisa apa-apa dan nggak punya apa-apa."
Jika teringat sama cerocosan itu, saya ingin tertawa. Secuil memori itu masih terkenang, apalagi dengan ekspresi dan gerakan bibirnya yang sangat lucu.
Gadis itu sangat cerewet, tapi entah mengapa saya malah suka. Menurut saya, dia cukup menghibur jiwa lajang saya yang sudah lama kesepian. Apalagi, jika saya ikutan memancing dia, menjahili dia dengan kata-kata yang membuatnya malu, warna merah muda langsung hadir dipipinya yang putih.
Hingga saat itu tiba, dia mempercayai saya untuk menikahinya. Saya tau, bocil itu tentu saja terpaksa karena dia ingin melihat bapaknya yang sudah tiada tersenyum bahagia.
Saya resmi menjadi suaminya, meskipun belum sah diakui negara. Saya menikah dengan gadis SMK berusia delapan belas, sementara saya sudah kepala tiga. Orang-orang pasti akan menganggap saya pedofilia, tapi saya bodoamat karena itu memang kenyataannya.
Saya suka gadis itu. Lebih dari itu, benih-benih cinta tumbuh dihati saya untuknya. Dia tidak percaya begitu saya menyatakan perasaan saya, dan malah menganggap saya sebagai kakaknya, padahal saya tidak pernah menganggap dia sebagai adik saya.
Begitu saya mencium bibirnya untuk yang pertama kali, di Kota Malang, dia terkejut.
"Nggak ada seorang kakak, yang tega mencium bibir adiknya." Itu yang saya katakan, disaat sisa-sisa sensasi gelenyar ditubuh saya masih ada usai ciuman itu terjadi pertama kali.
Andai saya bisa melakukan lebih, saya pasti sudah menyerangnya malam itu. Iman saya masih kuat, sekuat saya menahan diri untuk tidak berbuat gegabah ketika melihat dia bugil didepan saya. Saya sadar, saya tidak boleh menyerang dia ketika dia dalam keadaan mabuk.
Saya juga sadar, tidak akan melanggar perjanjian yang kami buat, sampai dia sendiri yang siap dan meminta saya untuk melakukannya.
_____
Kalo sudah sampai di bab ini, berarti tanda-tanda?

Book Comment (535)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    ApriliaNadira

    membosankan

    21/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters