logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 52 TAMBAH HARI TAMBAH BURUK KELAKUANNYA

Sampai di rumah, mata ini tak dapat terpejam hingga larut malam. Bayangan Yanti terus saja menghantui. Rasanya masih tidak percaya saja, jika dia bisa berbuat sekeji itu.
Jika mendengar dari Mama atau Bu Kumala, pasti aku juga tidak bakalan percaya. Tetapi, ini aku dengar sendiri dari rekaman yang diperdengarkan Om Alif. Pantas saja, sikap Mbak Us begitu ketus ketika kami tadi datang berkunjung ke rumah tersebut.
Kubuka aplikasi hijau, kucari nama Yanti di sana. Terlihat on, padahal sudah pukul dua belas malam. Apalagi yang akan direncanakan oleh gadis edan itu?
Segera kuganti namanya di kontakku dengan Nini Lampir. Sesudah mengetik itu, kulempar ponselku asal. Ada sedikit rasa lega, karena aku sudah tahu perihal yang sebenarnya.
Bangkit dari rebahan, kuambil sarung dan peci. Lalu segera membersihkan diri untuk bersuci. Kugelar sajadahku, lalu memohon pada Sang Pencipta. Agar mendapatakan petunjuk dariNya.
~~~~~
Pagi masih begitu dingin, kulihat Mama sudah sibuk di dapur. Bau harum masakannya sampai membuat cacing di perut semakin menari-nari.
"Tumben langsung ke dapur, biasanya molor lagi habis Shubuhan?" tanya Mama dengan keheranan.
"Serba salah deh, ntar tidur lagi, dibilang rezekinya dipatok ayam. Bangun, bilangnya tumben," sahutku pura-pura manyun.
"Kamu ini, seperti anak perempuan saja. Pakai manyun segala," cubit kecil Mama pada pipiku.
"Lapar Ma, masak apa?"
"Nasi goreng kesukaanmu dan Papa. Tunggu, bentar lagi siap."
Aku pun beranjak mendekati Papa yang masih asyik menekuri terjemahan majemuk syarif.
"Hmm ... tumben?" Papa bertanya sambil menurunkan kacamata bacanya.
Aku tidak menjawab, tetapi memilih merebahkan kepalaku di bahu Papa sambil mendengarkan beliau membaca terjemahan.
"Jika ada yang ingin dibicarakan, bicara saja. Tak baik menyimpan persoalan sendiri. Bagaimanapun, kami ini orang tuamu. Berhak tahu dengan keadaanmu, Nak."
Kulihat Papa sudah menutup terjemahannya. Malah kini, tangannya memelukku penuh dengan kasih sayang.
Mama datang menghampiri kami. Lalu menyuruh kami makan. Hening, hanya terdengar suara denting sendok dan piring yang saling beradu.
Biasanya, nasi goreng bikinan Mama, adalah nasi goreng paling istimewah. Kelezatannya pun, tak kalah bila dibandingkan dengan olahan restoran bintang lima.
Aku hanya mengambil porsi sedikit. Rasanya malas saja, pagi ini untuk makan. Apalagi, ditambahi kepikiran soal hubunganku dengan Yanti. Papa telah terlebih dulu selesai. Beliau kembali di ruang keluarga, disusul Mama.
Aku mengekori dari belakang. Sementara Mama, nampak membaca majalah fashion. Papa sendiri menyaksikan berita pagi di televisi.
"Ada apa? Kok seperti orang bingung dari tadi Papa perhatikan?"
"Eh anu, Pa, Ma. Anwar mau bilang pada Mama dan Papa. Soal Yanti," jawabku dengan ragu.
Papa dan Mama saling memandang, kini kedua orang terkasihku itu tengah memperhatikanku. Ada rasa cemas, takut membuat mereka kecewa dengan langkah yang telah kuambil.
"Bicara saja, kamu itu anak Mama. Papamu juga pasti siap mendengarkan kok. Jangan ragu dengan keputusanmu, Nak.
"Betul itu, War. Kamu itu seorang lelaki. Harus tegas dan bertanggung jawab pada apa yang telah kamu putuskan," lanjut Papa.
"Ma'afkan Anwar sebelumnya, Ma, Pa. Jika Anwar putuskan pertunangan ini. Apa Mama dan Papa tidak malu?"
Kuhela napas panjang, rasanya begitu plong ketika aku sudah mengutarakan keinginanku. Papa dan Mama tersenyum ke arahku. Terlihat jelas pula kelegaan di wajah mereka.
"Terus apa rencanamu sekarang?" tanya Papa lagi.
"Nanti aku akan ke rumah Yanti, untuk berbicara masalah ini."
"Lebih cepat, lebih bagus Nak," ujar Mama menyemangati.
Aku pun menganguk. Berkali-kali kuucap alhamdulillah. Kemudian aku izin untuk kembali ke kamar. Kulihat Papa dan Mama tampak masih ngobrol di ruang keluarga.
~~~~~
"Kenapa tidak segera mengabari keluarga Anwar, Kak. Kalau memang sudah pas tanggal dan harinya?" tanya Murni pada Tika yang sudah berada di rumahnya.
"Ya makanya ini aku datang. Rencanaku, besok pagi aku mau ke rumah mereka. Sekaligus membahas soal dananya juga," jawab Tika sambil celingukan.
"Yanti kemana, Mur? Kok gak kelihatan dari tadi?"
"Masih molorlah, anak itu saja. Kerjaannya kalau gak main hp ya diem di kamar. Kalau gak, ya ngiler."
"Kenapa jadi begitu? Padahal dulu gak begitu setahuku. Pulang dari rumah Kumala, kok tambah gak bener otaknya."
"Geser kali, Kak."
"Kalau aku jadi kamu, sudah kusiram air tuh. Biar tahu rasa! Masih gadis aja sudah malas-malasan. Apalagi nanti kalau sudah keluarga?" sewot Tika pedas.
Murni hanya mengedikkan bahunya, karena dia sudah paham dengan watak kakaknya itu. Semakin ditimpali, semakin menjadi.
Sementara, Tika nampak beranjak menghampiri kamar Sella yang digunakan Yanti tidur. Begitu tersingkap kelambunya, terlihat jelas tubuh Yanti yang masih terbungkus selimut.
Gegas dibangunkannya gadis itu. Tetapi, Yanti malah menenggelamkan tubuhnya dalam selimut.
"Yanti bangun! Dasar bocah gemblung. Ini sudah jam delapan, masih molor saja!"
Tetapi, Yanti sama sekali tak menghiraukan ucapan bibinya. Tak kalah akal, Tika pun mengambil air segayung. Lalu disiramkannya ke wajah Yanti.
"Aarrghhhhhh!"
"Kak! Apa yang kamu lakukan?" jerit Murni tak tertahan.
"Biar tahu rasa gadis malas itu!"
"Tapi Kakak sudah bikin kasur Sella basah. Terus, siapa yang sanggup menjemurnya?" marah Murni tak terkira.
"Suruh bocah bebal itu menjemur! Enak aja, jam segini kok masih tidur-tiduran!"
Sementara itu, Yanti sontak saja terbangun dari mimpi indahnya. Dia tidak mengira, jika bakal kena siram air. Pikirnya tadi hujan deras. Gak tahunya, Tika yang menyiramnya dengan air.
"Bibi ini kenapa sih? Ganggu orang tidur saja!" gerutunya dengan mulut mengerucut.
"Makanya, punya telinga itu dipakai! Jangan dibuat hiasan!" sarkas Tika murka.
"Buruan jemur kasurnya! Gak pake nanti!" perintah Murni pada Yanti dengan kasar.
"Kasur buluk aja dipermasalahin. Lagian ganggu orang tidur saja!" cerocosnya dengan berlalu.
"Yantiiii! Mau kemana kamu?! Kasurnya jemur sekarang!" titah Murni lagi.
"Bentar, mau ke kamar mandi dulu. Da kebelet. Memang Bibi mau aku ngompol di situ?" tantang Yanti dengan berani.
Segera saja Tika melemparnya dengan kipas sate yang ada di sebelahnya. Tetapi sayangnya, lemparan itu tidak mengenai keponakannya yang badung itu.
Setengah jam kemudian, Yanti baru muncul dari kamar mandi. Malah sudah berganti pakaian dan berdandan cantik pula.
Wajahnya memang cantik, tetapi tabiatnya tidak seiring dengan kecantikannya. Sayang sekali. Padahal jika kelakuannya secantik wajahnya, dapat dipastikan banyak yang menyayanginya.
"Jemur dulu kasurnya! Baru kamu bisa keluar rumah!" bentak Murni sambil mengamit sebelah tangan Yanti.
"Bibi apaan sih, jadi sakit tanganku," erangnya manja.
Langkahnya terus berlalu menghindar dari Murni yang masih menguntit di belakangnya. Murni sendiri jadi bingung, mau kemana sebenarnya anak itu.
"Kamu mau kemana? Gak pamit, gak salam, main ngeluyur aja seperti jin!"
"Keburu siang Bik! Aku mau ke rumah Om alif. Mumpung mereka belum berangkat.
"Kenapa gak minta antar Anwar?"
"Bi Murni ini, kemarin saja aku sudah malu karena tidak dibukain pintu sama mereka. Masa mau ngajak Mas Anwar lagi. Mau ditaruh mana mukaku?" balas Yanti sambil tangannya terus mengetik pesan di ponselnya.
Tak lama kemudian, sebuah ojek online telah membawa gadis itu ke tempat tujuannya. Rumah tempat di mana dia pernah diangkat dari keterpurukan dan serba kekurangan. Sayangnya, dia malah membalasnya dengan mempermalukan Om dan Tantenya sendiri.
Hai ... hai readers tercinta. Semoga kalian belum bosan dengan ceritaku ini. So, minta doanya selalu dari kalian. Jangan lupa like dan koment bawelnya ya. Terima kasih💖💖

Book Comment (84)

  • avatar
    KurniawanAgung

    agus

    10h

      0
  • avatar
    pepekgamingpepekgaming

    ceritanya hampir sama seperti cerita teman saya 🥰

    13d

      0
  • avatar
    ShahIqbal

    best cerita dia ni

    20d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters