logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 76

Diana tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Semuanya terjadi begitu cepat. Saat tubuhnya berputar dalam pelukan seseorang. Diana tidak sempat bereaksi.
Yang ia rasakan adalah tubuhnya terangkat membentur kap mobil yang menabraknya.
Tubuhnya berguling hingga memecahkan kaca mobil. Lalu ia jatuh menggelinding di jalan aspal.
Semua itu terjadi saat dirinya dipeluk.
Tepat ketika tubuhnya mendarat di aspal dengan menyakitkan, Diana merasa pelukan di tubuhnya terlepas.
Ia berusaha mengabaikan rasa sakit di kepala dan tubuhnya. Matanya berusaha terbuka.
Diana berusaha mengerakkan tangannya. Suaranya serak dan hampir tidak terdengar.
"K-ke..vin.."
Hal terakhir yang ia ingat adalah wajah Kevin yang menutup kedua matanya.
*****
Albert melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Ia menghela napas. Kepalanya ke terangkat kembali memandang keluar jendela kantornya.
Sekarang sudah sore dan tersisa beberapa jam lagi sebelum tanggal bulan ini berganti. Setelah itu hari ini akan selesai dan berakhir.
Hari ini adalah hari kedua sejak ia pergi dari kediaman ayahnya. Besok adalah hari terakhirnya sebelum ia bisa pulang dan bersama ayahnya lagi.
Namun hingga hari ini, sudah dua hari, Albert belum sempat berbicara serius dengan ibunya. Percakapan antara mereka hanya terjadi saat sarapan dan makan malam. Itu pun hanya sebatas percakapan biasa.
Sebenarnya Albert bisa saja memulai percakapan yang serius lebih dulu dengan ibunya. Hanya saja, interaksinya dan ibunya sendiri masih sangat canggung.
Bahkan jika Albert mengingat-ingat lagi, kebanyakan pembicaraan yang terjadi pasti dimulai oleh ibunya.
Albert tidak lebih baik, ia malah membalas semua perkataan ibunya dengan sangat singkat. Benar-benar tidak ada yang bisa diharapkan dari dirinya sendiri.
Sekarang bagaimana ia akan melakukan rencananya untuk membawa ibunya kembali pada ayah?
Kalau ia mau orang tuanya bersatu lagi, Albert tentu harus melakukan sesuatu. Masalahnya Albert belum tahu apa itu.
Albert tersadar dari lamunannya saat suara ketukan dari pintu terdengar. Ia tersentak dan segera bersuara, "Masuk."
Seorang pria membuka pintu ruangan kantor Albert. Pria itu lalu masuk dengan membawa tumpukan berkas di tangannya.
Albert mengangguk saat pria itu meminta izin untuk meletakkan dokumen bawaannya di atas meja kerja Albert.
Albert segera menegakkan punggungnya menatap tumpukan dokumen itu bersamaan dengan pria itu yang juga kembali berdiri tegak.
Selanjutnya ia larut dalam pekerjaannya.
Hingga suara dering ponsel di samping komputernya membuatnya terganggu. Albert menghentikan kegiatannya dan menatap ponselnya.
Ia meraih ponselnya dan melihat nomor siapa yang meneleponnya. Ia diam berpikir sejenak.
Itu adalah nomor telepon dari rumah sakit.
Apa sesuatu terjadi pada ayahnya?
Albert menerima telepon itu dan mengangkat ponselnya ke telinga.
"Halo?" ucap Albert pertama kali.
'Halo tuan, apa benar anda Albert Chavez?'
Albert menjawab, "Iya benar. apa sesuatu terjadi pada ayahku, Oliver Chavez?"
'Ah, begini tuan, bukan ayah anda.. tapi adik anda.'
Albert langsung menajamkan telinganya dan fokus mendengarkan.
"Adik anda mengalami kecelakaan lalu lintas. Seorang pengemudi mobil menabraknya saat menyebrang jalan."
Albert langsung bangkit berdiri dengan mata terbuka lebar. Kevin? Ditabrak? Albert tidak lagi mendengarkan panggilan di ponselnya.
Di detik selanjutnya ia langsung berlari memutari meja kerjanya dan keluar dari kantornya.
Tangannya masih menggenggam ponsel miliknya dan sama sekali tidak mematikan panggilan dari rumah sakit.
Albert seolah lupa segalanya. Yang ada di pikirannya hanya bagaimana ia bisa segera menemui Kevin.
Ia bergegas menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilnya. Mengendarai mobilnya menuju rumah sakit dimana ayahnya dirawat. Karena Kevin juga berada di rumah sakit yang sama.
*****
Albert berjalan dengan terburu-buru sejak ia masuk ke dalam bangunan rumah sakit. Bahkan saat ia keluar dari mobilnya, Albert berlari masuk ke rumah sakit.
Tapi karena ia tahu aturan, ia menahan larinya saat sudah berada di dalam bangunan rumah sakit.
Langkah kakinya mengetuk lantai tidak sabar ketika menunggu informasi dimana Kevin berada.
Setelah mendapatkan alamat ruangan Kevin, Albert kembali memacu langkahnya.
Lalu di sini lah ia berhenti, di depan sebuah pintu ruangan. Napasnya memburu.
Seorang perawat keluar dari ruangan itu, ia terkejut ketika melihat ada seseorang di depan pintu.
Sedangkan Albert juga terkejut. Napasnya yang memburu seketika tertahan, saat matanya menangkap gambaran tubuh Kevin sebelum pintu tertutup.
"Anda?" tanya perawat wanita itu pada Albert.
"Saya adalah kakaknya. Saya keluarganya." Albert menjawab dengan rasa sesak yang familier.
Perawat itu membalas, "Oh, anda keluarganya. Apa anda mau masuk dulu ke dalam?"
Perawat itu kembali membuka pintu ruangan itu.
Dan Albert semakin merasakan perasaan yang familier itu. Ia melangkahkan kakinya perlahan masuk ke dalam.
Albert membeku dengan napas tertahan dan pandangan mata tak percaya ke arah kasur. Di atas kasur itu, ada Kevin yang sedang menutup matanya.
Albert merasakan mata dan tenggorokannya perih. Pandangannya memburam. Matanya basah.
Ah, inilah yang ia rasakan saat pertama kali melihat ayahnya di rumah sakit setelah mengalami kecelakaan.
Ini benar-benar seperti kejadian yang terulang.
Tidak, ini bahkan lebih buruk.
Keadaan Kevin benar-benar menyedihkan. Seluruhnya tubuhnya hampir tertutupi perban. Bahkan di leher dan kepalanya.
Albert mendekat dengan tubuh kaku tanpa mampu berkata-kata.
*****
Di sisi lain David sedang menonton televisi. Hari ini pulang lebih cepat dari tempat kerjanya. Matanya fokus pada layar televisi.
Ketika film yang ia tonton selesai, David mematikan layarnya. Matanya melirik ke arah jam dinding. David mengerutkan keningnya.
Bukannya sudah waktunya Diana pulang?
"Seharusnya dia sudah sampai.. Apa dia masih dalam perjalanan pulang?" gumam David pada dirinya sendiri.
David berdiri dari sofa dan pergi ke kamarnya. Ia ingat menaruh ponselnya di kamar tidurnya. Ia menemukan ponselnya di atas meja nakas.
David terkejut saat melihat layar ponselnya. Ada dua puluh delapan panggilan tidak terjawab di ponselnya.
"Dari Diana?" David tiba-tiba merasakan firasat buruk.
Ia hendak menelepon nomor adiknya. Namun belum sempat ia melakukannya, ada sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
Ia tersentak saat ponselnya bergetar di genggamannya. Nama adiknya muncul di layar ponselnya.
Tanpa menunda, David segera menerima panggilan itu.
"Halo Diana?"
Tapi bukan Diana yang menjawab. Suara orang lain yang menjawab David.
'Halo, maaf tuan.. pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan dan sekarang berada di rumah sakit.' Kalimat pertama yang didengar membuat Dave terkejut.
"Apa?" Tubuh David menjadi kaku. Napasnya tertahan. Jantungnya seolah berhenti berdetak.
Apa adiknya yang menyebalkan sedang mengerjainya sekarang? Dengan menyuruh orang lain berbicara seperti itu?
David tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun untuk membalas, saat orang disebrang telepon menyebutkan alamat rumah sakit dan memintanya segera datang.
'Halo? Apa anda mendengarkan saya?' suara di telepon yang masih berlangsung.
David masih terpaku seolah menjadi patung.
Diana tidak punya selera membuat lelucon yang seperti ini. Ia kenal dengan baik seperti apa Diana.
Apa lagi jika itu menyangkut keselamatan seseorang. Itu adalah hal yang sensitif untuk adiknya. Jadi tidak mungkin adiknya sedang membuat candaan.
David sadar, ini bukan lelucon sama sekali. Jantungnya yang awalnya seolah berhenti kini kembali berdetak dengan kecepatan lebih dari normal. David bahkan bisa mendengar suara jantungnya yang berdetak keras.
'Halo? Anda baik-baik saja?' tanya orang ditele
David sekali lagi mendengar ia dipanggil oleh orang meneleponnya. Ia mengumpulkan suaranya.
"Saya akan ke sana sekarang," ucap David berusaha agar suaranya tidak bergetar.
Bersamaan dengan itu, David berubah panik. Ia segera keluar dari rumahnya tanpa sempat mengunci pintu rumah.
Ia tidak peduli jika rumahnya di datangi pencuri atau orang asing.
*****
Albert berjalan dengan mengepalkan tangannya. Ia sudah menyelesaikan administrasi dan mencari tahu kejadian lengkap yang menimpa Kevin.
Kakinya berhenti melangkah bersamaan dengan kepalan tangannya yang mengendur. Ia menatap pintu ganda di depannya.
Ini sudah tiga jam sejak Kevin masuk rumah sakit. Albert datang ketika Kevin telah ditempatkan di ruangan rawat inap terbaik. Karena identitasnya sebagai keluarga Chavez, rumah sakit langsung mengambil tindakan.
Mereka tidak mau ambil resiko dimarahi oleh keluarganya jika sesuatu terjadi pada Kevin. Apa lagi sudah ada ayahnya, Oliver Chavez yang dirawat di sini.
Kevin berhasil diselamatkan namun sekarang keadaannya koma. Tidak tahu kapan ia akan sadar mengingat keadaannya yang sangat mengenaskan.
Dari informasi yang ia dapatkan, Kevin tidak ditabrak sendirian. Ia bersama seorang gadis.
Nama gadis itu adalah Diana Claire. Dan itulah tujuan kehadiran Albert di sini.
Berbeda dengan Kevin, gadis itu masih berada di ruang unit gawat darurat. Jika saja ia tidak menyuruh rumah sakit bertindak, mungkin terjadi sesuatu pada gadis itu.
Rumah sakit beralasan untuk menunggu persetujuan dari keluarganya untuk bertindak. Karena keluarganya masih dalam perjalanan, Albert memaksa rumah sakit untuk bertindak tanpa menunggu apa pun.
Meski keadaan gadis itu tidak separah Kevin, keadaannya tidak boleh diremehkan. Ia geram saat pihak rumah sakit memperlakukan dua korban dengan berbeda hanya karena derajat keluarga mereka berbeda.
Jika saja Kevin tidak diadopsi oleh keluarganya, Albert tidak bisa membayangkan apa yang mungkin terjadi pada Kevin.
Karena keadaannya benar-benar sangat mengenaskan.
Albert mengatupkan rahangnya dengan emosi yang kentara. Tenggorokannya perih membayangkan akhir hidup Kevin, jika statusnya masih yatim-piatu yang tinggal di panti asuhan.
Kepalan tangannya kembali terkepal. Ia tidak peduli jika sekarang telapak tangannya sangat merah dan nyaris berdarah.
Albert akhirnya membalikkan tubuhnya dari sana.
Albert akan memastikan pelaku yang menabrak adiknya mendapat balasan setimpal dengan perbuatannya. Albert tidak bisa memaafkan perbuatannya.
Di lorong rumah sakit, Albert dan David berjalan dan keduanya saling melewati satu sama lain begitu saja. Keduanya tampak sama-sama tegang.
Namun mereka seolah tidak menyadari kehadiran masing-masing.
Mereka juga tidak saling mengenal satu sama lain. Lagi pula mereka terlalu larut dalam pikiran masing-masing.

*****
Revan diam sembari menatap layar ponselnya. Ia sudah melakukan hal itu selama bermenit-menit, seolah menunggu sesuatu.
Tapi apa yang ia tunggu sama sekali tidak muncul seperti yang ia harapkan.
Karena tangannya terasa pegal setelah memegang ponsel dalam waktu lama, akhirnya Revan menurunkan ponselnya dan meletakkannya ke dalam tas.
"Kemana anak itu?" gumam Revan pada dirinya sendiri.
Matanya lalu menatap bangunan yang ada di hadapannya. Ada sebuah pagar yang tertutup, yang menjadi pembatas antara tubuhnya dan bangunan itu.
Revan menghela napas. Tadi ia sudah menekan bel bangunan itu yang ternyata adalah sebuah rumah. Namun tidak ada yang keluar dari sana.
Revan terus menekan bel rumah itu berkali-kali, namun tidak ada satu pun orang yang keluar dari rumah itu. Ia lalu mencoba menghubungi penghuni rumah itu.
Namun pesannya sama sekali tidak dibalas. Panggilannya juga tidak masuk karena ternyata nomornya tidak aktif.
Revan sudah telat ke sekolah sekarang. Akhirnya ia memutuskan memakai helmnya dan naik ke atas motornya. Ia lalu menyalakan mesin motornya dan mulai mengendarai kendaraan itu menuju sekolahnya.
Mau bagaimana lagi. Diana sepertinya tidak sedang ada di rumahnya. Seharusnya mereka berangkat ke sekolah bersama.
Revan menjemput Diana untuk ke sekolah bersama tanpa tahu keadaan Diana saat ini.
Karena itu ia mengira, jika Diana mungkin sudah berangkat lebih dulu tanpa menunggunya.
Tapi saat ia tiba di sekolah, bahkan sampai di kelas, Revan tidak menemukan Diana.
Yang ia temukan adalah sebuah berita yang mengejutkan.
"Kevin dan Diana masuk rumah sakit. Mereka ditabrak oleh sebuah mobil di jalan raya."
Revan membeku. Tangannya yang memegang tas melemah hingga membuat tasnya jatuh dari sebelah pundaknya.
Semua siswa di kelas tampak syok mendengar perkataan Jeremy. Terdengar suara gaduh di detik selanjutnya. Revan mengabaikan semua reaksi teman sekelasnya.
Ia berjalan cepat ke arah Jeremy dan memegang satu bahunya. Ia bahkan tidak sadar mencengkeram sebelah pundak Jeremy.
"Apa yang kau katakan?" tanya Revan pelan dengan wajah yang pucat.
Keadaan kelas menjadi hening.
Mereka bisa menebak bagaimana gelisahnya Revan saat ini. Bagaimana perasaannya saat kedua sahabatnya mengalami kecelakaan lalu lintas.
Bukan rahasia lagi di kelas ini, bahkan di sekolah ini, tentang bagaimana eratnya hubungan tiga sahabat itu. Mereka selalu tampak bersama-sama di mana pun mereka berada di lingkungan sekolah.
*****

Book Comment (130)

  • avatar
    Astin

    Penasaran,, apa masih ada lanjutannya..?? novel nya sangat bagus, dan lumayan menguras air mata

    05/01/2022

      0
  • avatar
    أكسل ماما

    good

    14d

      0
  • avatar
    SolehMuhammad

    seruuu

    12/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters