logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Pulang Ka Bako

Pulang Ka Bako

Alfarin


Chapter 1 Putus

"Putus?" Alih-alih bersedih, Fahri terkekeh mendengar kalimat yang baru saja diucapkan kekasihnya—Priska. Ini bukan kali pertama gadis itu mengucapkan kata putus, dan Fahri sudah terbiasa mendengar hal itu. Biasanya dia akan memberikan Priska waktu untuk berpikir, lalu beberapa hari berikutnya mereka kembali bersama.
"Kali ini beneran udah final, nggak akan ada lagi kata balikan." Priska mengerti kenapa Fahri malah menertawakan kalimatnya. Track record-nya sebagai ratu putus-nyambung, membuat Fahri hanya menganggap permintaannya kali ini sebagai lelucon.
Fahri kembali terkekeh. Dia terlalu percaya diri, Priska tak akan pernah benar-benar bisa pergi darinya. "Ayo aku antar pulang, kamu pasti lagi PMS," pungkasnya masih tak menganggap serius apa yang diucapkan kekasihnya.
Priska bergeming dengan mata berembun. Membuat gerakan Fahri yang hendak bangkit dari duduk, terhenti. Alisnya bertaut. Biasanya Priska akan langsung menurut. Fahri sudah paham sifat kekasihnya itu. Namun, kali ini gelagat Priska agak lain dari biasa, dan hal itu membuatnya mulai gusar.
Priska mendongak, menatap cowok jangkung dengan tinggi 183 senti itu. "Aku serius. Nggak akan ada lagi istilah balikan. Kita benar-benar end."
Fahri mengacak gusar rambutnya dengan sebelah tangan berkacak pinggang. Ia tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari bibir gadis yang duduk di hadapannya. Padahal bulan depan ia telah berencana akan melamar kekasih yang telah bersamanya semenjak awal gadis itu menjadi mahasiswi. "Kamu serius?" tanyanya pelan. Memindai sorot mata bening yang kini tak lagi menatapnya.
Gadis yang duduk di seberangnya itu menghela napas panjang. "Iya. Kayanya kita nggak bisa lanjut, mamah masih nggak mau kasih restu." ia menunduk, tak mau menatap Fahri yang menatapnya dengan tatapan tak percaya dan mulut ternganga.
Fahri kembali duduk di hadapan Priska. "Neng ... kita udah jalan tujuh tahun. Masa sekarang nyerah gitu aja?" ia terdengar putus asa, dia begitu mencintai Priska. Tujuh tahun bersama, perjalanan mereka tak mudah. Selama ini, dia yang selalu menurunkan ego demi gadis yang ia cintai. "Kata mamah orang Padang sama Sunda henteu¹ bisa bersatu. Dari pada nanti udah nikah malah cerai, lebih baik dari sekarang saja kita putus," beber mojang priangan berwajah sendu itu.
Fahri melongo. "Kenapa masih aja mempermasalahkan suku, Neng? Kita tuh udah merdeka sekian puluh tahun! Buyut aku tuh ampe bertaruh nyawa buat mempersatukan bangsa, kenapa sekarang kita malah dicerai beraikan suku seperti ini?"
Priska hanya membuang napas panjang. Gadis itu pun tak tau harus berkata apa lagi. Dia tau pemuda yang ada di hadapannya itu sangat mencintainya. Selama tujuh tahun mereka merenda kasih, tak sekali pun pemuda itu mengecewakannya. Jika pun mereka pernah putus-sambung selama menjalani hubungan, selalu Priska yang meminta putus. Seperti sekarang ini. Dan seperti hari yang lalu, Fahri bersikukuh tidak mau putus.
"Besok aku ke rumah nemuin mamah kamu. Aku nggak mau nyerah gitu aja," pungkas Fahri, ia masih ingin memperjuangkan hubungan mereka.
Priska menjangkau telapak tangan Fahri, merangkum dengan kedua tangannya. "Ayang, please. Yang ada mamah bakal meradang. Kalaupun kita maksa nikah, siapa yang bakal jadi wali nikah aku? Aku nggak mau nikah tanpa restu."
"Kenapa suku dijadikan alasan, Neng. Abang aku juga nikah sama gadis Sunda, nggak ada masalah kok mereka. Masalah suku itu bukan hal yang krusial, Neng. Masih bisa dinego."
Priska bergeming. Menunduk dalam tanpa berniat membantah.
Rahang Fahri mengeras. Ia menarik tangannya kasar. Pemuda berkulit sawo matang itu menatap tajam gadis di hadapannya. Memindai mata sayu berbulu lentik itu.
"Kalau bakal tau nggak akan direstui, kenapa selama ini kamu masih mau jalan sama aku? Apa selama tujuh tahun ini cuma kamu anggap main-main aja?" Dia kembali mengajukan pertanyaan untuk mencari alasan logis dari permintaan kekasihnya itu.
Priska meringis, menangkupkan kedua tangannya di bawah dagu dengan tatapan memohon. "Aku kan sudah berkali-kali bilang sama kamu, mamah nggak pernah kasih izin aku jadian sama kamu, cuma aku selama ini nggak tega aja gitu. Aku benar-benar minta maaf." Mata bening itu terlihat mulai basah. Bibirnya bergetar.
Fahri mendengkus, selama ini dia mengira Priska masih mau diajak balikan karena gadis itu memang masih sayang. Namun, mendengar pernyataan gadis itu, hatinya seakan dihantam begitu keras, sakit. Bahkan ia sendiri dengan tak tau malunya terisak, merendahkan harga diri di hadapan gadis yang ia cintai. Berharap gadis itu sedikit berbaik hati dan berubah pikiran.
"Ayo aku antar pulang." Fahri tidak ingin berlama-lama duduk saling berhadapan dengan perasaan kacau seperti ini.
Ia sebenarnya tak ingin menyerah, tetapi melihat wajah pasrah sang gadis, hatinya menjadi patah. Untuk apa ia terus berjuang, jika yang ia perjuangkan justru malah menyerah. Sia-sia perjalanan mereka selama ini.
****
Perjalanan mereka menuju rumah Priska terasa makin panjang. Waktu tempuh yang normalnya hanya memakan waktu tiga puluh menit itu, memanjang tiga kali lipat karena macet, di tambah lagi kebisuan yang membuat jarak mereka terasa makin jauh. Kendati mereka duduk bersisian, Fahri merasa Priska kini merentang jarak dengannya.
Fahri makin frustrasi menunggu macet mengurai. Ini akhir minggu, Bandung selalu menjadi tempat favorit pelancong dari kota sekitarnya. Jika bukan karena permintaan Priska untuk bertemu di luar, tak akan Fahri mau keluar rumah untuk terjebak dalam keadaan macet dan situasi yang canggung seperti ini.
Tak sepatah kata pun terucap dari bibir mereka berdua. Baik Fahri maupun Priska sama-sama bungkam. Priska hanya menatap keluar jendela. Kendati demikian, pikirannya tak benar-benar berada di luar sana. Isi kepalanya terasa penuh dengan segala keruwetan hubungannya dengan lelaki yang kini berada di sampingnya.
Awal mula menjalin hubungan, Priska mengira hubungan mereka tak akan bertahan selama ini. Dia menerima Fahri hanya karena pemuda itu merupakan kakak tingkat idola angkatannya. Lalu di saat Fahri menyatakan perasaannya, Priska tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Sambar, Ka!" Begitu ucap Widya sobat karib Priska semenjak duduk di sekolah menengah pertama, kala itu.
Tak peduli latar belakang suku, dia menerima Fahri begitu saja. Toh, nanti seiring berjalannya waktu, Priska mengira mereka akan menemukan ketidak cocokan, dan mengakhiri hubungan. Nyatanya, Fahri menjatuhkan pilihan pada gadis berparas ayu itu bukan hanya semata-mata untuk berpetualang sebelum nanti ia dewasa dan menemukan pelabuhan hati terakhir.
Priska gadis pertama yang membuat Fahri mantap menyatakan perasaan. Sebelum bertemu Priska, Fahri tak pernah mau menjalin hubungan yang serius. Tak ada kata main-main dalam kamus percintaan Fahri. Jika ia melabuhkan hatinya pada seorang gadis, maka ia akan pertahankan sesulit apa pun jalannya. Meski semenjak pertama berkenalan dengan orangtua Priska, Fahri tak mendapat tanggapan yang begitu baik, ia tak peduli. Ia akan berjuang demi mendapatkan restu.
Namun, kini setelah tujuh tahun perjalanan mereka, Priska memilih untuk menyerah. Tak ada jalan tengah. Ibunya masih memegang pantangan adat lama.
"Hah! Omong kosong apaan ini."
Priska terlonjak saat Fahri memukul keras kemudi mobil, rahangnya terlihat mengeras. Memutus lamunan Priska akan perjalanan kisah mereka beberapa tahun ini.
"Dua minggu lagi aku mau nikah—"
"Hah?" Fahri memotong kalimat Priska. Lagi-lagi gadis itu terlonjak kaget. Tatapan Fahri seakan hendak mengulitinya hidup-hidup. "Ya Allah, Neng! Apa lagi ini?" Pemuda itu tak lagi dapat mengontrol nada suaranya.
"Mamah sudah lama menjodohkan aku sama anak kenalannya." Priksa menunduk, jarinya saling meremas.
"Jadi selama ini aku cuma jagain jodoh orang?" Fahri tertawa getir.
"Hampura², Yang."
Fahri berdecih. Menyadari betapa perjuangannya untuk mendapatkan restu selama ini hanyalah kesia-siaan belaka. Untuk pertama kalinya Fahri memberanikan diri memberikan hatinya, dan ternyata pilihannya itu salah. Hatinya dipatahkan oleh orang pertama yang menerima hatinya.
***
"Ari! Sampai kapan mau mengurung diri di kamar? Itu kerjaan kamu sudah numpuk! Om Johan sudah berkali-kali nelpon mama nanyain kondisi kamu." Rentetan omelan panjang perempuan akhir baya menyertai tersibaknya gorden kamar yang terlah berhari-hari ditutup Fahri. Semenjak putus dengan Priska, ia seakan tak mempunyai tujuan hidup. Selama ini, gadis manis mojang priangan itu lah yang menjadi penyemangatnya mengurus bisnis keluarga.
"Ya Allah! Sudah pantas jadi sumando³, kelakuan masih saja seperti anak-anak."
Emi—ibunya Fahri— menarik selimut yang membungkus tubuh bongsor anak laki-lakinya itu.
"Jagolah waang!⁴" Kali ini Emi berdiri dengan berkacak pinggang, menatap tajam anak laki-lakinya yang terlihat kacau.
"Mi, Ari lagi patah hati," rengek Fahri seperti bocah kecil yang mengadu pada ibunya karena diganggu teman sepermainan.
"Terus kalau patah hati, boleh tidur seharian? Percuma Umi sekolahin sampai ke luar negeri kalau otaknya nggak berkembang seperti ini. Perempuan masih banyak, Ri!"
"Tapi Ari sayangnya sama Priska."
"Onde mandeh! Rudi! Rudi!" Emi berteriak sambil melangkah keluar kamar Fahri.
Seorang pemuda yang berperawakan tak jauh beda dengan Fahri, tergopoh turun dari lantai dua. Tak ketinggalan perempuan muda yang menggendong seorang balita, Dena—istrinya Rudi.
"Ada apa Umi teriak-teriak?" tanya Rudi dengan wajah khawatir.
Khawatir ibunya darah tinggi atau tiba-tiba stroke karena terlalu emosi.
"Tolong kau carikan adikmu itu bini! Patah hati sekali saja lagaknya sudah kayak dijajah tentara Jepang," cecar Emi dengan wajah memerah menahan emosi.
"Umi, duduk dulu, yuk." Kali ini Dena, sang menantu perempuan menarik ibu mertuanya duduk ke salah satu sofa di ruang tengah. Kemudian dengan tergesa ia mengambil air minum di samping meja makan.
"Ini Umi minum dulu. Biar dingin dulu hatinya Umi," bujuk Dena dengan suara lembut, menyodorkan segelas air putih pada ibu mertuanya.
Emi meneguk habis isi gelas, kemudian berusaha mengatur napasnya yang sempat terengah karena emosi.
"Jadi masalahnya apa?" tanya Rudi—Putra sulung Emi yang kebetulan hari itu berkunjung ke rumah ibunya.
"Itu adikmu si Ari, putus sama Priska malah jadi frustasi gitu. Memangnya nggak ada lagi perempuan yang cantik seperti Priska itu." Nada suara Emi kembali mulai meninggi. Dena, kembali berusaha mengusap punggung ibu mertuanya agar sedikit tenang.
Rudi terdiam sambil berpikir. Ruangan sempat hening sejenak, hingga terdengar suara seseorang mengucapkan salam.
"Siapa, Mi?" tanya Rudi sambil menoleh ke arah pintu depan. Jika bukan orang terdekat, tak akan ada tamu yang langsung mengucap salam di depan pintu rumah mereka. Biasanya satpam yang berjaga di pintu depan selalu mengabari bahwa ada tamu sebelum mempersilahkan masuk.
"Tek Niar. Dia kemarin bilang mau ke sini."
Emi yang emosinya mulai surut, membalas salam, dan bangkit dari duduknya menuju pintu.
"Ondeh! Sampai juga di sini. Sendirian aja?" sambut Emi begitu ia membukakan pintu untuk tamunya, yang tak lain adalah iparnya—istri dari almarhum adik laki-lakinya.
"Indak Uni, ado Dinda juga ikut."
Tak lama setelahnya, seorang gadis berkerudung, terlihat menyusul ke arah mereka.
Mata Emi membola dengan mulut terbuka. "Ondeh! Sudah besar ponakanku." Emi menyambut uluran tangan gadis yang sudah beberapa tahun tak ia temui itu.
"Masuk-masuk." Gegas si pemilik rumah mempersilahkan tamunya masuk.
"Rudi, Dena! Ini ada Tek Niar."
Perempuan akhir baya itu berjalan ke ruang tengah rumahnya setelah mempersilahkan tamunya duduk. ia begitu bersemangat menyambut dua perempuan yang menjadi tamunya pagi itu.
***
"Dinda sudah punya calon belum?" selidik Emi pada keponakannya begitu ia tau sang ponakan baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya di kota pelajar.
"Belum, Umi. Kemarin Dinda mau fokus sama kuliah dulu," sahut Dinda malu-malu.
"Nikah sama Uda Fahri mau tidak?" tembak Emi tanpa basa-basi.
"Umi!" Rudi reflek menyolek lengan ibunya.
"Lho, kenapa?"
"Masa ia nikah sama sepupu," balas Rudi setengah berbisik.
"Haduh! Begini kalau anak sudah dilahirkan dan dibesarkan di rantau, jadi lupa sama adat sendiri," keluh Emi.
Sementara dua orang tamunya hanya tersenyum-senyum sungkan menanggapi ocehan ibu dan anak yang menjadi tuan rumah itu.
"Dinda nikah sama Fahri itu namanya pulang ka bako," terang Emi setelah omelannya mereda.
"Emang boleh, Mi?"
"Ya boleh, kan yang sodaraan Umi sama ayahnya Dinda, bukan Umi sama Tek Niar."
Rudi manggut-manggut. Meskipun ia berdarah suku Minang asli, ia tak pernah tau adat istiadat yang dianut oleh leluhurnya. Baginya di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. "Jadi, gimana? Dinda mau tidak nikah sama Uda Fahri?"
"Umi jangan seenaknya main jodoh-jodohin orang! Memangnya ini zaman Siti Nurbaya!"
Semua mata yang berada di ruang tamu menoleh ke arah asal suara. Melirik ke arah pemuda yang terlihat baru bangun tidur itu. Rambut acak-acakan, kumis dan janggut yang mulai menyemak tumbuh di wajahnya.
Sementara, gadis berkerudung salem itu menatap dengan tatapan penuh kekaguman pada laki-laki yang menolak keras rencana yang dicetuskan ibunya beberapa saat lalu.
"Siti Nurbaya itu nggak dijodohkan, dianya yang mengajukan diri buat membayar hutang ayahnya ke Datuk Maringgih!" Masih sempat-sempatnya Emi meralat perkataan putra bungsunya, tak menghiraukan tatapan gusar sang anak.
__________________________________________________
Note:
1. Henteu = Tidak
2. Hampura = Maafkan
3. Sumando = Menantu laki-laki
4. Jagolah waang = bangunlah kau

Book Comment (87)

  • avatar
    NcimRina

    bagus cerita nya 👍🏻👍🏻👍🏻

    28d

      0
  • avatar
    IshaqMaulana

    bagus banget

    15/08

      0
  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    06/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters