logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Bermain di Taman

Hubungan pertemanan Suci dan Zulfa makin dekat. Keduanya jalan-jalan bersama mengelilingi mal dengan Agha sambil berbincang-bincang banyak hal.
"Apa Ibu tahu cita-cita Agha?" tanya Zulfa penasaran.
"Kamu jangan panggil aku Ibu, Zulfa, panggil aku Suci saja. Apalagi kita seumuran." Suci terkekeh.
"Ba-baiklah, Bu … eh, maksudnya Suci." Zulfa tersenyum canggung.
"Kalau masalah cita-cita Agha, Agha belum pernah mengatakan cita-cita apa pun. Dia hanya asyik bermain seperti anak-anak seusianya."
"Oh, begitu, ya …." Zulfa manggut-manggut paham.
Suci diam-diam memperhatikan Zulfa. Sepertinya Zulfa memiliki ketertarikan yang besar pada Agha, dilihat dari saat Zulfa memperhatikan dan berkomunikasi dengan Agha.
"Sepertinya kamu sangat menyayangi Agha, ya?" 
Zulfa seketika gugup. Pernyataan itu benar-benar tak terduga. "Y-ya, begitulah." Ia terkekeh kikuk. "Saya memang menyayangi semua anak-anak yang saya didik," jelasnya berbohong.
"Aku benar-benar senang karena Agha memiliki guru sebaik kamu." Suci tersenyum tulus.
Zulfa menunduk malu. "Benarkah? Ah, saya lega mendengarnya. Sa-saya juga senang sekali memiliki anak didik sebaik dan sepintar Agha."
***
Esok harinya.
Suci memiliki toko kue. Kini banyak pengunjung yang memborong dan memesan kue dalam porsi besar. Alhasil, Suci sedang kelabakan di dapur.
"Ya ampun! Jam berapa ini?"
"Ada apa, Bu?" 
Suci segera melepaskan celemeknya. "Aku harus menjemput anakku di sekolah. Aku titip toko sama kamu, ya. Tolong kamu ganti sementara."
"Ma-maaf, Bu, bukannya aku tidak mau. Tapi aku tidak bisa, aku juga sedang kerepotan melayani ratusan klien lain, hari ini kue-kuenya harus selesai."
"Ya ampun! bagaimana ini?" Suci panik. Dia sudah sangat terlambat dari jam pulang Agha.
"Oh, ya, Zulfa! Aku minta dia saja yang menjemput Agha." Suci buru-buru mengambil ponsel di laci dan menelepon Zulfa.
Suci menggigit bibir dengan perasaan cemas. Nada sambung yang bersenandung di telinganya makin memacu detak jantungnya.
"Tolong angkat, Zulfa. Kumohon …." gumam Zulfa risau.
"Halo, Bu?"
"Ah! Halo, Zulfa. Apa … apa aku bisa minta tolong sesuatu padamu?" tanya Zulfa penuh harap dan agak mendesak.
"Tentu saja, Bu. Minta tolong apa?"
"Hari ini aku sibuk kali mengurus bisnis kue, sampai nggak bisa menjemput Agha. Apa kamu bisa menjemputnya pulang?"
"Oh! Tentu saja, Bu!" seru Zulfa antusias.
Suci tersenyum bahagia. "Syukurlah. Terima kasih banyak sebelumnya, Zulfa. Aku akan mengirimkan alamat sekolahnya."
"Baik, Bu."
Sambungan dimatikan. Dengan tangan penuh tepung, Suci buru-buru mengirimi alamat sekolah Agha pada Zulfa.
***
Agha menangis terisak-isak di pos satpam. Dua orang guru mendampingi bocah itu sambil sesekali menenangkannya.
"Kamu tenang saja, Sayang. Sebentar lagi Ibu kamu pasti datang menjemput kamu," hibur wanita bersanggul lembut. Dia adalah guru Agha.
Namun, Agha terus menangis.
Mobil taksi berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Zulfa bergegas turun dan berlari mendekati Agha.
"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu menangis?" tanya Zulfa panik.
"Ibu siapa, ya?"
"Oh, saya Zulfa, guru les privat Agha. Saya tadi ditelepon ibu Agha untuk menjemputnya di sekolah," jelas Zulfa.
"Oh, begitu."
"I-ibu di mana, Tante? Kenapa ibu terlambat menjemputku?" tanya Agha terisak-isak. Dia sangat ketakutan karena semua temannya sudah pulang. Hanya dia sendiri yang tinggal di sekolah.
Zulfa berjongkok di depan Agha dan menghapus air matanya. "Maaf, ya, Sayang. Ibu kamu sampai terlambat menjemput kamu. Ibu tadi sedang sibuk banget, karena itu tidak bisa jemput kamu. Sekarang kamu jangan menangis lagi, ya. Tante sudah ada di sini." Zulfa tersenyum manis.
Agha mengangguk pelan sambil mengucek-ucek matanya. Akhirnya, Zulfa berhenti menghentikan tangisan Agha.
"Mana senyum manisnya?" pinta Zulfa. "Kalau kamu menangis terus, nanti gantengnya hilang, loh?"
Agha tersenyum kecil. 
"Anak pintar." Zulfa membelai rambut Agha dengan penuh kasih sayang.
"Kalau begitu, saya dan Agha pamit dulu, ya, Bu." Zulfa membungkuk sopan pada kedua guru Agha tersebut. 
"Iya, hati-hati, ya."
Zulfa mengajak Agha memasuki taksi dan meninggalkan area sekolah.
***
Zulfa dan Agha duduk di kursi penumpang. Sejak tadi bocah itu tidak bersuara dan hanya menunduk sedih.
"Kamu kenapa, Sayang? Kok masih cemberut begitu wajahnya?" tanya Zulfa sedih.
Agha menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Tante. Aku baik-baik saja," sangkalnya berbohong.
Hati Zulfa ikut teriris-iris melihat putra Suci tampak murung. Mungkin, Agha sedih karena untuk pertama kalinya Suci telat menjemputnya tepat waktu.
"Oh, ya! Bagaimana kalau kita jalan-jalan di taman?" ajak Zulfa antusias.
"Taman?!" Agha tersenyum lebar. 
"Iya! Kamu mau?"
"Mau! Mau banget, Tante!"
"Pak, tolong kita ke taman saja, ya."
"Baik, Mbak." Sopir memutar balik dan menuju sebuah taman umum yang sering dikunjungi orang-orang saat akhir pekan datang.
Beberapa menit kemudian, taksi berhenti di taman itu.
Setelah membayar ongkos taksi, Zulfa dan Agha segera turun. Bocah itu langsung berlari menuju air mancur warna-warni.
"Hei, tunggu Tante, Sayang!" Zulfa bergegas mengejar Agha. 
Agha berlari kocar-kacir ketika Zulfa mengejarnya.
"Ayo, Tante! Kejar aku!" Agha tertawa lepas sambil berlari ke sana ke mari.
"Awas, ya! Nanti kalau tertangkap, Tante gigit! Aum!" Zulfa berlagak menjadi monster.
"Ah …! Aku takut! Ternyata Tante seorang drakula!" 
Zulfa dan Agha terus bermain kejar-kejaran mengitari taman hingga mengundang orang-orang tertawa lepas menonton keseruan mereka.
"Aduh! Agha capek sekali!" Bocah itu terduduk di lantai.
"Tante juga, Sayang." Zulfa memegang lutut dengan napas terengah-engah.
"Es krim! Es krim!"
"Es krim!" Mata Agha langsung berbinar-binar. 
"Kamu mau es krim, Sayang?"
"Mau, Tante!"
"Ayo, kita beli!"
Zulfa menggandeng tangan Agha dan menghampiri penjual es.
"Adek mau es krim rasa apa? Silakan dilihat-lihat dulu." Pria buncit itu menunjukkan papan menu.
"Aku …." Agha bingung memilih es krim yang terlihat sangat enak semuanya. "Aku bingung."
Zulfa terkekeh. "Kamu pilih semua yang kamu mau, Sayang."
"Memangnya boleh, Tante?!"
"Tentu saja."
"Asyik!" Agha melompat-lompat kegirangan. "Aku mau yang ini, ini, ini, ini, dan ini ...." Agha menunjuk semua gambar es krim yang diinginkan.
Zulfa tampak terharu hingga matanya berkaca-kaca. Rasanya semua seperti mimpi dia bisa menghabiskan waktu bermain berdua bersama Agha, tanpa ada Suci.
"Ini es krimnya, Dek." Pria itu memberikan kantong plastik yang penuh dengan bermacam-macam es krim.
Agha menerimanya sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih. "Terima kasih, Om!"
Pria itu terkekeh geli sambil mengacak-acak puncak kepala Agha gemas. "Iya, sama-sama."
"Aku ke sana duluan ya, Tante."
"Iya, Sayang."
Agha berlari ke kursi kosong dan duduk  di situ.
"Jadi berapa, Pak?"
"20 ribu aja, Bu. Saya kasih diskon karena anak Ibu benar-benar lucu."
Zulfa sedikit kikuk setelah mendengar ucapan si penjual. "Memangnya saya kelihatan seperti ibunya, ya?"
"Ah, iya! Maaf …. tadi anak itu panggil Ibu dengan sebutan tante, ya." Pria itu tersenyum tak enak. "Maaf, saya sudah lancang."
"Nggak apa-apa." Zulfa tersenyum kecil. 
Perlahan senyuman wanita itu memudar.
***
Tbc

Book Comment (73)

  • avatar
    YusufMohammad

    bagus pake banget

    5d

      0
  • avatar
    LitaDuma

    aku pengen punya diamond

    28d

      0
  • avatar
    SaprudinUdin

    seru

    14/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters