logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 3

Sepulang dari sekolah biasanya Diana pergi bekerja, tapi untuk hari ini Diana libur jadi ia langsung pulang ke rumah. Tiba di rumah Diana membuka pintu pagar dan pintu rumah dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Sedangkan kunci utama dibawa oleh David.
Pintu yang terkunci menandakan David belum pulang ke rumah. Setelah masuk ke rumah, Diana melepaskan sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu.
Tiba-tiba ponsel Diana berdering tanda sebuah pesan masuk. Diana mengambil ponselnya dari dalam tasnya. Diana membaca pesan itu sambil berjalan. Ternyata dari David, batin Diana.
'Diana, apa kau sudah pulang ke rumah? Aku malam ini menginap di rumah temanku. Jadi kau tidak usah menungguku, karena aku tidak akan pulang. Tidak apa-apa kan?'
Diana segera mengetik balasan pesan untuk David.
'Ya, tidak apa-apa. Aku mengerti, dan aku juga sudah berada di rumah.'
Setelah pesan terkirim, Diana diam di tempatnya berdiri. Perhatiannya yang awalnya berfokus pada ponselnya kini berpindah memperhatikan sebuah pintu. Itu adalah pintu kamar utama.
Diana mendekati pintu itu dan hendak membukanya. Belum sempat Diana menyentuh daun pintu, sebuah suara dering ponsel terdengar. Membuat kegiatan Diana terhenti.
Sebuah pesan balasan dari David masuk. Diana membuka dan membacanya.
'Baiklah kalau begitu. Ingat, kau jangan mendekati pintu kamar utama. Kau mengerti kan?'
Diana tidak membalasnya. Ia kembali melihat pintu itu yang ada di depannya. Jangankan mendekati, Diana bahkan sudah mau membukanya.
Seolah tidak dilarang oleh David, Diana melanjutkan kegiatannya membuka pintu yang tadi sempat terhenti.
Tangannya sudah menyentuh daun pintu, dan saat Diana memutar daun pintu, ternyata pintu itu tidak terbuka. Terkunci, batinnya.
Saat Diana menghela napas dan melepaskan tangannya dari daun pintu, tiba-tiba ada tangan lain yang menyentuh daun pintu. Diana terkejut, matanya mencari sosok yang memegang daun pintu itu.
Diana melihat seorang gadis kecil di dekatnya. Belum habis keterkejutannya, Diana dibuat lebih terkejut oleh anak itu. Ternyata anak itu bisa membuka pintu kamar utama yang tadi tidak bisa dilakukan Diana. Diana melihat anak itu juga masuk ke dalam kamar itu.
"Ayah, aku tidak bisa tidur di kamar. Aku mau tidur di sini dengan ibu dan ayah." Diana mendengar pembicaraan itu dalam kebisuan. Anak kecil itu memakai piyama dan sedang memeluk sebuah bantal berbentuk hati berwarna merah.
"Ada apa, hm? Kenapa tidak bisa tidur? Sini," orang yang disebut ayah itu menjawab sekaligus memanggil putrinya mendekat.
"Aku berusaha untuk tidur, tapi susah sekali. Ayah, ibu dimana?" anak itu memenuhi panggilan ayahnya dengan mendekati orang yang disebut ayah tadi.
"Ibu ada di dalam kamar mandi," yang disebut ayah itu mengangkat anak itu dan menggendongnya menuju kasur. Anak kecil itu balas memeluk leher ayahnya.
"Ayah, ayo ceritakan dongeng untukku," ayahnya membelai rambut anak kecil itu.
"Boleh, tapi janji kamu akan tidur secepatnya. Karena besok pagi kamu harus sekolah."
"Janji."
Tiba-tiba pintu kamar mandi yang di dalam kamar terbuka. Seorang wanita keluar dari sana dan berkata, "Eh, kenapa di sini sayang? Kok belum tidur?"
"Ibu aku akan tidur di sini dengan ayah dan ibu. Aku juga akan diceritakan dongeng oleh ayah. Ayo ibu juga dengarkan dongeng ayah."
Wanita yang disebut ibu itu tersenyum, "Tentu," kemudian wanita itu bergabung bersama anak kecil itu dan sang ayah.
Adegan bahagia itu dilihat oleh Diana dengan pandangan nanar. Ia merasa sedih. tanpa sadar ia hendak mengulurkan tangannya ke depan. Tapi sesuatu menghalangi. Tangannya terhalang oleh pintu. Akhirnya Diana perlahan terduduk dengan tangan yang menyentuh pintu membuat tangannya itu terseret pelan di permukaan pintu karena mengikuti tubuhnya yang merosot.
Diana berusaha untuk tidak menangis. Dengan tangan lainnya, Diana menutup mulutnya. ia berhasil membuat suaranya tidak terdengar dari mulutnya. Tidak ada suara isakan. Tapi ada air mata yang mengalir di pipinya dengan sangat deras.
Diana menangis di depan pintu yang tertutup rapat setelah melihat adegan bahagia tadi. Menangis setelah menyadari bahwa yang ia lihat adalah masa lalunya. Masa lalu yang bahagia bersama kedua orang tuanya.
* * * * *
Seorang pemuda tampan yang memiliki rambut berwarna hitam dan warna mata sekelam langit malam yang gelap terlihat menghela napas. Ia kemudian memandang sosok pemuda lainnya yang bersama dirinya saat itu.
"Aku mengerti kalau kau mau mengantarku ke sekolah," pemuda tampan itu buka suara.
"Hm?" pemuda yang diajak bicara menoleh kearahnya.
"Tapi tidak perlu juga mengantarku sampai di ruang kelas."
"Siapa bilang aku mau mengantarmu ke ruang kelas. Aku mau mengantarmu ke ruang kepala sekolah."
Pemuda tampan itu mendengus, "Itu yang ku maksud. Entah itu ruang kelas ataupun ruang kepala sekolah tetap saja kau tidak perlu mengantar ku sampai ke sini. Cukup di depan gerbang saja."
Tidak dijawab, pemuda tampan itu melanjutkan, "Aku tidak membutuhkan bantuanmu yg satu ini. Aku bukan anak kecil yang tidak tahu apa-apa."
"Kita sudah sampai," seolah tidak mendengar, pemuda yang terlihat lebih tua dari pemuda tampan itu mendekati sebuah pintu lalu membukanya.
Pemuda tampan itu melihat papan nama ruangan yang tergantung. 'Ruang tunggu'. Ruangan ini disarankan satpam sekolah karena belum ada guru yang datang.
Pemuda tampan itu menghela napas lagi. Ia membiarkan pemuda yang lebih tua melakukan apa yang diinginkan.
Terserahlah, dasar kakak yang menyebalkan, batin pemuda tampan itu.
"Revan Gael, kenapa kau masih disitu?" pemuda yang disebut kakak itu memanggilnya.
Ia lagi-lagi mendengus dan menjawab, "Dasar, kau bersabarlah sedikit, Valen Gael."
"Dan kau juga. Sopan lah sedikit pada kakakmu," balas Valen
* * * * *
Revan POV.
"Silahkan perkenalkan dirimu," ucap sang guru. Dibalas dengan anggukan oleh Revan.
"Perkenalkan nama saya Revan Gael. Mohon bantuan teman-teman untuk kedepannya," Revan memperkenalkan diri secara singkat. Ia tidak mau bicara panjang lebar.
Kelas yang awalnya hening karena penghuninya terlalu fokus memperhatikan sang murid baru, seketika gaduh setelah Revan memperkenalkan diri.
Banyak murid yang bertanya pada Revan.
"Apa kau sudah punya kekasih?"
"Boleh aku minta nomor telepon mu, Revan?"
"Aku mau alamat email mu, bolehkah?"
"Apa hobi mu?"
"Makanan apa yang kau sukai? Aku akan membuatnya untukmu besok."
Sang guru merasa perlu untuk bertindak, dia segera menyuruh Revan duduk di bangku yang kosong yang berada di paling belakang bagian sebelah kanan di samping jendela. 
Revan menuruti perintah sang guru.
Saat Revan berjalan menuju tempat duduknya, ia masih terus ditanya oleh murid-murid di kelas yang kebanyakan adalah perempuan. Tapi Revan mengabaikan semuanya.
Tepat saat Revan duduk, sang guru langsung memulai proses belajar mengajar agar siswanya bisa mengalihkan perhatian dari Revan dan fokus pada pelajaran.
*****

Book Comment (130)

  • avatar
    Astin

    Penasaran,, apa masih ada lanjutannya..?? novel nya sangat bagus, dan lumayan menguras air mata

    05/01/2022

      0
  • avatar
    أكسل ماما

    good

    21d

      0
  • avatar
    SolehMuhammad

    seruuu

    12/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters