Aira tampak keluar dari kediamnanya. Menghampiri gerobak belanja milik Bang Ujo. Nampak di sana beberapa ibu yang lain sedang berbelanja pula. "Eh Mbak Aira, mau belanja apa Mbak?" sapa Bang Ujo ramah. Sementara Aira hanya membalasnya dengan senyuman. Wanita cantik itu segera memilah-milah dagangan milik Bang Ujo. Tempe, tahu, diambilnya beberapa buah. Tangannya juga sibuk mengambil telur puyuh yang sudah dikemas dalam plastik kecil-kecil. "Dagingnya ada Bang?" tanya Aira pada Bang Ujo. "Mau masak apa Mbak Aira?" Bu Agus yang sedari tadi memperhatikan Aira yang sibuk memilih-milih sayuran pun, ikut bertanya. "Ini Buk, si Vian minta dimasakin semur daging," balas Aira ramah. "Mbak Aira tuh, memang jago kalau masak. Aku terkadang mau tanya resep masakannya, tapi malu," timpal tetangganya yang masih mudah. "Kenapa malu, gak pa pa. Saya malah senang bisa berbagi ilmu," ujar Aira ramah. "Dagingnya mau berapa kilo, Mbak Aira?" tanya Bang Ujo. "Setengah kilo saja, Bang. Tambahin tulang mudanya seperempat ya," pinta Aira sopan. "Kok tumben gak suruh Mbak Romlah yang belanja, Mbak? Kemana dia?" sela tetangganya lagi. "Mbak Romlah lagi siapin sarapan. Ini juga mendadak Vian yang minta." "Owh pantesan," kata Mirna yang sejak tadi diam. "Berapa semunya, Bang?" "Sembilan puluh lima ribu, Mbak Aira." "Ini uangnya Bang, saya permisi dulu Ibu-Ibu." "Ya silakan, Mbak Aira." Mereka pun membalas dengan menyahut bersamaan. Kira-kira masih lima rumah lagi jarak antara Aira dengan tempat tinggalnya. Tetapi, Aira telah melihat keributan yang terjadi di depan rumahnya. "Biarkan aku masuk! Kamu tak ada hak melarangku!" seru Yanti yang tampak dibakar emosi karena dihalang-halangi Mbak Romlah ART Aira. "Memangnya kamu siapa? Mau masuk ke rumah orang tanpa permisi! Kamu sudah seperti maling!" teriak Romlah tak kalah kasar. "Dasar pembantu kurang ajar kamu ya! Kamu lupa siapa saya?!" sembur Yanti dengan pongahnya. "Kamu orang gila yang gak punya malu!" geram Romlah tak mau kalah. "Kalau aku tidak diizinkan masuk! Panggil Om Alif cepat. Bilang ada Yanti datang!" "Cih, bocah ingusan saja main perintah. Jangan harap kamu bisa masuk rumah ini kembali! Kotoran, pantasnya ada di tong sampah. Bukan di dalam istana!" sanggah Romlah. "Ada apa, Mbak Rom?" Uswatun kini ikut menghampiri Romlah yang masih berang di depan pagar. Begitu melihat siapa yang datang. Mulutnya terlihat langsung menertawakan. "Ada apa lagi, kamu ke sini? Mau ngemis, atau ....?" "Jaga mulutmu Mbak Us! Aku diam bukan berarti tidak berani denganmu. Asal kamu tahu, kemarin itu ada calon suamiku. Makanya aku pura-pura diam. Tapi hari ini, jangam harap aku mau mengalah!" "Dasar bocah bau kencur kamu! Hanya orang bodoh yang bisa terkecoh oleh wajah polosmu itu. Untung saja, kamu sudah angkat kaki dari sini. Kalau tidak, bisa jadi virus buat seisi rumah ini!" sarkas Uswatun kalap. "Jangan banyak bacot! Aku hanya ingin bertemu dengan Omku. Bukan malah mau ngobrol ma kalian, gak level kita!" kekehnya dengan cekikikan. Uswatun pun berang, begitu pula Romlah. Diambilnya sandal japit yang berada dekat kakinya. Tangannya siap mengayun sandal tersebut. Namun rupanya, suara deheman seseorang, nampak mengalihkan perhatian mereka bertiga. Aira juga terlihat berhenti tak jauh dari rumahnya. Di belakangnya, ibu-ibu tadi yang sedang berbelanja, terlihat mengekori dirinya dari belakang. Tak terkecuali, Bang Ujo si penjual sayur. Suasana semakin panas saja. Apalagi kini, Alif telah berdiri di belakang Romlah dan Uswatun. Sementara, bocah tengil itu terdiam sesaat sewaktu netranya telah berhadapan dengan Alif. "Om, tolong buka pintunya, saya mau bicara penting!" tandasnya tanpa malu. Alif masih bergeming di tempatnya berdiri menatap ke depan. Menjatuhkan pandangannya pada istrinya yang berdiri beberapa meter dari tempat Yanti mengiba. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Membuat Yanti merasa diabaikan. Gadis itu mulai menghentak-hentak gerbang rumah Alif. Membuat orang-orang yang berlalu lalang, menengok karena terlihat ada keributan di sana. "Rupanya Om sengaja tidak mau membuka pagar untukku. Kenapa? Apa wanita itu telah menghasut, Om. Aku ini masih sedarah dengan Om. Tapi, Om lebih memilih wanita murahan itu, ketimbang aku!" "Dasar ta* anji*g kamu, Yanti. Sudah ditolong, malah tidak tahu berterima kasih. Kalau bukan Mbak Aira yang membelikanmu baju, tubuhmu yang sebiting itu, tetap akan terbungkus kain kumal milikmu!" Tawa gadis itu terdengar membahana, dengan berkacak pinggang, gadis itu kembali berkata. "Itu dulu, Mbak Us. Sekarang sudah berbeda. Apalagi, sebentar lagi aku akan menikah. Asal kamu tahu, calon suamiku itu anak orang kaya. Bukan orang miskin! Ingat, orang ka-ya," jelas Yanti dengan mengeja kalimat terakhirnya. Uswatun pun tak mau kalah, dia pun ikut tertawa seperti yang Yanti lakukan. "Banggakan terus calonmu itu. Jangan lupa siapin obat penurun rasa malu. Supaya membantumu mengingat siapa dirimu itu." "Halah! Aku tak perlu berbicara denganmu. Aku datang kemari untuk menemui Omku yang terkenal baik hati itu. Sayangnya, dia seperti iri melihat keberuntunganku," pancing Yanti, membuat Alif mendongakkan kepalanya. "Kenapa Om membiarkanku di luar? Aku datang bukan untuk mengemis! Aku hanya meminta Om menjadi wali di pernikahanku. Jika bukan karena itu, gak bakalan juga kuinjak lagi rumahmu ini!" "Dih, gak tahu malu. Katanya gak nganggap keluarga, tapi kini mengemis minta buat jadi wali. Kalau aku punya ponakan macam kamu! Da aku ceburin ke laut selatan!" celetuk Bu Wijil yang tiba-tiba muncul dari samping rumah Aira. Kini, mereka semua telah jadi tontonan gratis. Bahkan, ada beberapa pengemudi yang sengaja menghentikan laju motornya, hanya untuk melihat pertengkaran itu. Yanti pun mengalihkan pandangannya pada Bu Wijil. Wanita tambun itu pun tak mau kalah. Bibirnya yang tebal itu, mengerucut menirukan gaya Yanti. "Ngapain kamu ikut campur urusan saya! Sana urus dirimu sendiri. Dasar gembrot!" semprot Yanti. "Eh anak bau kencur! Kalau aku jadi Mbak Aira. Da kubejek-bejek mulutmu yang bau tikus itu!" "Mbak Aira sih, kelewat sabar ngadepin bocah set*n itu!" Mirna ikut nyeletuk dari belakang. Membuat Yanti pun mengalihkan pandangannya. Kini netranya saling bersitatap dengan milik Aira. Semua orang ikut tegang, menantikan apa yang akan berlangsung. Aira nampak melangkah menuju kediamannya. Romlah bergegas membuka pintu pagar yang sedari tadi tergembok dari dalam. Pintu sedikit bergeser, hanya menyisakan sedikit celah untuk dilalui satu orang. Pada saat tangan Aira hendak menggeser pintu gerbang itu lebih lebar, Yanti turut mencengkeram berusaha ikut masuk. "Berhenti kamu di situ! Selangkah saja berani kamu masuk. Tak akan segan aku neneriakimu, Maling! Lepas tanganmu pada pagar rumahku. Haram tangan kotormu menyentuh hasil keringatku!" bentak Alif panjang lebar. Yanti pun menghentikan perbuatannya. Rungunya seakan tak percaya, jika Alif yang berkata demikian. Hampir saja air matanya jatuh, tetapi dia berusaha menahan air mata tersebut. "Hai ... hai ...." Menuju ending, semakin banyak konflik dan yang pasti bikin geregetan nih. Kamu gimana? Jengkel tidak ma Yanti? Jangan lupa, sebelum lanjut bacanya. Like dan komentnya ya. Biar aku makin semangat yang lanjutin cerita ini. Terima kasih.
agus
11h
0ceritanya hampir sama seperti cerita teman saya 🥰
13d
0best cerita dia ni
20d
0View All