logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Tak dikenali

Lelaki itu berdiam menunggu, lewat tiga puluh menit dari jam kerja seseorang yang ditunggu sudah berlalu, dia yakin sebentar lagi gadis yang sedang diharapkan bisa memaafkan dan menerimanya kembali akan tiba.
Dari dalam mobilnya, dia bisa leluasa mengamati ke halte. Kesibukan menjelang senja itu tidak terlalu menarik perhatiannya, kedatangan bis jemputan yang membawa raga kekasihnya, itulah yang dia harapkan saat ini.
Kekasih? Iya. Bukankah mereka memang belum berakhir?
Penantiannya berakhir, senyuman terbit di bibirnya begitu melihat bis yang dia tunggu meluncur mendekat ke arah halte. Melihat sekilas tampilan wajahnya dari spion tengah, Kim mengusap wajahnya pelan, mengusir rona bosan yang tadi nampak di wajah tampannya. Apalagi tadi dia harus terus menoleh ke belakang untuk memastikan kedatangan bis jemputan dari Osan Dijitech.
Kim bisa melihat Cahaya yang turun bergantian dengan Adrian dari dalam bis, mereka terlihat tertawa bersama. Ah, dia merasa iri pada Adrian. Lelaki itu bisa dengan mudah melihat senyum dan tawa Cahaya kapanpun, sedang dia? Apalagi setelah kejadian di Everland waktu itu, Cahaya terus menghindarinya dengan alasan butuh waktu sendiri.
Kim tersiksa menahan rindu, sedang gadis itu seakan tiada mengadu. Benarkah gadis itu telah berhenti mencintainya?
Kim membuka pintu mobil saat Cahaya dan Adrian, semakin mendekat ke arah mobilnya terparkir.
Cahaya yang baru menyadari mobil Kim ada di sana, bertepatan dengan lelaki itu menampakkan diri dari dalam mobilnya. Langkahnya terhenti, begitu Kim melangkah mendekat, pun dengan Adrian. Menoleh pada Kim dan Cahaya bergantian.
"Aku... pulang duluan, Ya," kata Adrian tanpa menunggu jawaban dari Cahaya melangkahkan lagi kakinya, mengangguk sopan pada Kim, begitu berpapasan dengan lelaki yang pernah sangat dicintai gadis yang juga disukainya itu.
Yakin Cahaya sudah tidak mencintai Kim lagi?
Berharap boleh kan?
"Honey?!" panggil Kim dengan suara sedikit bergetar. Rasa rindu setelah satu bulan tidak bertemu, membuatnya ingin sekali merengkuh Cahaya dalam hangat peluknya. Hembusan angin di penghujung musim semi, menerbangkan surai hitam panjang Cahaya.
Cahaya mencoba tersenyum, tak mengingkari diri kalau dia juga merindukan sosok yang ada di hadapan sekarang. Laki-laki yang pernah begitu gigih hatinya inginkan. Laki-laki yang sudah membuatnya tak setia pada Raja.
"Oppa!"
"Ne ga... Bogosipo!"* jujur Kim setengah berbisik, antara malu dan tak kuasa menahan beban rindu. Tapi dia sudah bertekad, semua harus diakhiri sekarang. Hari. Ini. Juga. Harus! Apapun keputusan Cahaya, dia akan terima dengan lapang dada. Cukup sudah semua ketidakpastian di antara mereka.
Cahaya meraba hatinya, mencari tau getaran perasaan yang mungkin masih berdesir saat dia bertemu dengan Kim, dan... ada!
"Na do!"* jawab Cahaya jujur, cukup sudah dia berbohong pada dirinya, dulu dia tidak mau jujur akan perasaan sesungguhnya pada Raja, hingga akhirnya dia kehilangan lelaki penuh pesona itu. Lalu kesempatan kedua yang diberikan Raja saat memintanya kembali, dan lagi-lagi dengan dalih demi kebaikan Raja dia menolak lelaki itu. Sekarang ini, lelaki yang--katanya-- sangat mencintainya, mengatakan tentang kerinduan padanya, Cahaya berjanji akan kembali menerima Kim. Bukankah lebih baik dicintai daripada mencintai?
Walau dia sangat menyebalkan?
Iya!
"Benarkah?" Kim tak dapat menyembunyikan raut bahagia di wajahnya, memangkas jarak, berdiri tepat di depan Cahaya.
"Iya, aku juga... rindu!" senyuman Kim semakin lebar, Cahaya tetap menjadi miliknya.
"Apakah itu artinya... kita--"
Cahaya mengangguk, Kim menarik lembut tubuh Cahaya, mengabaikan tatapan orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
"Kumowo, Honey! Saranghe!" bisik Kim memeluk erat tubuh kekasih, yang sebulan ini sukses membuatnya tersiksa rasa.
Tangan Cahaya terangkat membalas pelukan penuh rindu Kim, sekali lagi dia memberikan kesempatan lelaki itu kesempatan. Dan Cahaya berharap, kali ini Kim bisa membuktikan semua ucapannya.
"Ya! Dia mendekat! Beneran A Raja!" suara dan tepukan Alya pada lengannya, menarik Cahaya dari kenangan masa tiga tahun silam, dengan gugup Cahaya menoleh ke arah belakangnya.
Benar. Lelaki itu Raja. Rajendra Subrata.
Sementara yang lain terlihat bahagia melihat Raja, Cahaya memilih menundukkan kepala, membiarkan rambut panjangnya menutupi sebagian muka.
Dia belum sanggup bertemu Raja, bahkan di saat hatinya sudah tidak bisa merasakan cinta untuk siapapun juga. Terbelenggu dalam janji palsu seseorang yang sudah membiarkannya, tanpa kata akhir hubungan mereka.
"A Raja!" Alya sudah tidak bisa menahan rasa bahagianya, berteriak memanggil Raja yang berjalan bersama staff lain, mencari tempat yang sudah kosong.
Merasa namanya dipanggil, dengan panggilan yang belum biasa di tempat yang baru didatanginya, Raja menoleh, lalu tersenyum lebar melihat siapa yang tengah melambai padanya dengan senyum sumringah.
"Alya?!" Raja ragu, namun melihat lelaki yang ada di sebelah gadis itu, dan dia juga mengenalnya, Raja yakin dengan hasil pemindaian mata dan rekam otaknya.
Raja menderap langkah mendekat, hatinya berharap. Di mana ada Alya... Cahaya juga ada di sana. Walau mungkin pertemuan mereka sekarang, akan jauh dari harapan tersambungnya kisah masa lalu.
"Hai! Senang sekali melihat kalian! Apa kabar?" tanya Raja begitu sampai di meja tempat Alya dan yang lain berada. Menyimpan nampan berisi menu makan siangnya, Raja mengulurkan tangan menyalami Alya dan Andri.
"Wah, tidak menyangka bisa bertemu di sini."
"Iya, Pak. Lama tidak bertemu!" Andri yang mendapat salam pertama Raja, mengguncang kuat tangan Raja.
"Iya. Al?" Raja menyalami Alya dengan memindai keseluruhan sosok Alya, "Wow! Calon Ibu!" Raja memekik takjub dengan perubahan status Alya, menoleh pada Andri yang terlihat bangga duduk di sebelah Alya, tanpa bertanya Raja tau siapa penyebab Alya berbadan dua.
Alya tertawa lebar, dengan penuh sayang mengusap perutnya yang membuncit, "Iya, A, hasil kolaborasi!" jawab Alya konyol, ciri khasnya.
Mendengar jawaban Alya siapa pun tertawa, kecuali seseorang yang tengah berharap dia bisa menghilang begitu saja dari sana. Di tengah kehangatan pertemuan itu, dia merasa terasing sendiri.
"Iya, syukurlah. Berapa bulan?"
"Tujuh bulan, A. Doain ya? Selamat sampai lahiran nanti," pinta Alya tulus.
"Aamiin, semoga. Hai, Yan! Apakabar?" giliran Adrian mendapatkan perhatian Raja, tanpa sengaja Raja melihat gadis yang menundukkan kepala di samping Adrian, tangan gadis itu terus mengaduk nasi acak. Hatinya berkata itu, dia! Tapi netranya menolak, karena sosok yang sedang menyembunyikan wajahnya itu, tidak seperti 'Dia' dalam memori Raja.
Mungkin itu pacarnya Adrian.
Fokus Raja beralih pada Adrian lagi.
"Baik, Pak. Baik, alhamdulillah." Adrian membalas ramah sapaan Raja.
"Wah, Pak Raja ternyata mengenal para senior di sini rupanya?" tanya orang yang tadi bersama Raja menimpali, dia mengambil tempat duduk di sebelah Adrian, berhadapan dengan Raja.
"Iya, Pak Iman. Saya kenal mereka tiga tahun lalu di Korea, tidak menyangka kalau perusahaan ini adalah cabang dari Korea," terang Raja menjelaskan, duduk nyaman di sebelah Adrian tanpa ingin mengetahui, siapa yang ada di ujung lain tempat yang didudukinya.
"Cuma mereka? Dengan satu laginya tidak kenal? Mereka kan berempat."
Alya, Andri, dan Adrian saling tatap menunggu reaksi dua orang yang kini seakan tidak saling kenal, tepatnya salah seorang yang kini seakan ingin menyembunyikan diri.
"Cahaya!" suara Raja terdengar penuh kerinduan saat nama itu dia sebut, membuat Cahaya memejamkan mata, saat namanya kembali terucap dari bibir Raja.
'Aku di sini, A!'
"Kenal, sangat kenal!" mata Raja menerawang jauh. "Tapi mungkin dia sudah bahagia di sana. Bukan begitu? Tapi, bagaimana Pak Iman mengenalnya? Apa dia juga bekerja di sini?"
Raja menatap penuh selidik pada orang-orang yang duduk di depannya, terutama Alya yang sambil menyuap makan siangnya terus mengulum senyum.
"Al?"
"Ya, A?!" Alya menelan cepat makanan yang dikuyahnya.
"Cahaya... kerja di sini? Bukan tinggal di Korea?"
"Pak Raja ini an--"
"Aa bisa tanya langsung dengan orangnya!" Alya menyela perkataan Iman cepat, dia ingin melihat reaksi Raja melihat Cahaya.
"Cahaya? Di mana?"
"Masa Aa tidak mengenali gadis yang duduk di sebelah Adrian?" semua orang menatap Raja, sedang yang menjadi objek perhatian, menoleh cepat pada gadis yang belum juga merubah posisinya, dari semenjak dia tiba di sana.
Adrian mempercepat makannya, seakan ingin memberikan ruang pada Raja, agar bisa melihat jelas pada Cahaya.
"Katanya kenal semua? Orangnya ada di sini kok nggak kenal." Iman terkekeh melihat Raja menatap tak percaya pada Cahaya.
Cahaya Kamila. Si pencuri hati, yang enggan mengembalikan apa yang sudah diambilnya pergi. Membiarkannya merana mengasihi.

Book Comment (153)

  • avatar
    atiqah iqa

    besttt

    6d

      0
  • avatar
    Lina devanaReva

    support qu sht dn sukses selalu berkarya nya kk!!!

    8d

      0
  • avatar
    SubaktiAgus

    bagus banget

    19d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters