logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Bukan Editan

"Evyta, bisa Kau kirimkan foto-fotoku ke handphone-ku?" aku diam-diam mengirimkan pesan pribadi pada Evyta, Bernard akan marah jika mengetahuinya. Akhirnya aku bisa memiliki foto-foto itu.
Parasnya tampan alami --menurutku. Tapi aku yakin semua orang juga bakal berkata demikian. Rahangnya tegas, garis alisnya jelas dan indah, bola matanya hitam pekat, bibirnya merah pucat. Senyumnya tak mengurangi karismanya. Hari ini entah sudah berapa lama aku memandanginya, aku bahkan hampir lalai untuk melanjutkan lamaranku memasuki universitas.
Keinginanku untuk melanjutkan ke New York sudah luruh, aku juga tidak yakin bisa diterima di Bilimdi. Semangat belajarku menurun drastis. Sekarang targetku hanya Sidorfa University yang jaraknya bisa kutempuh tak lebih dari satu jam dari rumahku. Foto-foto yang kucetak dengan mesin cetak pribadiku memang sedikit membantuku melupakan Algha, tapi di sisi lain Ia cukup meresahkan hingga aku tidak bisa berkonsentrasi mengurus studiku.
Dikarenakan penat, aku membuka jendela kamarku yang menghadap depan dan menyajikanku pada pemandangan jalan setapak. Daun-daun tampak hijau ranum dan sedikit menghalangi pandanganku. Aku menanam beberapa pohon jeruk di halaman dan juga pohon anggur. Sulur anggur di halamanku merambat secara teratur mengikuti kawat yang kupasang membentuk spiral.
Aku tinggal di perkampungan yang tidak jauh dari pusat keramaian kota. Meski udara di kota tidak terlalu buruk akibat padatnya kendaraan, tetapi udara di kampung jauh lebih baik. Tak ada pabrik makanan yang membuang limbah sembarangan, tak ada bengkel kendaraan yang membuat irigasi kampung penuh dengan oli bekas. Pohon-pohon di tepi jalan dirawat dengan baik hingga tidak membahayakan pengendara dan bangunan.
Ada yang menarik perhatianku untuk turun dan keluar rumah, aku melihat burung dengan sayap warna-warni hinggap di dahan pohon jerukku yang lumayan rendah. Aku berlari menuruni anak-anak tangga dan tak sabar untuk menangkapnya. Daun pintu kubuka dengan buru-buru, namun sialnya justru menghasilkan suara yang berisik. Aku masih beruntung karena ternyata burung cantik itu sedang meloncat-loncat dari satu dahan ke dahan lainnya.
Ia berkicau ria dan menyadari kedatanganku, aku memandangnya dari balkon. Pelan-pelan, aku melangkah menuruni tangga menuju halaman rumah. Dasar rumahku memang dibangun dengan model agak tinggi dari permukaan tanah. Aku mengendap agar burung itu tidak takut kepadaku, Ia masih berkicau merdu sembari memamerkan bulu-bulu indahnya. Lalu terbang dan membuatku merasa kehilangan saat itu juga.
Dengan perasaan kecewa karena alasan sepele, aku kembali memasuki rumah, melanjutkan penulisan resume-ku untuk melanjutkan ke universitas. Tugas-tugas belajarku juga masih banyak, aku masih harus bekerja lebih keras di jenjang transisi antara SMA dan kuliah ini. Sekali lagi, aku melemparkan pandangan mataku ke sosok di foto itu.
Aku baru berminat untuk mencaritahu tentang tempat yang kukunjungi dengan teman-temanku beberapa hari kemudian. Jemariku berselancar lancar menunjukkan puluhan informasi tentang hutan yang melindungi pantai, lokasinya dikenal sebagai Wisata Alam Bulawanong. Informasinya tak lebih dari sekadar promosi wisata, tak ada mitologi apapun yang berkaitan dengan apa yang sedang kualami.
Sosok lelaki itu juga tidak ada di pencarian gambar, kemungkinan besar bukan public figur ataupun tidak aktif di media sosial. Hah? Media sosial? Yang benar saja! Apakah aku gila hingga berharap makhluk tak kasat mata itu memiliki media sosial. Mungkin benar kata Charly jika Evyta mengeditnya tanpa sepengetahuan siapapun, siapa tahu ada media yang autoedit, apalagi Evyta sangat membidangi dunia fotografi. Untuk memastikan apakah ini hasil editan atau bukan, aku harus pergi ke ahli fotografi.
Tanpa perlu pendapat teman-temanku yang lain --bahkan Evyta sekalipun, aku yakin aku harus pergi ke salah satu studio foto terbaik di Sidorfa. Evyta sama sepertiku, Ia memiliki minat pada foto ini. Entah Ia tertarik pada paras mengagumkan sosok itu atau justru keajaiban pada hasil jepretannya sendiri.
Awalnya aku disambut ramah oleh petugas studio saat menyampaikan maksudku untuk berkonsultasi tentang fotografi, tetapi mereka saling berpandangan ketika aku menyampaikan inti maksudku. Mereka pasti menertawakanku.
"Objek ini tidak ada ketika teman saya mengambil gambar saya, tetapi Ia muncul di hasil jepretannya. Saya dan teman-teman saya yang lain masih belum yakin apakah foto ini hasil editan atau bukan," ujarku.
"Coba kami periksa dulu ya, Kak," salah satu dari mereka mengambil cetakan foto sekaligus memintaku untuk mengirimkan file-nya.
Aku diminta menunggu, dua dari mereka menemaniku mengobrol terutama membicarakan tentang foto ganjil yang sedang diperiksa. Mereka bertiga, mungkin satu tim. Aku menahan diri untuk tidak dulu bercerita tentang bagaimana foto itu diambil. Aku tidak ingin orang-orang menganggapku gila. Siapapun selain kami yang ikut kemah, akan berkata bahwa aku mengada-ada. Jika bukan karena editan, objek itu tentu saja ada di sebelahku.
"Saya yakin tidak ada editan dalam foto ini, meski file-nya hanya salinan tapi studio kami memiliki alat yang canggih untuk mendeteksi," ujarnya setelah memeriksa fotoku beberapa saat.
"Ngomong-ngomong di mana lokasi pengambilan gambarnya?" lelaki di sebelahnya --yang barusan mengajakku mengobrol ikut menimpali.
"Di Wisata Alam Bulawanong," jawabku. Seperti dugaanku, tidak ada unsur editing dalam foto itu.
"Oh, tempat yang masih sepi peminat," gumamnya dengan pandangan menerawang.
"Beberapa pengunjung datang untuk menunggang kuda sembari menyisir pantai, meski pemerintah setempat terus menggembor-gemborkan hutannya juga aman dari binatang buas," aku memberinya keterangan.
"Apakah kami boleh meminta salinannya untuk digunakan konten berita? Ngomong-ngomong studio kami juga bekerjasama dengan surat kabar online," ujar perempuan muda itu.
"Mohon maaf tidak bisa, saya tidak mau koleksi pribadi saya jadi konsumsi publik," tanggapku. Enak saja, aku tidak akan membiarkan diriku viral apalagi sosok dalam foto ini.
Aku puas mendapat konfirmasi bahwa apa yang June dan Evyta tangkap tidak diedit sama sekali, foto ini asli dengan sosok tak kasat mata yang memunculkan diri di frame fotoku. Aku lega sekaligus semakin penasaran. Beberapa kali aku membuka fotonya saat menumpangi bus kota menuju perkampunganku. Rasanya aku selalu ingin melihat wajahnya, Ia seperti memiliki magnet untuk menarik perhatianku.
Tiba-tiba saja aku berpikiran bahwa apakah ada orang lain yang juga mengalami hal yang sama seperti diriku? Apakah hal itu juga yang menyebabkan hutan Bulawanong sepi pendaki? Hutan yang medannya perbukitan itu sangat sepi, bahkan saat kami berusaha menjelajahinya kami tidak menemukan rombongan lain.
Aku mendiamkan tentang foto itu yang membingungkan, komunikasi di antara kami bertujuh juga nihil. Tidak ada pembicaraan apapun setelah acara kemah beberapa hari yang lalu. Komunikasi terputus begitu saja.
Tiba-tiba jagad internet di handphone-ku diramaikan oleh berita lokal yang sangat mengejutkanku. Ada berita tentang foto itu di sana, wajah diriku juga terpampang jelas. Rasa geramku seketika membuncah, aku mengutuk siapapun yang membuat berita itu. Tidak hanya di situs berita online, tetapi juga di media-media sosial.
Aku mencari dengan gugup siapa penulis yang paling pertama merilis berita itu, sayangnya Ia menggunakan identitas anonim. Tapi dilihat dari redaksi opini-opininya aku yakin Evyta-lah di balik penulis anonim itu. Platform beritanya pun bukan milik studio itu. Jika benar, aku tidak terima dengan ini semua, keterlaluan sekali Ia mengomersialkan potret diriku seenak hati, meski poinnya adalah sosok itu.
***

Book Comment (30)

  • avatar
    Nurshahirah Kay

    good,😘

    19/07

      0
  • avatar
    izwanFarshanda

    bole lh

    13/07

      0
  • avatar
    SulistyawatiWahyu

    bagus buat dijadiin buku ╥﹏╥♡

    28/11

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters