logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Percayalah Untuk Sembuh

Aku membaca sekali lagi tentang efek samping obat yang rencanakan akan digunakan Dokter untukku. Banyak sekali efek sampingnya. Ya Tuhan, jadi selama pengobatan aku akan merasakan hal ini. Setiap kata demi kata membuat tubuhku meremang seketika. Salahkah perasaan takut yang mengahantui? Atau aku harus kembali menyalahkan takdir seperti biasa?
“Apa yang sedang kamu perhatikan?”
Kepala Jingga tiba-tiba muncul di sisi kiriku. Sialan gadis ini, ia membuatku hampir terjengkang karena kaget. “Kamu yang sedang apa?”
Ia seketika menjauh dan duduk di seberang meja. Mami muncul mendengar seruanku. Ia tersenyum dan menghampiri Jingga dengan cepat. Sementara aku tetap kembali mencari artikel lain dari sumber terpercaya dengan judul yang sama.
“Itu si Surya nyari apaan sih, Tante?” Jingga mengajukan pertanyaan pada Mami.
“Udah Tante larang tadi, nggak dengar dia.” Mami menjawab dengan nada kesal. Kulirik Mami dengan ekor mata. Beliau tampak cemberut.
Laptopku seketika tertutup tiba-tiba. Aku mendapati sebuah tangan berada di atasnya. Siapa lagi kalau bukan Jingga. “Maaf, ya, aku lagi baca,” kataku jengkel.
“Itu bukan bacaan yang bagus buat kamu,” sahutnya sambil bersidekap. “Kamu dengar, kan, apa kata dokter kemarin. Harus ada pemeriksaan lebih lanjut. Mereka baru diagnosis, Sur.”
“Iya-iya.” Aku mengangkat tangan tanda menyerah. Berhubungan dengan wanita selalu harus menggalah. Itu hukum alam yang tidak bisa diganggu gugat.
“Maksudnya pemeriksaan lagi, apa, Jingga?” Mami yang belum menghilang dan memilih duduk di meja makan di sisi yang sama dengan Jingga mengajukan pertanyaan.
Jingga mendekati Mami kembali. Sebelum pergi ia mengacungkan telunjuk padaku memberikan peringatan. “Pada pemeriksaan sebelumnya, Dokter hanya mendiagnosis melalui gejala dan pemeriksaan awal saja. Jadi, Dokter meminta Surya untuk diperiksa kembali oleh spesialis, Tante,” terang Jingga. “Kita nggak mau kan kalau Dokter salah diagnosis.”
Mami terlihat mengangguk-angguk. Aku sendiri berdoa dalam hati semoga saja hasil pemeriksaan yang akan keluar nanti negatif. “Terus menurut kamu apa pengobatan yang kemungkinan disarankan?” Jingga perawat, ia pasti lebih tahu dariku.
Kulihat Jingga berpikir sebentar. “Pastinya tergantung separah apa kondisimu.” Rupanya ia tak mau asal tebak saja. “Semoga kondisimu masih stadium A atau B,” ujar Jingga padaku.
Aku menyandarkan tubuh. Seluruh tubuhku terasa ngilu dan aku sudah muntah dua kali pagi ini. Melihat makanan yang terhidang saja sudah tak berselera kini. Jika pun makan, pasti kupaksa menelan.
***
Aku gelisah menunggu di ruang tunggu. Tidak menyenangkan berada di ruang periksa nanti sendirian. Aku sudah meminta Jingga untuk menemani. Tidak usah masuk ke dalam, cukup berdiri di setiap ruangan pemeriksaan yang akan kudatangi. Hijab yang dikenakan Jingga menghalangiku untuk meminta lebih. Aku memang tak taat agama, tapi aku tahu batas yang diperbolehkan untuk mendekati gadis seperti Jingga.
Mula-mula Dokter melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan ini bertujuan memeriksa benjolan di hati dan pembengkakan diperut. Tidak lupa tes darah untuk memeriksa fungsi hati dan jumlah AFP. Lalu pemidaian ultrasonic hati dengan menggunakan gelombang suara untuk mengambarkan hati dan memberitahukan tumor yang ada. Tes ini sama sekali tidak sakit. Terakhir, pemindaian CT-MRI untuk mendapatkan hasil tiga dimensi hati, gambar yang lebih rinci.
Pada akhirnya aku keluar dari ruang pemeriksaan terakhir. Sungguh, kupikir tadinya Jingga akan menghilang begitu aku masuk ruangan. Ternyata gadis itu masih berdiri di tempat yang sama, memandang ujung sepatu. Saat ia mendongak, aku sudah ada di sisinya. “Bagaimana?” Jingga langsung menggajukan pertanyaan.
“Dokter belum mengatakan apa-apa. Mereka mengatakan untuk kembali ke sini minggu depan.” Aku bersandar di dinding, di sisi pintu lainnya. “Aku takut.”
Jingga berjalan ke arahku dan berdiri di depanku. “Apa yang kamu takutkan?”
“Bagaimana jika kondisiku sudah sangat parah.” Ya, itu yang ada di dalam otakku saat ini tak ada yang lain.
“Apa kamu sudah melihat malaikat maut belakangan ini?”
Jingga berhasil membuatku kesal dan melotot. Ia langsung mundur beberapa langkah dan tertawa melihat reaksiku. “Kamu menyumpahiku mati!” rutukku kesal.
“Tidak. Aku hanya ingin melihat reaksimu.” Ia berusaha kerasa menahan tawa. Namun, sama sekali tak berhasil. Sebagai gantinya, ia terbatuk-batuk kecil. “Kamu sangat sehat, Sur. Kamu akan sembuh.” Ia kembali meyakinkanku sekali lagi.
Aku mengisi paru-paruku dengan oksigen sebelum bicara. “Ya, karena percaya padamu aku di sini.” Aku berbalik menuju pintu keluar rumah sakit. “Apa besok kamu akan ke rumahku?” Aku sendiri merasa tak paham kenapa bertanya padanya begini. Hanya saja rasanya udara begitu ringan jika Jingga ada di dekatku.
“Tidak, kamu selalu saja bersikap menyebalkan padaku,” jawabnya.
Aku tersentak dan berbalik. “Aku tidak bermaksud ….” Ada kecemasan yang membayang di pelupuk mata. Jingga mungkin tak akan ke rumah besok. Atau esoknya lagi.
Ia tertawa melihat reaksi panikku. Sialan. Gadis ini sedang mempermainkan emosiku, melihat betapa penting posisinya sekarang dalam hidupku. Tidak boleh. Jingga hanya seorang teman yang lebih peduli dari teman lainnya. Tak boleh lebih dari itu.
“Aku akan ke rumah, sungguh.” Ia mengacungkan jempol dan berjalan mundur.
“Kamu mau ke mana? Tidak mau diantar pulang.”
“Aku dapat shif malam. Kamu pulang sendiri.” Ia berbalik dan pergi melalui pintu di sisi lain jalan keluar. Mungkin itu pintu masuk ke ruangan para perawat. Aku juga bergegas untuk pergi keluar rumah sakit.
Tanpa sengaja kepalaku menoleh ke arah kursi penumpang di sebelah sopir. Kenapa aku merasa merindukan Jingga sekarang? Kenapa rasanya sangat kosong saat melihat tempat itu tak lagi diduduki Jingga? Aneh. Di sisi dekat pintu, ada benda berbentuk segitiga berwarna biru tersembul. Aku memiringkan tubuh untuk meraih benda itu. Itu sebuah buku. Ada beberapa daun dan bunga yang tertempel di sampul. Apa ini buku harian? Bolehkah aku mengintipnya sedikit? Apa yang kira-kira tertulis di dalam sana.
Tidak. Tidak boleh. Aku tidak punya hak untuk mengintip apapun yang ditulis Jingga di dalam buku. Aku melempar benda tersebut ke atas tempat duduk lagi. Ia melompat karena pegas dan terbuka. Aku melajukan mobil perlahan, keluar dari halaman parkir rumah sakit.
Sesekali kulirik pada buku bersampul biru yang ada di atas jok kini. Kenapa buku itu menari-menari minta dibaca. Kenapa aku ingin tahu apa yang ditulis Jingga? Aku mendesah dan menepikan mobil. Aku menoleh dan menatap buku itu selama beberapa saat dan kemudian meraihnya.
Sebelum membaca kata pertama yang tertulis di sana, aku memohon ampun pada Tuhan karena sudah mencuri tahu apa isi benda sakral ini. Jingga menulis satu kata yang membuatku langsung tersenyum.
12 juni 2003.
Kau tahu penampilanku hari ini seperti orang gila. Namun, aku baru saja jatuh cinta ….

Book Comment (73)

  • avatar
    Suati

    bagus dan seru enak nanti aku sebarkan ke tiktok seru

    17/08

      0
  • avatar
    C_21_088_WanDheryD

    keren banget

    19/07

      0
  • avatar
    RefaFerdiansyah

    mantap

    16/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters