logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Mencari Alasan

"Ke mana aja, sih, Mbak? Diteleponin dari tadi juga."
"Maaf, Ed. Hape aku mati, nih. Kebetulan juga aku lagi jauh dari rumah, mobil mogok gak tahu kenapa. Ini juga untung ada warung yang deket sini, jadinya numpang charger dulu buat hubungin montir."
"Pantesan gak bisa dihubungi. Tadi bu Mayang ambil pesanan lebih awal dari jadwal. Mau minta persetujuan Mbak, tapi Mbaknya gak bisa dihubungi. Jadi aku setujui keinginan bu Mayang dan itu lebih meringankan pihak kita juga, sih. Jadinya gak perlu nganterin ke sana, soalnya bu Mayang kirim orang buat ambil pesanan."
Nesha mendengarkan penjelasan Edgar dengan baik dari balik sambungan telepon. Tangannya terangkat memegang es krim strowberry dan mencipinya dengan pelan sambil memperhatikan arah jalanan depan yang lenggang. Jika saja mobilnya tidak mogok, saat ini Nesha pasti sudah berada di Kaneish Torta bergelut dengan pastry-pastry kesayangannya.
"Terus gimana lagi?"
"Ya, gak gimana-gimana. Bu Mayang bayar pakai wallet. Untuk lebih detailnya, dia juga minta maaf, sih. Soalnya kan ambil pesanan lebih awal. Untung aja pesanannya udah siap semua, kalau belum, pasti kita yang kerepotan tadi."
Kepala Nesha mengangguk-angguk sambil merasakan dingin, manis dan sedikit asam dari es krim yang sedang dia makan. Edgar cukup bisa diandalkan sebagai asisten sekaligus manager Kaneish Torta. Memang tidak salah Nesha menyerahkan kepercayaan kepadanya.
"Makasih, ya, Ed."
"Iya, Mbak." Laki-laki itu terdengar memanggil seseorang di seberang sana. Ada suara grasak-grusuk juga, entah dia sedang ngapain. "Maaf, Mbak, aku harus tutup dulu teleponnya, ya. Toko lagi rame sore ini. Kasian Inne kerepotan, tuh."
"Iya-iya, urusin dulu. Inget, pelanggan adalah sultan-"
"Dia mana dia hadir, di situ cuan berada." Edgar meneruskan kalimat yang selalu Nesha ucapkan pada para pegawainya.
Nesha tertawa sampai sambungan telepon terputus. Dia menikmati es krimnya dengan diam, melihat lurus ke depan. Mobilnya berada sedikit jauh dari tempatnya duduk saat ini. Dia beristirahat sejenak di warung terdekat untuk numpang mengisi baterai dan membeli makanan ringan.
"Kenapa lama, sih?" gerutunya, membuka kembali layar ponsel untuk menghubungi nomor Raharja.
Sudah hampir tiga jam Nesha menunggu montir untuk datang, meminta tolong bantuan ayahnya. Tapi, montir yang dia minta tidak kunjung datang ke sana. Entah montir itu tersesat atau bagaimana, yang jelas Nesha sudah bosan menunggunya.
"Pa, kok belum datang juga? Aku udah akaran di sini. Mana sendirian lagi."
"Sabar, Nesha. Morgan lagi di jalan, katanya. Tadi dia ada urusan dulu, makanya telat."
Apa? Morgan katanya? Mata Nesha terbuka lebar, tidak percaya dengan ucapan ayahnya barusan. "Pa, kenapa jadi dia? Yang aku minta itu montir, bukan dia!"
"Kalau cuma montir, kamu pasti makin lama nunggu mobil sampai benar. Beda cerita kalau Morgan yang jemput duluan, biar kamu cepat pulang."
"Papa ...."
"Udah, nurut aja, Nesha! Atau kamu mau di sana terus? Tungguin aja, sebentar lagi Morgan sampai."
Nesha memandangi layar ponsel dengan nanar. Panggilan telah berakhir, tapi dia enggan untuk menyimpan ponselnya kembali. Raharja selalu saja berusaha mendekatkannya dengan Morgan-anak koleganya-yang sudah jelas, bahwa Nesha tidak tertarik dengan laki-laki itu.
"Maaf, lama nunggunya, Sha."
Beberapa saat kemudian laki-laki menyebalkan itu hadir di hadapannya. Nesha hanya membuang muka, malas. Morgan datang dengan dua orang montir yang langsung menanyakan di mana mobil Nesha berada. Nesha sebenarnya enggan untuk mengeluarkan suara, tapi dia butuh bantuan secepatnya. Dia menunjukkan di mana tempat mobilnya berhenti saat mati mesin tadi. Dua montir itu pun berjalan kaki ke arah yang Nesha tunjuk. Memang tidak terlalu jauh dari tempat mereka kini berada.
"Mau pulang sekarang?" Laki-laki itu duduk di samping Nesha, senyumannya terukir indah.
"Aku nunggu montirnya selesai." Nesha tidak mau melirik Morgan sedikit pun. Pemandangan jalanan lenggang di depannya lebih menarik dari wajah Morgan yang ... Nesha akui memang tampan, tapi terasa memuakkan baginya jika terus dilirik.
"Udah mendung, lho, Sha. Montirnya mungkin masih lama. Mending pulang sekarang aja, yuk!"
Nesha tidak menjawab, malah berdiri dan berjalan menuju tempat sampah terdekat, membuang es krim yang masih sisa separuh. Dia tidak selera lagi untuk memakannya. Setelah kedatangan Morgan, rasa manis di es krim tersebut malah berubah jadi pahit dan anyep.
"Yuk, pulang!"
Nesha menghempaskan tangannya kasar, ketika Morgan ikut berdiri dan meraih tangannya. Dia menatap Morgan dengan garang, tidak terima tangannya disentuh begitu saja.
Laki-laki itu terlihat mengembuskan napas lelah. Dia melihat Nesha seolah sudah paham dengan tabiatnya. "Om Raharja bakal marah, kalau kamu gak segera pulang, Sha. Tadi beliau udah wanti-wanti buat-"
"Terserah!" Nesha berjalan meninggalkan Morgan. Sebelumnya dia juga pamit dulu pada pemilik warung yang sudah baik hati mengizinkannya untuk beristirahat di sana. Melihat montir memperbaiki mobilnya lebih akan membuat hati Nesha tenang, ketimbang harus berduaan bersama Morgan.
Namun, langkahnya terhenti karena Morgan menarik tangannya lagi. Pandangan Nesha semakin garang dan tidak segan-segan untuk memberikannya pelototan. "Bisa gak sih, gak usah ganggu? Kalau mau pulang, ya, pulang aja duluan!"
Tidak bisa bersabar lagi. Nesha tidak pernah bisa bersikap lembut terhadap laki-laki itu, selain pertemuan pertama mereka beberapa bulan yang lalu. Itu pun Nesha lakukan sebagai bentuk hormat, bukan karena dia menyukai laki-laki andalan Raharja tersebut.
"Kamu gak mau pulang?"
"Enggak!"
Nesha melanjutkan lagi langkahnya, tidak mempedulikan Morgan yang terdiam di belakangnya. Tiba-tiba ponsel di sakunya berdering, dengusan Nesha muncul saat melihat siapa yang menghubunginya. Dia berbalik badan dengan kesal, melihat Morgan yang terdiam beberapa meter darinya. Laki-laki itu hanya menatapnya datar dengan ponsel yang baru saja dia masukkan ke dalam saku celana.
Sialan! Morgan selalu saja mengadu pada Raharja untuk semua hal yang tidak sejalan dengan rencana ayahnya. Nesha benci hal itu. Sangat!
Tidak perlu menerima panggilan dari ayahnya, Nesha juga sudah tahu apa yang akan Raharja katakan. Dia hanya mendiamkannya sampai dering ponsel berhenti mengusik pendengaran dan berjalan kembali pada arah Morgan. "Yaudah, ayo pulang!" Dengan kesal, langkah kaki Nesha dihentak-hentak. Morgan tersenyum tipis, mengikutinya dari belakang sampai ke mobilnya yang terparkir di pinggir warung tempat tadi Nesha beristirahat.
"Gak usah sok baik!" Nesha tidak suka ketika Morgan membukakan pintu mobil untuknya. Dia masuk ke dalam mobil dengan terpaksa dan duduk membisu di sampir Morgan yang menyetir dengan tenang.
Cari cara buat menghindar, Nesha.
"Sha, kita ke-"
"No!" Nesha meliriknya tajam, tanpa siapa pun tahu jika ide muncul di kepalanya. "Anterin aku ke rumah bu Mayang!"
"Hah?" Morgan melirik dengan alis tertaut, tidak paham. Kembali lagi pada jalanan sejenak, lalu pada Nesha lagi. "Bu Mayang siapa?"
"Orang penting!" Nesha masih saja jutek padanya. "Udah, gak usah nanya banyak. Pokoknya anterin aku ke rumah bu Mayang, sekarang! Ini perlu banget soalnya. Aku ada hal penting yang harus diurus di sana."
"Tapi, Sha-"
"Gak mau? Yaudah, turunin aku di sini!"
Morgan terdiam nampak bimbang. "Oke. Alamatnya di mana?"
Nesha tersenyum senang, berhasil menemukan cara untuk menghindari situasi berduaan dengan Morgan lebih lama lagi.

Book Comment (241)

  • avatar
    Anisa Galeri

    makin penasaran, qira semangat cari bundanya,jangan lupa cariin ke ayah yang cantik dan pintar juga baik... seruu ceritanya

    30/12/2021

      0
  • avatar
    Genduk Wahyuningsih

    Ceritanya bagus banget

    6d

      0
  • avatar
    Dayat Widayat

    lanjut sudah gak sabar kak

    7d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters