logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Apa Itu Cinta Sejati?

Lelaki mana lagi yang dapat dipercaya? Bahkan, ayahku saja tidak mencerminkan ketulusan cinta. Hari itu, pertengkaran semakin memuncak. Suasana rumah terasa mencekam bak di Neraka.
Aku merasa gagal menjadi seorang anak. Apakah pernikahan mereka memang tidak dapat dilanjutkan lagi? Aku masih tidak mengerti tentang pola pikir ayah. Lelaki yang kukira cinta pertama itu, ternyata adalah seorang pengkhianat yang bertopeng malaikat.
Nona Zura—rekan kerja ayah, adalah seorang wanita perebut. Tiga hari sebelumnya, ayah tiba-tiba memberikan surat gugatan cerai pada ibu. Saat itu, aku menangis dan bersimpuh agar ayah tidak pergi. Namun, sekuat apa pun menahannya, dia tetap meninggalkan kami.
"Aku gak mau ikut ayah, Mom." Aku mendekap erat tubuh wanita terkuat dalam hidupku itu. Jangankan untuk tinggal bersama ayah, melihatnya saja sudah enggan. Entahlah, aku sudah tidak peduli akan dicap durhaka atau tidak.
"Terkadang, cinta itu gak bisa dipaksa untuk terus bersama-sama, Sel." Ibu berkata dengan suara yang terdengar seperti menahan isak.
Aku tahu, hati seorang wanita lebih mudah retak dalam menghadapi segala masalah. Ibu pasti masih tertekan dengan keadaan buruk itu. Awalnya, aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah, dan menemani ibu. Namun, wanita itu terus mendesakku untuk tetap menuntut ilmu seperti biasanya.
Jika bukan karena satu-satunya malaikat tanpa sayapku itu, aku mungkin tidak akan menjadi wanita yang kuat di masa depan. Aku hanya ingin bahagia bersama keluarga yang utuh. Ya, tanpa ada orang ketiga atau semacam pengganggu lainnya. Andaikan dunia ini bisa mengabulkan semua keinginan, mungkin tidak ada lagi yang namanya kesedihan.
Aku memasuki kelas dengan tatapan sayu. Air mata sepertinya sudah mengering di perjalanan. Suasana tempat itu masih sama; siswa-siswi yang mengobrol dengan circlenya sendiri, dan AC yang tampak selalu dalam mode on.
Aku tidak memiliki teman lagi, setelah Angelic sibuk dengan kelas tambahan. Tidak ada kebersamaan yang benar-benar bertahan sampai akhir. Pengkhianatan sepertinya selalu berhasil mengakhiri sebuah hubungan.
"Sel, kamu dipanggil tuh sama Zeo." Viona—teman sekelasku, tiba-tiba menarik lenganku. Aku melepaskan tangannya dengan cepat, lalu menatap gadis blonde itu dengan tajam.
"Jangan memaksa orang lain, Na!" Aku mengepalkan tangan dengan erat. "Gak setiap orang mau menerima ajakanmu."
"Ta tapi, Sel?" Viona yang dijuluki sebagai cewek imut nomor satu di COS, terlihat seperti orang yang menahan kegugupan.
Aku mengulurkan tangan di hadapannya. "Maaf, aku cuma bercanda tadi." Lagi, aku mengalah untuk kesekian kalinya dalam relasi pertemanan. Tidak ada yang lebih baik dari menghargai perasaan orang lain.
Viona tersenyum padaku, dan itu membuat hati merasakan sedikit kelegaan. Setidaknya, dia bisa bahagia tanpa luka dariku. Tidak lama setelahnya, Viona mengajakku turun ke lantai bawah.
"Aku harap tidak ada kesialan lagi hari ini," ucapku dalam hati.
Ketika kami tiba di lapangan basket, sekumpulan siswa-siswi tampak berbaris sambil membawa spanduk. Di sana tertulis, "Aiessela Augustine, berikan aku sedikit ruang di hatimu". Kemudian, kuedarkan pandangan ke sekeliling, dan menemukan buket bunga mawar merah raksasa, di dekat tiang ring.
"Na, apakah Zeo yang telah merencanakan semua ini?" Aku berbisik pada gadis bermata cokelat di sampingku. Dia tampak mengangguk pelan.
Aku mengusap wajahku dengan tangan. Zeo sepertinya pria yang benar-benar nekad. Terlalu ambisius dalam meraih sesuatu, tetapi tidak serius dalam menuntut ilmu. Apakah anak nakal selalu berprinsip seperti itu?
"Aiessela Augustine, aku sangat mencintaimu!" Zeo berlari ke arah kami dengan senyuman khasnya. Aku meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke arah kantor. Apakah Zeo tidak takut dihukum oleh kepala sekolah?
"Belajar yang rajin, Zeo. Baru setelah itu, kamu mikirin masalah cinta." Aku beranjak meninggalkan pria itu, sama seperti biasanya. Namun, tanganku tiba-tiba dicekal olehnya.
Zeo beralih ke depanku, lalu menunduk hormat bak seorang pangeran. "Sela, kamu mau gak jadi pacarku?"
Apa yang pria itu lakukan bukanlah sebuah keromantisan di mataku. Kejujurannya malah terlihat seperti bukan sebuah penyampaian perasaan. Namun, lebih ke arah pemaksaan cinta di depan publik.
"Tindakan yang sangat licik, dan egois," pikirku dalam hati.
"Terima ... terima!" Sorakan demi sorakan terdengar menggema.
Aku menghela napas panjang, lalu berpikir untuk mencari keputusan yang tepat, pada pilihan yang cukup sulit itu. Kenapa rasanya, Zeo seperti telah menjebakku dalam perangkapnya?
"Aku butuh waktu, Ze." Aku mencoba untuk tidak terlihat panik, karena lawan bicaraku sepertinya akan mudah memanfaatkan kelemahan itu.
"Tidak ada waktu tambahan lagi, My Princess." Zeo berdiri sambil mengembangkan seulas senyum. Rayuan seperti itu, tentu saja tidak akan mempan pada gadis, yang telah mati rasa sepertiku.
"Dalam matematika aja ada yang namanya penambahan. Masa kamu pelit banget kasih kesempatan waktu, Ze." Aku berkacak pinggang, dan memasang wajah cemberut.
Wajah Zeo terlihat khawatir. Ya, sepertinya rencana awalku sudah berjalan dengan baik. Pertama, membuat lawan bicara iba. Kemudian, tahap kedua yaitu berdrama seakan mendalami peran. "Zeo, aku benar-benar butuh waktu. Aku mohon ...."
"Berapa lama aku harus menunggu lagi?" Zeo menundukkan kepalanya. Aku tahu, penolakan sepertinya akan membuat pria itu berputus asa. Cintanya kelihatannya tulus. Namun, kembalinya aku di masa lalu bukan untuk berpacaran dengannya.
Ada hal lain yang jauh lebih penting. Rumah tangga di masa depan harus diubah. Aku tidak ingin menambah cabang masalah dengan adanya Zeo. Untuk sementara waktu, aku harus berusaha untuk menjauhkan pria itu dari kehidupanku.
"Ini, kan, hari Selasa. Kayaknya jawabannya aku kasih di hari Sabtu, deh!" Aku memilih hari Sabtu karena hanya di waktu itu bisa bolos. Tidak ada niat buruk pada Zeo tapi keadaan memaksa. Harus bagaimana lagi? Tidak ada pilihan lain.
"Ya, aku akan selalu menunggumu, Sel." Mata Zeo beradu pandang dengan mataku. "Aku mohon, jangan pernah menolakku!"
Perkataan Zeo terngiang-ngiang hingga pulang sekolah. Aku sangat gelisah memikirkan tawaran dari pria itu. Tubuhku bersandar di kursi bus untuk mendapatkan sedikit ketenangan. Pelajaran biologi di jam terakhir begitu melelahkan; tangan pegal karena menulis empat bab tanpa jeda.
Pak Jefferson—guru bidang biologi, memang seringkali memberikan catatan yang sangat panjang. Beberapa siswa yang menjadi sainganku sangat menginginkan nilai grade A, dari lelaki berumur sekitar 27 tahunan itu.
Biologi adalah cabang mata pelajaran, yang menjadi syarat utama kelulusan. Jadi, mau tidak mau, semua siswa-siswi diwajibkan mendapatkan nilai minimal B+.
Aku meraih ponsel, lalu membuka aplikasi chat. Tidak ada yang menarik dari percakapan grub. Hari itu, semua orang sepertinya menghabiskan waktu untuk mengejar nilai. Berbeda denganku, aku hanya memikirkan masa depan keluarga kami.
"Apakah aku masih pantas untuk mendapatkan cinta sejati?" Aku sengaja mengecilkan suaraku agar tidak terdengar oleh siapa pun.
Fajar menyingsing terlihat dari luar kaca bus. Aku menuliskan sebuah pesan untuk ibu lewat aplikasi chat. Di sana aku menulis,
"Aku gak bisa pulang tepat waktu. Kalo mommy udah masak dinner, nanti letakkan aja di meja. Sela bakal pulang sekitar setengah jam lagi. See you, My Queen."
Tidak berselang lama setelahnya, pesanku telah mendapatkan balasan dengan cepat. Ibu sepertinya orang yang fast respon terhadapku. Aku membuka pesannya, lalu mulai membaca satu per satu chat panjang itu. Ibu menulis,
"Gak apa-apa, Nak. Kapan pun kamu pulang, semua orang tetap akan menunggu kedatanganmu. Hati-hati, banyak kendaraan yang sering mengalami kecelakaan belakangan ini. Tolong, pakai sabuk pengamannya, ya, Sel!?"
Aku mengernyitkan dahi. "Perlakuan ibu bahkan lebih manis dari gula."
"Pemberhentian ke-tiga. Blok C di jalan Lilav." Supir di depan sana tampak menekan tombol pengeras suara otomatis. Pemberitahuan itu terdengar berulang-ulang sebanyak tiga kali. Kemudian, beberapa kursi penumpang mulai kosong; orang-orang terlihat beranjak turun dari bus.
Rumahku berada paling jauh dari pemukiman. Aku tidak pernah mendapatkan jawaban, jika aku menanyakan alasan kediaman Augustine pada ibu. Ayah juga selalu mengalihkan topik, ketika aku mencoba untuk mencari tahu lebih detail.
Rahasia keluarga Augustine masih menjadi misteri. Di masa depan, aku juga tidak pernah mendapatkan penjelasan. Bahkan, setelah kedua orang tuaku meninggal sekalipun.
"Nona Augustine, Anda pulang sendirian lagi hari ini? Apakah Anda sedang bertengkar dengan Nona Angelic?" Pak Will—supir bus khusus pelajar di COS, menanyakan hal yang membuat luka itu terbuka kembali.
"Dia mungkin masih sibuk di kelas tambahan itu, Pak." Aku berdiri, lalu mengendong tas di punggung. "Terima kasih atas tumpangannya, Pak."
Pria itu mengangguk sambil tersenyum. Aku pun turun dari bus.
Hari itu, toko kue langgananku sedang ada promo harga besar-besaran. Aku memutuskan untuk membeli satu untuk ibu di rumah.
SweetLuvcake (SLc) merupakan toko kue bintang lima, dengan ribuan pembeli setiap harinya. Aku harus mengantri bersama para pengunjung lainnya, untuk mendapatkan sekotak kue. Meski, keringat sudah membasahi seragam putih abuku. Rintangan tidak akan membuatku menyerah semudah itu.
Aku berharap uang itu cukup untuk membeli sekotak kue. Kue stroberi adalah makanan favorit ibu. Aku ingin memberikan itu sebagai hadiah ulang tahunnya.
"Harganya turun drastis, loh. Kalian harus cepet-cepet siapin keranjang buat ke sini." Wanita muda di depanku tampak asik mengobrol di telepon. Apakah seasik itu menjadi dewasa? Apa aku tidak salah lihat?
Seingatku, dewasa adalah dua hal yang dileburkan menjadi satu. Sisi senang akan selalu bergabung dengan sisi sedih. Namanya kehidupan, tidak akan pernah lepas dengan berbagai rasa: marah, kecewa, bahagia, bahkan duka sekalipun.
Lampu pada tiang listrik itu tampak menyala. Hari semakin gelap, matahari telah berganti dengan sinar bulan di atas langit. Aku mendapatkan nomor tiga ratus tujuh, dan sebentar lagi akan mendekati kasir.
"Halo, Nona? Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis yang mungkin sekaligus kasir itu menyambut dengan hangat. Aku suka pelayanan yang diberikan oleh karyawan Toko SLc itu.
"Kue stroberi ukuran kecil dengan toping keju, ada?" Aku menunjukkan sebuah foto dari galeri ponselku. Wanita itu tampak mengangguk, lalu memberikan sebuah kotak kue di depanku.
"Gratis untukmu, Nona. Teruslah bersemangat dalam meraih cita-cita, ya?" Resepsionis yang mengenakan waiter dress itu tersenyum manis.
"Terima kasih, Nona," ucapku seraya membalas senyumannya.
Senang rasanya mendapatkan kue gratis. Aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah dengan taksi. Sudah lima belas menit, tetapi tidak ada kendaraan umum yang melintas. Hanya mobil pribadi, dan beberapa truk yang terlihat di jalan raya itu. Aku sepertinya harus pulang dengan berjalan kaki.
Ada sedikit rasa putus asa, karena harus mengalami kesialan malam itu. Ketika aku melintasi sebuah bangunan, yang memiliki videotron di sisi kanannya. Aku tidak sengaja melihat berita tentang kecelakaan. Awalnya, aku tidak peduli dengan informasi yang disajikan.
Akan tetapi, jantungku tiba-tiba berpacu kencang, tatkala mendengar nama korban kecelakaan itu. "Gak ... gak mungkin, ini pasti cuma mimpi buruk, kan?"
Aku memegangi kepalaku yang mulai terasa sakit. "Beliau gak mungkin ninggalin kami, terlalu cepat kayak gini." Pandanganku berubah gelap. Setelahnya, aku tidak mengingat apa pun lagi.

Book Comment (27)

  • avatar
    Resti Adila

    👍🏻👍🏻

    16/06

      0
  • avatar
    krocofalzz

    bagus

    13/06

      0
  • avatar
    HilaliyahLeli

    keren

    11/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters