logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Pelukan Sang Suami

Mas Wira kembali menutup pintu ketika karyawan hotel tersebut keluar setelah menata berbagai menu di atas meja.
Sementara aku masih berdiri dengan dada yang naik turun menahan rasa emosi yang masih mengendap di ubun-ubun.
Mas Wira menatapku sekilas, kemudian berjalan menuju meja yang kini terhidang berbagai menu lezat. Pria itu lalu duduk di kursi sofa.
"Temani saya makan, Yessi," ucapnya.
Aku memalingkan wajah, merasa enggan menuruti permintaannya.
"Yessi!" panggilnya sekali lagi.
Mau tak mau, aku pun berjalan ke arahnya. Kemudian duduk di sebelahnya dan memilih jarak agak jauh darinya.
Mas Wira menggeser kopi beserta kudapan ke hadapanku.
Keheningan menyertai kami untuk beberapa detik.
"Maaf untuk yang tadi. Aku memang sengaja melakukannya," ucap Mas Wira.
"Sebagai seorang suami, aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi denganmu." 
"Beberapa kali aku menemukanmu mengigau dalam tidur. Dan kamu juga tadi sangat ketakutan ketika aku membawamu ke sini. Aku yakin ini semua ada hubungannya dengan kehamilanmu, kan? kamu bisa menceritakannya semua padaku, Yessi."
Tanganku bergerak mengusap air mata yang  menetes di pipi. Kemudian menyesap kopi untuk sekadar menenangkan suasana hatiku yang rasanya begitu sesak.
"Anggap aku temanmu, agar kamu bebas meluapkan semua emosimu," ucap Mas Wira lagi karena sejak tadi aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya.
"Terimakasih, Mas. Tapi aku belum siap menceritakannya sekarang," sahutku datar.
Mas Wira tampak menghela napas sejenak. Kemudian mulai menyantap menu makan siangnya yang sudah sangat terlambat. Kasihan suamiku, karena pekerjaan dia sampai rela menunda makan siangnya.
Tak ada obrolan sepanjang aku menemaninya menyantap habis makanan di piringnya. Sesekali aku menggingit camilan di piringku.
"Kalau kepingin apa-apa bilang. Aku akan membelikannya untukmu," tutur Mas Wira setelah membersihkan mulutnya dengan tissu.
Aku hanya mengangguk menanggapi ucapannya. Layaknya wanita hamil pada umumnya, aku memang kepingin makan rujak. Akan tetapi, tentu aku merasa sungkan untuk memintanya. Lebih baik mengubur dalam-dalam keinginan itu. Janin ini bukanlah milik Mas Wira, aku merasa tak tega jika harus membebankan keinginan si jabang bayi kepada pria yang notabene bukan darah dagingnya.
***
"Sebelumnya, kita pernah bertemu, kan?" tanya Mas Wira ketika kami duduk berdampingan di atas sofa. 
Aku tersenyum malu menatapnya. 
"Ya, kita berkuliah di tempat yang sama," sahutku.
"Genk kalian sering menggodaku waktu itu." Mas Wira kemudian menyandarkan kepalanya pada sofa.
"Tapi aku heran, kenapa kamu diam saja waktu itu?" tanyanya.
Aku mengernyitkan kedua alis. "Maksud Mas?"
"Kamu tidak kecentilan seperti teman-temanmu. Itu sebabnya aku menjadi tertarik padamu."
Tunggu, tertarik? 
Aku lalu mengubah posisi dudukku agar berhadapan dengannya.
"Apa salam yang kutitipkan waktu itu sampai padamu?" tanyanya.
"D-dari Siska?" tanyaku gugup.
Mas Wira mengangguk. 
Berarti benar. Siska waktu itu berkata jujur. Aku saja yang tak mempercayainya.
"Sampai," jawabku singkat, lalu menundukkan wajah, memainkan jari jemari guna menyamarkan rasa gugup yang melanda.
"Sayangnya, kamu sudah memiliki kekasih waktu itu," ucap Mas Wira terdengar sendu.
Aku menggigit bibir. Tak berani mengangkat kepala.
"Tidurlah, sudah malam." Tangan Mas Wira mengacak pelan pucuk kepalaku. 
Ah, aku benci merasai jantungku yang tiba-tiba berlompatan tak karuan ini.
Lelaki itu kemudian bangkit dan berjalan menuju ranjang. Mengambil sebuah bantal dan meletakkannya di atas sofa.
"Ayo, tidur di tempatmu sana," titahnya sembari menunjuk ranjang dengan dagunya.
"Apa mau aku temani?" godanya.
Refleks, aku pun langsung berdiri.
"Tidak perlu!" jawabku cepat dan berjalan menuju ranjang.
Terdengar suara tawa Mas Wira yang terdengar seperti sedang meledekku.
Awas kamu ya, Mas!
Setelah itu, aku kemudian berbaring membelakanginya. Agar ia tak melihatku yang saat ini sedang senyum-senyum sendiri. Hatiku seakan dipenuhi oleh bunga yang sedang bermekaran.
Jujur, selama menikah, baru kali ini kami mengobrol sedekat ini. Berarti benar, jika Tuhan ternyata menyiapkan kejutan di balik sesuatu yang tidak kita sukai. Tentu saja, jika kita melaluinya dengan rasa ikhlas. 
Seperti halnya aku yang ikhlas diperlakukan semena-mena oleh ibu mertuaku, hingga tak sengaja malah membuatku berakhir di sini, bersama dengan suami yang kukira kaku.
Aku menggigit bibir seraya tersenyum, mengingat ucapan Mas Wira yang mengakui bahwa ternyata ia sudah lama tertarik padaku. 
Meski aku tak tau hanya sebatas tertarik saja kah? Ah ya, dia hanya tertarik karena menurutnya aku tidak kecentilan seperti teman-temanku. Hanya sebatas itu ternyata.
Dan lagi, ia tertarik padaku di saat kami masih duduk di bangku kuliah. Tentu keadaannya sudah berbeda sekarang. Mana mungkin ia tertarik padaku yang sudah berbadan dua ini. Pasti aku tak ubahnya hanya seonggok kotoran di matanya.
Senyumku perlahan memudar, dan kembali menelan kekecewaan. Aku kemudian berbalik posisi dan menatap Mas Wira yang kini sudah terlelap dengan lengan kanan berada di atas dahinya.
Beberapa saat kemudian, aku pun ikut terlelap. 
Meski memejam, aku bisa merasakan lingkaran tangan yang memeluk pinggangku. Dalam tidur, bibirku menyunggingkan sebuah senyuman. 
'Ini pasti Mas Wira,' batinku.
Namun entah mengapa semakin lama, pelukan itu terasa semakin kencang. Sampai-sampai napasku sesak dibuatnya. 
Kedua mataku rasanya sulit terbuka. Alam bawah sadarku mengatakan jika tangan ini bukan milik suamiku. Aku ingin berteriak, namun suaraku seolah tercekat di tenggorokan.
Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku?
Pikiranku belum lagi sanggup mencerna apa yang sedang terjadi, lagi-lagi tubuhku serasa terseret ke sebuah dimensi yang berbeda. 
Aku berlari kencang karena ada seseorang yang mengejarku, entah siapa. Namun aku merasa jika dia adalah orang jahat. Aku terus berlari hingga napasku tersengal-sengal. Aku kembali merasa ketakutan. 
Akhirnya, kedua mataku pun berhasil terbuka. Tanganku bergerak meraba baju tidur yang  melekat di tubuhku. Baju yang sore tadi dibeli via online oleh Mas Wira kini telah basah akibat keringat yang membanjir di sekujur tubuhku. Napasku masih terasa ngos-ngosan. 
Ah, mimpi buruk lagi ternyata. Aku lalu mengusap wajahku yang penuh dengan keringat, setelah itu duduk di ranjang. Pandanganku kemudian menatap jam di dinding, pukul dua dinihari. 
Tatapanku beralih ke sofa, di mana Mas Wira tertidur sambil melipat kedua tangan di depan dada. Aku baru sadar jika tak ada selimut yang menutupi tubuhnya.
Aku kemudian bangkit dan berjalan menuju lemari. Mengambil sebuah bed cover, lalu menyelimuti tubuh suamiku.
Baru saja hendak pergi, aku merasa pergelangan tanganku dicekal oleh seseorang. Belum lagi berpikir jernih, Mas Wira kemudian menarikku hingga membuatku jatuh di atas tubuhnya.
Mataku sontak membelalak lebar. Otakku mati beberapa detik ketika tiba-tiba Mas Wira melumat bibirku dengan sangat lembut. Saking lembutnya, sampai-sampai jiwaku serasa terbang ke nirwana.
Mas Wira tersenyum manis setelah melepas pagutannya. Kurasakan kedua pipiku yang kini terasa panas.
Aku mendadak jadi gugup.
"Jangan takut. Aku selalu di sini bersamamu," ucapnya seraya mengusap pipiku.
Aku mengangguk.
"Makasih, Mas," sahutku.
"Aku yang harusnya berterima kasih," ujarnya.
Keningku berkerut menatapnya.
Jemari Mas Wira terangkat dan mengusap lembut bibirku. 
"Makasih kissnya," ucapnya seraya tersenyum.
Aku menunduk merasakan debaran dada yang semakin tak terkira.
"Mas, boleh aku tidur di sini?" tanyaku takut-takut.
Kening Mas Wira mendadak berkerut.
"Maksudnya kita ganti tempat tidur, begitu kah? Kamu di sini dan aku di sana?" tanya Mas Wira seraya menunjuk ranjang.
Aku menggeleng.
"Bukan. Maksudku, aku tidur dengan Mas di sini," sahutku malu-malu.
Mas Wira tampak tersenyum.
"Boleh. Tapi di sini tidak luas. Kenapa kita tidak tidur di ranjang saja yang ruangannya lebih luas?" tanya Mas Wira.
"Tidak, tidak!" sahutku cepat sembari menggeleng. Aku masih merasa takut tidur di ranjang itu.
"Aku mau di sini saja," lanjutku.
"Oke, tidak apa-apa kalau itu memang maumu,"
Dengan hati-hati, Mas Wira kemudian menjatuhkan tubuhku di sebelahnya. Tak lupa lengannya dihamparkan sebagai bantalan kepalaku. Meskipun bantal yang saat ini dipakai Mas Wira masih cukup jika kami gunakan berdua.
Untung saja ukuran sofa ini cukup besar. Tak terlalu besar juga, namun cukuplah untuk menampung tubuh kami berdua.
Semenjak menikah, baru kali ini kami tidur berhimpitan seperti ini. Berada di dalam pelukan Mas Wira, rasanya sungguh nyaman, dan juga aman. Aku merasa dilindungi oleh suamiku.

Book Comment (94)

  • avatar
    CanzsNia

    cerita nya keren

    28d

      0
  • avatar
    Marsinah Nina

    bagus

    20/08

      0
  • avatar
    NisakKhairun

    novelnya bagus,menyentuh,bikin haru

    18/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters