Tika dan Yanti telah kembali ke kampung. Begitu tiba di rumah kediaman mendiang Ibunya, Tika segera ke rumah paman Asrul untuk memberitahu kejadian yang mereka alami. Siang itu, di teras paman Asrul. Tika bercerita panjang lebar tentang perihal yang menimpa Yanti. "Jadi begitu Paman, mau tidak mau, kita harus berlapang dada menerima kejadian ini." "Yanti bagaimana, Tik? Apa anak itu baik-baik saja?" "Malah sekarang dia tampil lebih ceria, Yanti juga terlihat senyum-senyum di depan ponselnya. Sepertinya, dia sudah punya gandengan baru, Paman." "Kamu gak salah menilai 'kan, Tik?" "Ah, Paman ini. Salah menilai dari mana? La wong, Yantinya juga sering telponan sama manggil-manggil sayang gitu." "Ya sudah, asal bukan senyum-senyum yang lain saja." Tika sedikit bingung mendengar perkataan pamannya itu. Dahinya sampai mengerut, mencoba mencerna kalimat tersebut. Setelah berterima kasih pada pamannya, karena telah merawat Sari selama dia di kota, Tika pun pamit untuk pulang ke rumahnya. Baru saja kakinya hendak memasuki ruang tamu, terlihat Yanti yang sedang memeluk Sari. Awalnya, Tika menduga karena mereka saling melepas rindu. Tetapi, setelah melihat Sari yang terisak, Tika pun menjadi curiga. "Cup Sayang, jangan menangis. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kita, akan selalu bersama. Kamu percaya padaku 'kan, Mas Anwar?" Sontak saja membuat Tika terperanjat. Dia tidak menyangka jika Yanti jadi seperti itu. Sementara, Sari terlihat sangat ketakutan. Apalagi ketika Yanti mengusap pipinya dengan memperdengarkan suara tertawanya yang nyaring, gadis ringkih itu semakin terisak. Tika tak kuasa menyaksikan pemandangan itu. Segera diraihnya Yanti dalam pelukannya. "Yan, ingat Nak, ingat. Jangan seperti ini. Sebut Allah, Nak. Biar kamu tenang," ucap Tika sambil mengusap-usap punggung keponakannya itu. Yanti terlihat meronta dalam dekapan bibinya. Gadis cantik itu mencoba memberontak. Sari yang ketakutan, malah berusaha bersembunyi di kolong dipan yang ada di ruang tamu. "Sari! Cepat panggil Kakekmu! Cepat, Sari!" Antara takut dan berani, Sari bergegas berlari ke luar rumah. Tubuh ringkihnya, berusaha berlari secepat angin. Tak lama kemudian, Asrul pun datang. Demi melihat Tika yang kewalahan menghadapi amukan Yanti, Asrul pun segera menarik kedua tangan Yanti yang masih berusaha mencakar muka Tika. "Dasar perempuan kurang ajar! Gara-gara kamu, tunanganku sampai membatalkan pernikahan kami! Ha ha ha ...." "Yanti iling, Nak. Iling, Nak. Jangan begini, kasihan bibimu," ujar Asrul berusaha menenangkan cucu keponakannya itu. Karena tenaga yang kalah kuat, Yanti pun terjatuh tak sadarkan diri. Segera saja, Tika dibantu pamannya itu. Mengangkat Yanti untuk dibaringkan di atas dipan yang ada di ruangan tamu. Sari masih menangis di luar pintu. Sepertinya batinnya juga terpukul, melihat adiknya yang jadi berubah seperti itu. "Sar, masuk sini. Jangan takut, adikmu tidak apa-apa," ucap Kakeknya. Sari pun masuk ke dalam rumah. Dia mengambil tempat duduk yang ada di sudut ruangan. Dekat dengan tempatnya bersembunyi tadi. Paman Asrul terlihat mengambil air minum dari teko yang disediakan di ruang tamu tersebut. Lelaki renta itu terlihat kelelahan sekali. Tenaga Yanti memang cukup kuat tadi. Kalau tidak dipisahkan, bisa hancur muka Tika dicakar oleh Yanti. "Inilah yang aku takutkan, Tik. Akhirnya terjadi juga." Netra tua Asrul menerawang ke pelataran rumah kakaknya. Napas tuanya terlihat masih ngos-ngosan. "Saya tidak menduga kalau jadi begini, Paman. Padahal selama seminggu ini, Yanti terlihat baik-baik saja." Suara Tika terucap begitu lirih. Dirinya pun juga terpukul atas pembatalan pernikahan keponakannya itu. Tetapi, Tika tidak mengetahui, jika Yanti sampai mengalami guncangan jiwa. "Semua yang terjadi, adalah hukum tabur tuai. Apa yang kita tanam, itu pula yang akan kita petik." "Iya, Paman. Selama ini memang Emak begitu memanjakan Yanti. Apa yang menjadi keinginannya, akan langsung dikabulkan. Meskipun, Emak harus sengsara karena menuruti kemauan bocah itu." "Jangan menyalahkan Almarhummah. Mungkin dia kasihan, karena melihat cucunya ini sudah ditinggal Ibunya sejak kecil. Walaupun pada akhirnya, Yanti sendiri yang menanggung resikonya." Kini pandangan Asrul beralih pada Sari yang nampak masih ketakutan di pojok ruangan. Tangannya melambai, meminta Sari mendekatinya. Meskipun ketakutan, Sari terlihat berusaha menghampiri kakeknya tersebut. Tika pun turut mengikuti tatapan Asrul. Kepalanya sengaja dianggukkan pada Sari. "Kamu tidur di rumah, Kakek lagi ya? Biar adikmu bersama Bibimu dulu." Sari tak menjawab, gadis itu hanya menganggukkan kepalanya. Tangan keriput Asrul membelai rambut Sari, seolah berusaha memberi ketenangan pada gadis yang nampak ketakutan di hadapannya itu. Yanti masih tampak tertidur setelah mengamuk tadi. Gadis cantik itu kini terlihat mengenaskan. Selain mendapat guncangan jiwa karena pembatalan pertunangannya dengan Anwar. Gadis itu juga sempat dipermalukan oleh Kumala di hadapan keluarga Anwar. Jika mengingat semua, Tika pun menjadi geram seketika. Rasanya dia tidak terima, atas perlakuan yang telah mereka lakukan terhadap ponakannya itu. Tetapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur, begitu kata pepatah. "Sebaiknya kamu hubungi, Murni. Biar dia juga tahu tentang keadaan Yanti sekarang," saran Paman Asrul. "Iya, Paman." Tika pun mengambil ponselnya yang tergeletak sedari tadi di atas meja mesin jahit. Segera dihubunginya nomer Murni. Namun, sampai beberapa panggilan tak jua diangkat. Akhirnya, Tika pun memutuskan untuk menghubunginya lagi nanti. "Aku mau pulang dulu. Nanti sambil kutanyakan pada Retno, anaknya Marno yang bekerja sebagai mantri di puskesmas." "Iya, Paman. Terima kasih banyak atas bantuannya." Asrul pun berlalu meninggalkan tempat itu. Tika hanya mengantarnya sampai depan pintu saja. Setelah itu, kembali dia pandangi wajah Yanti yang nampak tertidur pulas. Lalu pandangannya beralih pada Sari yang masih di situ. "Jika kamu ingin ke rumah Kakek Asrul, pergilah." "Bibi berani sendiri di sini? Takut kalau Yanti bangun, pas ngamuk lagi." "Sudah pergi sana. Insya Allah, Bibi bisa menjaga Yanti meskipun sendiri." Akhirnya, Sari pun berlalu ke rumah kakeknya yang hanya berselang beberapa rumah saja dari kediaman bibinya. Kentara sekali ketakutannya, menghadapi Yanti yang tiba-tiba berubah menjadi seperti saat ini. Sari kini sedikit mengerti. Atas apa yang menimpa adiknya itu. Perlahan air matanya jatuh. Mengingat segala perbuatan mereka di masa lampau. 'Andai mereka masih dalam pengawasan Alif dan Aira. Tentu tidak akan terjadi peristiwa semacam ini. Tetapi, jika dikembalikan lagi. Semua sudah garis takdir dariNya.' Diusapnya perlahan pipinya yang semakin basah karena tetesan air mata. Semua sudah terlambat untuk disesali. Bagaimana pun, harus dilewati. Tak bisa dipungkiri. Setelah kepergian Sari, beberapa saat sesuadah itu. Yanti pun terbangun dari tidurnya. Nampak sekali wajahnya begitu lelah. Pandangannya menyapu seluruh ruangan. Tangannya kini memeriksa ponsel kesayangannya. Terlihat jari lentiknya menscroll beberapa status WA milik temannya Tak lama kemudian, netranya berhenti pada kontak dengan nama Sayangku Anwar.
agus
11h
0ceritanya hampir sama seperti cerita teman saya 🥰
13d
0best cerita dia ni
20d
0View All