logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 51 MEMA'AFKAN BUKAN BERARTI MELUPAKAN

Di rumah Aira.
"Jadi gimana, Mas? Beneran Mas gak kasihan pada?" tanyaku pada Mas Alif.
"Buat apa harus kasihan padanya? Harusnya yang dikasihani itu kamu, Dek."
"Kok aku?"
Mas Alif menghampiriku, lalu menangkup wajah ini dengan kedua jemarinya.
"Setelah apa yang Yanti lakukan padamu, apa hatimu tidak terluka? Apa masih bisa kamu mema'afkannya? Bukan hanya mencoreng namamu saja, dia bahkan sampai membuat harga dirimu pun turut diinjak-injak."
Aku mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Mas alif. Memang ada benarnya juga. Tetapi, jika meletakkan diriku sebagai seorang Ibu. Menikah tanpa restu itu suatu bencana.
"Belum lagi ketika mengingat, bagaimana bocah tengil itu mempermalukanku di hadapan Kumala dan Rudi dulu. Bahkan, anak kandungku sendiri saja, tak berani menyebutku dengan 'kamu' sambil menunjuk jarinya padaku."
Sejenak kulihat Mas Alif mengambil napas panjang. Lalu menghembuskannya bagai melepas beban berat. Kueratkan jemariku pada pergelangan bahunya.
"Ma'afkan aku, Mas. Karenaku, akhirnya engkau pun turut merasakan kekecewaan ini pada mereka."
Kusandarkan kepala ini pada bidang dadanya. Mas Alif membelai rambutku perlahan.
"Tak baik memang memutus silaturahmi itu Dek, tapi diri ini juga punya harga diri. Dirimu ibarat pakaian untukku, begitu pun sebaliknya. Bukan demikian?"
"Ya betul. Harga dirimu, juga harga diriku, Mas."
"Biarlah Bang Harun yang mewakili untuk hadir, sekaligus pengganti wali mendiang Bang Hendro. Setidaknya, ketidakhadiranku menjadi pengobat lara yang belum sembuh. Kamu mengerti 'kan?"
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Mengiyakan apa yang menjadi keputusan suamiku.
"Terus Mas, bagaimana dengan biaya pernikahan mereka?"
"Tak perlu ikut memikirkan, masih ada banyak hal yang perlu kita selesaikan. Aku tidak ingin mereka memanfaatkan kita."
"La kalau Yantinya datang ke rumah kita gimana?"
"Mana berani dia datang, Dek? Gak takut apa masuk kandang macan?"
Aku pun terkekeh geli, mendengar candaannya. Sudah lama memang kami tidak sesantai malam ini. Hampir tiap hari dikejar-kejar pekerjaan.
Uswatun yang sedari tadi di dapur, tampak menghampiri kami. Di tangannya sepiring singkong keju hangat, diletakkannya di hadapan kami berdua.
Dia pun kemudian mengambil duduk, berhadapan dengan kami.
"Ada apa? Kok sepertinya ada yang mau dibicarakan?" tebak suamiku.
Uswatun tampak tertawa, sambil menutup mulutnya dengan kelima jarinya.
"Mas, kalau boleh aku mau minta tolong pinjam uang buat modal jualan nasi bungkus. Lima ratus ribu saja, terus nanti balikinnya, tiap bulan kuangsur seratus ribu."
"Serius mau jualan nasi bungkus? Jualan di mana?" selaku.
"Mau aku jual dekat terminal, Mbak."
"Memang suamimu gak kerja?"
Mas Alif kembali menanyai Uswatun yang tampak canggung di hadapan kami.
"Bukan gak kerja, Mas. Proyeknya untuk sementara dihentikan. Karena kekurangan dana."
"Terus mulai kapan yang jualan? Apa mau aku sewakan tempat sekalian?" saran Mas Alif.
"Jangan Mas, terlalu banyak biayanya kalau sampai sewa tempat segala."
"Ya gak papa, asal kamu sungguh-sungguh mengelolanya, aku tak keberatan. Apalagi, Mbakmu Aira."
Aku hanya mengacungkan jempolku pada Uswatun.
"Ntar aku rundingkan lagi, Mas. Gimana baiknya. Oh iya Mas, lupa yang mau bilang. Tadi ada bocah tengil itu datang ke sini. Sama calon suaminya, sepertinya."
"Kapan itu, Us?" tanyaku agak terkejut.
"Tadi Mbak. Sebelum Mbak dan Mas Alif pulang."
"Kamu buka 'kan pintu?" tanya Mas Alif dengan sirat wajah seperti tidak suka.
"Mana ada. Kami usir tadi, Mas. Malah sama Mbak Romlah tadi sempat adu mulut. Mana ada malunya anak itu," sungut Uswatun marah.
Mas Alif tampak menghela napas lega. Aku sampai bingung melihatnya.
"Untung gak kamu bukain pintu Us. Nih, kukasih hadiah seratus ribu. Karena sudah berhasil membasmi kuman," Mas Alif menyodorkan uang tersebut sambil terkekeh pada Uswatun.
"Beneran ini buat aku, Mas?" sorak Uswatun dengan gembira disusul anggukan kepala dari suamiku itu.
Membuatku geleng-geleng kepala, melihat sorak kegirangan Uswatun yang seperti anak kecil.
"Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumsalam," jawab kami bersamaan.
"Coba lihat Us, siapa yang datang itu? Mas Alif memberi perintah pada ponakannya itu.
"Hah, kamu lagi?! Mau apa ke sini?" tanya Uswatun dengan suara sedikit keras. Membuat aku dan Mas Alif saling berpandangan heran.
Mas Alif pun berdiri dan beranjak menghampiri Uswatun yang masih berdiri di balik pagar dengan berkacang pinggang. Aku hanya membuntutinya dari belakang, karena penasaran juga.
"Siapa ya?" tanya Mas Alif sambil mengamati tamunya, seorang pemuda yang sedari tadi masih diluar pagar.
Kalau dilihat dari cara berpakaiannya, dia seperti orang yang terdidik dan berasal dari keluarga mampu. Apalagi ketika kuamati motornya yang keluaran baru.
"Boleh saya bertamu sebentar Om, ada yang ingin saya bicarakan," ucap pemuda itu dengan sopan.
Mas Alif bertanya pada Uswatun dengan pandangan isyarat.
"Ya itu tadi Mas, yang barusan saya bilang. Sepertinya tunangan si bocah tengil, tu."
"Owh," lirih Mas Alif.
"Biarkan masuk Us," perintah Mas Alif kemudian.
Uswatun membuka pintu dengan bersungut-sungut. Kini kami duduk di teras rumah, tadi sengaja kupersilahkan masuk ke dalam, tetapi pemuda tadi menolaknya. Uswatun keluar dari dalam dengan membawa minuman untuk pemuda tersebut.
"Silahkan diminum Nak," kataku.
Pemuda itu pun mengangguk lalu meneguk sedikit minuman di depannya. Netranya sempat melihat ke Uswatun sebentar. Lalu memandang ke kami berdua.
"Ma'af sebelumnya, Om, Tante, kalau kedatangan saya ini dirasa tidak sopan. Perkenalkan, saya Anwar, calon suaminya Yanti."
Pemuda itu berbicara dengan sopan, memperkenalkan diri kepada kami.
"Jadi, maksud kedatangan saya ke sini, selain untuk bersilaturahmi, juga karena ada hal yang ingin saya tanyakan."
"Hal apa yang ingin kamu tanyakan pada kami? Karena jika menyangkut dia, kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan calon istrimu itu," tegas Mas Alif.
Anwar sempat terkejut mendengar penuturan suamiku. Pemuda itu sempat kulihat dengan gusar, memandang ke arah kami berdua.
"Maksud Om, gimana ya? Saya kok tidak paham. Karena kedatangan saya ini, juga dalam rangka mengundang, serta untuk meminta Om bersama Tante memberi restu di pernikahan kami nantinya."
Suamiku menarik napas dalam, jelas sekali gurat ketidaksukaannya pada waktu Anwar menyebut nama calon istrinya.
"Saya sudah tidak ada hubungan apa pun dengan calon istrimu itu. Bagi saya, hubungan kami sudah putus. Sejak dia ...."
"Sejak dia kenapa, Om? Tolong katakan pada saya, apa yang sebenarnya terjadi. Biar saya tidak mendengar dari orang lain," pinta Anwar.
Akhirnya mengalirlah cerita tentang gadis itu dari bibir Mas Alif. Jelas kentara sekali, antara marah dan kecewa, terlukis di wajahnya.
Anwar, berkali-kali menghela napas panjang. Sesekali juga mengusap wajahnya dengan kedua jemarinya. Pemuda itu nampak kecewa sekali, dengan apa yang didengarnya barusan.
"Jadi, Om masih punya rekaman tersebut?" tanya Anwar setelah suamiku mengakhiri semuanya.
"Iya ada. Kamu boleh turut mendengarnya jika mau. Dengan satu syarat."
"Syarat apa itu, Om? Kalau boleh saya tahu."
"Kamu boleh ikut mendengarnya. Tetapi tidak boleh ikut menyimpan rekamannya. Bagaimanapun itu, biarlah tetap menjadi rahasia keluarga."
Pemuda itu turut mendengar rekaman tersebut. Uswatun yang sedari tadi diam, begitu selesai mendengar rekaman itu diputar, turut geram karenanya.
"Saya tidak menduga jika dia selicik itu. Padahal jika dilihat dari raut mukanya, terlihat kalem dan polos sekali. Pantas saja, Mama melarang saya melanjutkan hubungan ini," keluh Anwar sambil menundukkan kepala menekuri lantai.
Mas Alif terlihat menepuk punggung pemuda itu, Anwar pun mendongakkan kepalanya.
"Ma'af jika kami tidak bisa membantumu. Jika soal permohonan ma'af saja. Kami telah mema'afkan. Tetapi, bekas luka yang ditinggalkan, tidak mungkin terhapus begitu saja."
"Saya dapat mengerti kok, Om. Istri itu ibarat belahan jiwa. Jika dia terluka, maka kita sebagai lelaki harus melindunginya. Begitu nasehat papa saya."
"Wah, beruntung sekali kalau si Yanti dapat suami sepertimu. Tapi kasihan kamunya, dapat musibah jadinya," celetuk Uswatun tiba-tiba dengan cekikikan.
"Ust, jangan bicara gitu!" tegurku dengan mata mendelik.
"Ih, kenyataan itu, Mbak." Uswatun menjawab dengan enteng.
Mas Alif mengarahkan pandangannya pada Uswatun, membuat keponakannya itu jadi tidak enak sendiri.
"Ma'af Mas kalau kelepasan. Jengkel banget soalnya," sesal Uswatun kemudian.
"Terima kasih kalau begitu Om, Tante. Saya mau izin pamit dulu."
Kami pun mengantar Anwar hingga ke gerbang. Sebelum berlalu, masih kudengar Uswatun menasehati Anwar untuk salat minta petunjuk.
Kulihat pemuda itu mengangguk, lalu segera meninggalkan rumah kami. Mas Alif mengajakku beristirahat. Karena besok harus ke toko dan mengurus perihal lainnya.

Book Comment (79)

  • avatar
    BagusSatria

    bagus benget...

    16d

      0
  • avatar
    FadilahFadilah1933

    sangat tidak mungkin

    18d

      0
  • avatar
    Rindi Yani

    baguss KA ceritanya

    23d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters