logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Diculik

Bel masuk sudah berbunyi. Cahaya kembali berkeliling, memeriksa semua hasil kerja di departement yang dipimpinnya. Mengukur ulang, dan memisahkan barang yang bagus, dan yang jelek. Rutinitas harian dalam mencari lembaran Rupiah.
"Aya!" satu suara mengalihkan perhatiannya dari barang yang sedang di-check.
Doni--Kepala Personalia-- datang menghampiri, Cahaya langsung memantung, saat melihat siapa yang berdiri tak jauh dari Doni.
"Ya, kenalin. Ini manajer pemasaran yang baru. Namanya Pak Raja,"
"Kami sudah kenal, Pak Doni," kata Raja tersenyum pada Cahaya, yang menatapnya malu-malu.

'Andai saja kamu bukan milik dia, Ya!'
Lirih hati kecil Raja terus menghiba, meratapi cinta yang tak berpihak padanya.
"Emm, iya, Pak. Kami sudah saling kenal," ujar Cahaya menimpali kata-kata Raja.
"Begitu? Kenal di mana?" Doni melihat ke arah Cahaya dan Raja bergantian. Cahaya berusaha bersikap biasa, padahal hatinya berdebar tak tenang. Jantungnya berdegup kencang.
'Kenapa aku jadi grogi begini berhadapan dengan A Raja?'
"Kami kenal di Korea, Pak. Tiga tahun yang lalu," jelas Raja, yang diangguki oleh Cahaya.
"Wah, sudah lama dong ya? Baguslah, kalian jadi bisa bekerja sama dengan baik nantinya. Tapi, Pak Raja waktu ke Korea sebagai apa?" tanya Doni yang malah tertarik, dengan cerita masa lalu Cahaya dan Raja.
"Saya sebagai orang suruhan perusahaan, untuk meng-evaluasi hasil kerja, waktu itu banyak hasil yang jelek, Pak," jawab Raja sambil terkekeh, tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Oh, tapi kan perusahaan ini baru berdiri dua tahun lebih, Pak?"
"Perusahaan cabang yang lain, Pak," jawab Raja lagi, Cahaya hanya menanggapi dengan senyuman.
"Oh, ok. Baiklah saya harus mengenalkan Raja ke bagian lain. Silahkan dilanjut ya, Ya?" kata Doni berpamitan, berjalan lebih dulu meninggalkan Raja.
"Iya, Pak. Silahkan."
Raja berlalu dari hadapan Cahaya, setelah sebelumnya melemparkan senyuman terbaik.
'Ah, A Raja!'
Cahaya mendesah lelah, setelah meraba dadanya yang masih berdebar kencang, rasa menyesal sudah berbohong tentang statusnya, mulai membayangi. Karena tingkah konyolnya itu, kesempatan untuk mendekati terhambat.
'Ayolah, Cahaya... Apa kamu tidak malu dulu menolak dia?'
'Hmm, ya... Aku harus tahu diri, jangan mengharap dia lagi.'
Cahaya menggeleng, mengusir rasa tak nyaman imbas bertemunya kembali dengan Raja, menyibukan diri dengan pekerjaan, sampai waktu bel tanda pulang tiba.
Ketampanan Raja langsung menjadi buah bibir, hampir semua karyawan membicarakannya. Cahaya hanya tersenyum menanggapi celotehan mereka di ruang loker tadi.
"Ganteng banget tau!"
"Udah ada yang punya belum ya?"
"Biarin jadi istri kedua juga ngga pa-pa aku."
"Pelakor, dong!"
"Kalau yang dilakorin macam pak Raja, aku siap, hahaha!"
Cahaya tentu memaklumi, dan mungkin dia pun akan bertindak seperti itu kalau belum mengenalnya. Dia juga pasti akan membicarakannya dengan antusias, ciri seseorang yang mengagumi ketampanan Sang Adam.
"Kamu kenapa jadi banyak diam, Ya? Kepikiran A Raja?" Alya yang berjalan di sebelahnya bertanya.
"Bukan,"
"Bohong kamu. Aku kenal kamu udah lama, Ya. Aku udah paham kalau kamu lagi galau, dan sekarang kamu lagi resah. Resah dan gelisah. Salah sendiri sih, kenapa nggak jujur aja coba? 'A, aku belum nikah.' Bereskan? Atau aku yang bilang ya sama Raja?" cecar Alya dengan langkah pelan menuju tempat parkir bis jemputan, "Eh, tuh A Raja, Ya!" Alya menggoyangkan tangan Cahaya, dan menunjuk ke arah parkiran tempat para staff memarkirkan mobilnya, dan tampak Raja ada di sana.
"A Raja!" Alya langsung berteriak memanggil Raja.
"Eh, Al. kenapa dipanggil?" Cahaya langsung menghentikan langkah Alya, tapi dia tak peduli.
Sementara Raja langsung tersenyum dan setengah berlari mendekat pada mereka.
"Hei, pulang bareng yuk!" Kata Raja setelah berdiri di dekat Cahaya dan Alya, menatap bergantian keduanya.
"Cahaya aja, A. Aku sama Andri naik jemputan aja. Titip ya, A. Kasihan jomblo nih, biar lepas status tuh!" kata Alya membuat Cahaya mendengus jengkel sekaligus panik, kalau Raja menyadari ucapan Alya bisa bahaya, kebohongannya akan terbongkar cepat.
Raja mengernyitkan dahinya tanda tak paham. "Maksud kamu apa, Al?"
"Tanyain aja sama Cahaya, A. Aku duluan ya!" Alya langsung pergi menuju bis jemputan, tanpa menoleh pada Cahaya yang menundukkan kepala dalam. Dia yakin, setelah ini Raja pasti mencecarnya dengan banyak pertanyaan.
'Ah, Alya... Kamu tidak bisa dipercaya!'
"Ya? Ada yang mau kamu jelaskan?" Raja mulai bertanya.
Mengangkat kepalanya pelan, Cahaya memalingkan wajah tak ingin bersitatap dengan mata Raja ,yang menyorot tajam menunggu jawaban.
"Cahaya?" suara Raja terdengar dalam, Cahaya bergidik.
"Aku nggak harus menjelaskan apapun, A!" Cahaya mencoba menjawab, namun bukan puas dengan jawaban Cahaya, Raja malah menariknya menuju tempat parkir.
"A!" Cahaya memekik, mencoba melepaskan cekalan tangan Raja di pergelangan tangannya.
"Diam!" Raja menggeram tak peduli pada Cahaya, yang terus mencoba melepaskan pegangan tangannya.
"Lepas, A! Malu!" protes Cahaya yang merasa risih dengan tatapan para karyawan yang memandangnya heran sekaligus iri, dia dicekal idola baru di perusahaan.
Sesampainya di mobil berwarna silver, Raja langsung menekan alarm, dan membukakan pintu mobil untuk Cahaya.
"Masuk!" katanya tegas. Cahaya menatap Raja.... yang tampak marah?
"A!"
"Masuk, Aya!" ulang Raja, mendorong pelan agar Cahaya masuk ke dalam mobil.
Sebelum masuk, Cahaya menoleh ke arah bis jemputan, yang di sana tampak Alya sedang tersenyum penuh kemenangan. Cahaya membulatkan mata, mengancam Alya yang malah tertawa. Raja mengikuti arah pandang Cahaya, Alya langsung melambai ke arah Raja.
"Aku mau pulang, A!" Cahaya mencoba menghiba
"Aku antar!"
"Aku pake jemputan saja, sebentar lagi bisnya berangkat. Ya?!" Cahaya mulai panik, saat terdengar supir bus mulai menghidupkan mesinnya.
"Kamu pulang bareng aku. Sekarang masuk. Kamu nggak malu jadi tontonan gratis?" kata Raja, membuat Cahaya tersadar kalau mereka sekarang ini jadi pusat perhatian. Tampak para karyawan lain saling berbisik melihatnya bersama manajer pemasaran yang baru. Mereka seakan bertanya, ada hubungan apa antara dirinya dan Raja. Mereka tampak... iri.
Tak ingin menjadi pusat perhatian terlalu lama, Cahaya langsung masuk, dan duduk dengan nyaman. Raja berjalan memutari mobil, dan membuka pintu, duduk di kursi kemudi.
"Aku yakin ada yang harus kamu jelaskan padaku!" ujar Raja setelah duduk di belakang kemudi. "Pake seat belt nya!" titah Raja tanpa menoleh pada Cahaya, terlihat jelas dia tengah memendam amarah, kesal karena telah dipermainkan Cahaya.
Cahaya terdiam tak memberi jawaban, dia bingung harus menjawab apa bila Raja bertanya tentang Kim nanti.
"Baiklah. Terpaksa kamu aku culik agar mau bicara jujur, Ya!"
'Eh, apa maksudnya?'
"A?"
Raja langsung menghidupkan mesin mobil, melajukannya perlahan keluar dari area parkir perusahaan. Dari dalam mobil Cahaya bisa mendengar mereka menyorakinya, membuat wajahnya menghangat membayangkan reaksi teman dan rekannya melihat di bersama Raja. Cahaya melirik Raja yang tampak santai saja, bahkan cenderung tak mau peduli.
"Kita mau kemana, A?"
"Diamlah! Aku mau bawa kamu ke satu tempat!"
Mendengar jawaban Raja, Cahaya mengkerut merasa takut. Apa yang akan Raja lakukan padanya?
Bukan yang aneh-aneh kan?
"Kita mau kemana, A?"
"Diamlah! Aku mau bawa kamu ke satu tempat!" mendengar jawaban Raja, Cahaya mengkerut takut. Apa yang akan Raja lakukan padanya?
Bukan yang aneh-aneh kan?
Cahaya menggeser duduk lebih dekat ke pintu, Raja langsung menoleh. "Kenapa takut?"
"Kamu kenapa sih, A?"
"Kamu yang kenapa, Cahaya?" suara Raja naik satu oktaf dari biasanya, dan Cahaya merasa tidak nyaman mendengarnya. Raja yang selalu bicara lembut padanya, sekarang bicara dengan suara tinggi.
'Hiks! Kok, rasanya sakit, ya?'
Cahaya semakin merapatkan tubuhnya ke pintu mobil, merasa tidak nyaman dengan sikap Raja.
"Aku-aku... baik, A!" Cahaya mencoba bersikap tenang, menjawab pertanyaan Raja yang sudah dia tebak pertanyaan sebenarnya.
Raja menepikan Mobil. Merubah posisi duduknya menghadap Cahaya dengan tatapan mata yang tajam menusuk, membuat Cahaya bergidik melihatnya.
"Kamu bohong kan padaku?" suaranya pelan, tapi tekanan suara itu membuat nyali Cahaya ciut.
"Bo-bohong apa, A? Masa baru ketemu udah bohongin Aa?"
"Nah itu! Kamu tau. Apa maksudnya kamu bohong sama aku, padahal kita baru ketemu lagi setelah tiga tahun berpisah? Kenapa, Ya? Apa aku sebegitu buruk di mata kamu, hingga kamu merasa aku pantas untuk dibohongi?" cecar Raja kesal, perasaan cinta yang tak pernah berubah sedikitpun pada gadis di sebelahnya itu, membuatnya merasa tidak dihargai saat Cahaya berkata bohong.
Cahaya memejamkan mata saat mendengar Raja bicara seperti itu, hatinya sakit mendengar nada kekecewaan dari suara Raja.
"Apa belum cukup kamu buat aku menunggu, Ya? Belum puas kamu membuat hatiku terluka?"
'Terluka?'
'Menunggu?'
'Benarkah?'
'Ya, Allah... Apa ini?'
"Jawab, Ya? Kamu tidak menikahkan sama Kim? Kalian sudah berakhir kan? Kamu masih sendiri? Benerkan itu, Cahaya Kamila?!"
Perlahan air mata Cahaya turun, entah untuk alasan apa dia pun tak mengerti. Untuk kebohongan yang terkuak, atau karena dia yang tidak bisa mewujudkan cinta, dengan orang yang Raja sebutkan tadi.
Nyeri. Itu yang pasti dirasakan. Hatinya bagai diremas lagi.
Raja meluruskan badannya kembali, bersandar dengan frustasi. Dengan napas sedikit memburu, mengusap wajahnya pelan. Cahaya hanya bisa diam, menahan isak yang semakin membuat dadanya semakin sesak.
"Kamu tau, Ya? Tiga tahun aku mencoba melupakanmu. Bahkan saat aku melihatmu tadi dalam keadaan baik-baik saja, aku pikir kamu sudah bahagia dengan dia. Tapi kenapa kamu malah sengaja membohongiku? Kamu tega. Aku tidak mengerti kenapa kamu melakukan itu. Aku masih mencintaimu, Ya. Sangat merindukanmu!"
Cahaya bergeming, percuma dia berbicara dengan kondisi Raja tengah kecewa padanya, dan bukankah dia memang selalu membuat Raja kecewa?
"Kamu lihatkan, tadi photo siapa yang ada di layar ponsel aku? Photo kamu, Ya. Photo kamu waktu di Seoul. Apa kamu tidak mengerti apa artinya?"
"Maaf!" hanya kata itu yang bisa Cahaya katakan, disela isakan yang dia redam sekuatnya.
"Maaf? Untuk apa?" Raja menoleh, rasa tak tega melihat Cahaya menangis, mengikis perlahan rasa kecewanya tadi atas kebohongan Cahaya.
"Maaf, karena aku sudah berbohong. Ya, aku belum menikah. Aku dan Kim sudah berakhir sejak lama. Kami sempat berniat menikah waktu itu. Tapi entah apa sebabnya, Ayah Kim menolakku. Sampai aku kembali ke Indonesia, Kim tidak pernah menemuiku lagi." Cahaya menjelaskan, Raja menggeleng mendengar perkataan Cahaya.
"Lalu kenapa kamu bohong?"
"Aku malu sama kamu, A. Malu!" pekik Cahaya, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan, menggeleng berkali-kali menegaskan perkataannya benar adanya.
Raja menghembuskan napas pelan, ternyata sangkaannya salah besar. Cahaya... Tidak bahagia bersama Kim. Waktunya terbuang percuma. Waktu mereka. Permainan takdir membawanya di titik ini sekarang. Tapi bukankah itu bagus? Dia bisa memiliki Cahaya sekarang.
Bukankah itu juga janji yang dia berikan pada Cahaya dulu? Saat gadis tak menemukan jalan kembali, dan mereka bertemu lagi dengan dia yang masih sendiri, berarti mereka... jodoh.
Hati Raja mulai ditumbuhi kuncup bunga, harapan, dan cita-citanya seakan terlihat nyata. Dia akan menikahi Cahaya. Harus.

Book Comment (153)

  • avatar
    atiqah iqa

    besttt

    6d

      0
  • avatar
    Lina devanaReva

    support qu sht dn sukses selalu berkarya nya kk!!!

    8d

      0
  • avatar
    SubaktiAgus

    bagus banget

    19d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters