logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 14 YANTI MINGGAT

"Kok lemes gitu? Ada apa?" tanya Mas Alif begitu aku datang.
Aku mencoba mengulas senyum mencoba mengalihkan, "sudah dapat plaris 'kah?"
"Sudah," jawabnya singkat, "ada masalah apa lagi?"
Aku menarik napas dalam, menelaah kembali yang terjadi. Masalah datang begitu bertubi-tubi. Mengapa niat baik kami, malah jadi mencoreng muka kami sendiri. Ketulusan ini bahkan disalah gunakan oleh mereka yang masih terbilang bocah bau kencur.
"Dek, kok jadi melamun?" tanya Mas alif lagi.
"Di sekolah pun, Aira bikin masalah."
"Soal apa itu?"
"Tadi Bu Diah tanpa sengaja menanyakan soal kebenaran tentang Yanti. Betul apa tidak dia keponakanku."
"Lalu ...,"
"Ya aku jawab memang betul, sebab pas daftar dulu, Bu Diah kan gak tahu, makanya dia memastikan. Anehnya, malah Bu Diah menanyakan soal kekurangan uang pembangunan."
"Kenapa dengan uang pembangunan, belum kamu bayar atau masih kurang?" cecar Mas Alif.
"Sudah terbayar sebagian, kurangannya aku janjikan satu bulan. Tetapi, sebelum jatuh tempo sudah kubayarkan, melalui Yanti."
"Lalu ....?
"Bu Diah dapat pesan dari Bu Kus bagian TU, untuk menyampaikan padaku. Kapan aku yang akan melunasi kekurangannya. SPP pun sudah terlambat tiga bulan, padahal tiap bulan membayar," terangku.
"Itu fatal sekali, Dek! Terus apa kamu sudah tanya Yanti?"
"Yanti tadi dipanggil ke ruangan BK, dia tidak tahu kalau aku ada di sana. Apa Mas ingin tahu apa yang dikatakan anak itu?" tantangku pada Mas Alif.
Suamiku itu hanya mengangguk dan dengan seksama masih menunggu kelanjutan ceritaku. Aku perdengarkan rekaman suara Yanti dari ponsel pintar yang sengaja direkam tadi pas di ruang guru.
Mas Alif mengerutkan dahinya berkali-kali mendengar rekaman tersebut hingga akhir. Luapan rasa marah terpancar dari raut mukanya. Napasnya turun naik, seiring gejolak emosi yang membuncah.
"Harus segera diluruskan kalau sudah begini, Dek! Tidak bisa didiamkan begitu saja. Kita harus ambil tindakan secepatnya."
"Gimana caranya, Mas?"
"Ya kita sidang, nanti kalau pulang!"
"Tapi nanti kita 'kan pulang malam, Mas. Apa kamu lupa kalau kita harus keluar kota?" ingatku padanya.
"Ya besoknya! Mumpung pas Minggu."
"Terserah gimana baiknya saja," jawabku akhirnya. Lalu kami mulai menyibukkan diri dengan aktifitas di toko.
Karena padatnya permintaan menjelang puasa, membuat kami tidak bisa sepenuhnya memperhatikan anak-anak. Rutinitas pekerjaan jadi prioritas utama ketika toko semakin ramai. Syukurlah anak-anak kami pribadi cukup mengerti. Yang jadi masalah, cuma kedatangan kedua anak angkat sekaligus ponakan tersebut.
Tepat pukul 12 malam, kami baru tiba di rumah. Si Bungsu sudah tertidu pulas. Begitu pula Yanti dan Sari. Yang belum tidur hanya Vian, sedang Firda sedang sholat Isya' sepertinya.
Kami memutuskan untuk bertanya keesokan harinya. Karena badan yang penat, segera saja mata ini terpejam setelah membersihkan diri terlebih dahulu. Kulihat suamiku, masih duduk di teras dengan pikiran kalut.
~~~~~
"Pyaaaar ...."
Terdengar dari arah dapur suara pecah belah jatuh, aku yang sedang mengepel lantai tetap melanjutkan aktifitas. Karena kalau hari Minggu begini, Mbak Romlah libur. Jadi aku turun tangan sendiri dibantu ana-anak. Kebiasaan dari dulu sebelum punya asisten rumah tangga.
"Suara apa itu, Dek?" tanya suamiku yang sedang menyesap minumannya di ruang tamu. Aku hanya mengedikkan bahu. Masih terdengar bunyi orang tengah mengumpulkan bekas pecahan tadi.
"Kayanya piring itu yang jatuh," gumam suamiku.
"Paling juga dua yang pecah, gak masalah Mas."
"Lebih itu, Dek. Gak mungkin dua biji," seru Mas Alif beranjak menuju dapur. Takut terjadi hal-hal yang tidak aku inginkan, aku pun membuntutinya dari belakang.
Tampak Sari sedang memunguti belas pecahan beling. Sementara Yanti hanya duduk sambil memegang kantong plastik.
"Kok bisa pecah, Sar?" tanya suamiku pada Sari.
"Gak tahu, Om. Bukan aku yang pecahin, tetapi Yanti."
"Piring berapa biji itu?" tanya suamiku lagi.
"Enam biji, Om."
"Kenapa bisa sampai pecah, Yan?"
Yanti hanya terdiam saja. Mulutnya komat-kamit, tetapi tidak mengeluarkan suara. Kepalanya diteleng-telengkan mirip gerakan burung yang sedang makan.
"Lain kali hati-hati, barang ini dibeli pakai keringat Mamamu. Untuk membelinya sampai harus meninggalkan kalian semua," jelas suamiku tegas. Kedua gadis itu hanya terdiam.Aku
"Ada apa, Mbak?" tanya Firda menyela, yang baru datang membersihkan lantai atas. Matanya terbeliak begitu melihat banyaknya serpihan pecahan beling.
Aku kembali ke depan, melanjutkan aktifitas yang tertunda. Terdengar olehku, Mas Alif yang masih berbicara dengan anak-anak di dapur.
Karena ini hari Minggu, setengah bergegas aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Kemudian bersiap ke toko. Kalau hari libur begini, pengunjung lebih membludak dari hari biasanya.
Ketika ada waktu senggang, Yanti menjadi pokok bahasan kami berdua. Yang kurasa, gadis itu seperti sakit jiwa. Lebih tepatnya mengalami kegoncangan jiwa ya, bisa jadi karena tidak dididik oleh orang tuanya sendiri. Mungkin juga karena pola asuh yang salah.
Sehingga menjadikan dia tumbuh menjadi pribadi yang salah. Lain Yanti , lain pula si Sari. Dari kecil dia tumbuh dengan berpindah-pindah tangan. Sari kecil juga pernah ikut denganku, tapi tak lama kemudian Ayahnya menjemputnya. Kabar terakhir yang kudengar tentang Sari malah lebih miris.
Karena tertekan oleh orang yang diikutinya, Sari pun melarikan diri. Hingga berminggu-minggu lamanya, Sari sulit ditemukan. Suamiku sudah pasrah dan hendak membuat laporan tertulis kepada polisi. Namun, diurungkannya.
Seminggu kemudian, Sari ditemukan dan akhirnya aku ajak pulang. Waktu itu kami masih belum membeli rumah baru yang sekarang kami tinggali. Namun, setelah dua minggu di rumah kami, lagi-lagi Sari dijemput. Kali ini yang menjemput keluarga dari Bundanya dengan dalih mau dipondokkan, kami pun tak kuasa untuk menolak.
Lagi dan lagi, Yanti terkesan menghindari kami, ketika aku tiba di rumah sore harinya. Malam ini dia beralasan demam, jadi tidur lebih cepat. Sengaja tadi pulang toko, aku membeli baju persiapan lebaran untuk ketiga gadisku itu lebih dulu. Sari dan Firda sudah mencobanya, ukurannya pas di badan mereka. Tinggal Yanti saja yang belum.
Satu minggu sebelum puasa, memang sudah kubelikan. Takut kalau puasaan, toko rame dan aku tidak sempat keluar, jadi aku mensiasatinya dengan demikian.
Keesok paginya, pukul setengah lima, Sari mengtuk kamrku dengan keras.
"Te ... te ...,"
Aku terbangun karenanya, teringat pula belum sholat shubuh pula.
"Ada apa, Sar?" tanyaku dengan nyawa yang belum terkumpul dengan seksama.
"Tante ada suruh Yanti 'kah?"
"Gak, kenapa memangnya?"
"Yanti kok gak ada, di atas juga gak ada," beritahu Sari gugup.
"Sholat di masjid mungkin, Ayah sudah pulang dari masjid apa belum?"
"Belum."
Sambil menunggu orang turun dari masjid, aku pun bergegas mandi dan Shubuhan dulu. Sambil menunggu suamiku datang.
Terdengar suara salam dari ruang tamu, sesaat kemudian. Aku bergegas keluar. Sari sudah kudapati cemas. Tak menunggu lama, aku menyiapkan motor, lalu mengajak Sari turut.
"Kamu mau kemana, Dek? tanya Mas Alif.
"Pergi nyari! Siapa tahu di rumah saudara Bundanya, Mas."
"Baju Yanti dan tasnya tidak ada semua, Te," seru Sari setelah turun dari atas.
"Bawa ponsel, nanti kabari aku," jawab Mas Alif singkat.
Aneh, Mas Alif tampak tidak mencemaskan Yanti sama sekali. Dia malah asyik, bercengkerama dengan adek Jaya yang sudah terbangun.
Setelah pamit, aku bersama Sari mencari Yanti ke rumah saudara Bundanya. Sambil menyusuri jalan, mata kami pun memperhatikan kanan kiri, barangkali saja masih terlihat Yanti. Anak itu tak mungkin bisa pergi jauh, karena tidak punya ongkos.

Book Comment (79)

  • avatar
    BagusSatria

    bagus benget...

    23d

      0
  • avatar
    FadilahFadilah1933

    sangat tidak mungkin

    24d

      0
  • avatar
    Rindi Yani

    baguss KA ceritanya

    29d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters