logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Ze

Aku berjalan mondar-mandir di lapangan itu. Sudah setengah jam berlalu, tetapi orang yang kutunggu tidak kunjung datang. Ponselku juga telah kehabisan baterai. Bagaimana jika ia berbohong?
Alang-alang yang tumbuh di hamparan lahan luas itu seakan menari, setelah disapa oleh angin sepoi-sepoi. Rambut hitam sebahu yang kugerai tampak berantakan. Senja sepertinya akan segera tiba, tetapi Zeo masih belum muncul juga.
Aku merapikan poni yang menutup dahi dengan bantuan layar ponsel—kaca hitam itu membuatku bisa melihat dengan jelas, apa saja yang berantakan dari penampilanku.
"Maaf, gue telat." Zeo datang dengan kemeja yang terlihat berantakan. "Gue tadi beli ini dulu buat lo."
Pandanganku beralih pada bunga krisan (seruni) merah yang dibawa oleh pria itu. Kelopak bunga yang berbentuk cawan dengan ujung runcing itu, sepertinya berhasil mengembalikan moodku yang hampir hilang.
"Itu buat gue, kan?" Aku bertanya tanpa melihat ke arahnya. Mataku hanya fokus pada buket bunga itu.
"Ya, kan, emang buat kamu, Sel. Oh iya, maaf ya aku telat." Zeo memberikan bunga itu padaku. Pria yang kukira sekejam iblis itu, ternyata berhati malaikat. Huh! Aku sepertinya terlalu berburuk sangka padanya.
"Iya, gak apa-apa kok." Aku menjawab sambil tersenyum.
"Gue mau ngajakin lo ke pasar malam hari ini. Kira-kira dibolehin gak sama camer gue? Hehehe." Pria yang memiliki rambut berwarna pirang itu terkekeh. Mendengar ucapannya, aku sontak ikut tertawa.
"Ya, tergantung, sih. Emang lo berani ke rumah gue?" Aku mengernyitkan dahi, menatap tajam ke arah Zeo. Seingatku, banyak pria yang datang ke rumah. Namun, berujung penolakan dari ayah.
Aku membatin, "Kayaknya lo juga bakal ditolak, Zeo. Jadi, percuma lo bersikap manis kayak gini."
"Ya udah, kita ke rumah lo sekarang." Zeo tiba-tiba menggandeng tanganku, lalu mengajakku naik ke mobil Lamborghini hitam miliknya—yang terparkir tidak jauh dari tempat kami berdiri.
"Nih anak kok nekad banget, sih!" Aku berjalan mengikuti pria itu, dengan keterkejutan di wajahku.
*
"Boleh kok."
"Ta ... tapi, Pah." Aku menatap seakan tidak percaya dengan apa yang telah terjadi.
"Ya, kenapa, Sel? Papa kenal loh sama ayahnya Zeo. Jadi, kamu gak usah takut, oke?" Ayah menyandarkan tubuhnya di sofa. Kemudian, menyeruput kopi di gelas yang dia pegang.
"Makasih banyak, ya, Om. Zeo sama Sela berangkat dulu." Zeo tersenyum ramah, lalu membungkuk 90° pada ayahku.
Kami pun akhirnya pergi ke pasar malam di pusat kota. Sesampainya di sana, kami langsung mencoba setiap event permainan. Aku merasa sangat bahagia malam itu, karena Zeo bersikap sangat baik.
"Kamu mau boneka itu gak, Sel?" Zeo menunjuk sebuah boneka kelinci berukuran sedang, di dalam kaca. Kelinci itu mirip dengan yang pernah diberikan oleh Angelic. Pertanyaan demi pertanyaan, dan overthinking mulai menghantui pikiranku.
"Pasar malam ini udah buka dari kapan, Zeo?" tanyaku.
"Kalo gak salah dari kemarin, sih. Emangnya kenapa, Sel? Gue telat, ya, ngajak lo ke sini?" Senyum Zeo tampak memudar, lalu sepenuhnya menghilang dari wajahnya.
"Eh, nggak kok. Bukan itu maksud gue." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. "Gue nanya doang, Zeo."
Pria itu mengeluarkan sebuah blackcard. Kemudian, memasukkannya ke dalam mesin permainan. Zeo tampak terlihat bersemangat untuk memenangkan event itu.
"Gue juga bisa kalo cuma manah-manah kayak gitu," ucapku mengejek sambil menyilangkan tangan.
"Horeee! Gue menang, Sel." Zeo tampak menari-nari aneh, dan dengan cepat mengambil hadiah yang keluar dari sana. "Anggap ini sebagai hadiah permintaan maaf dari gue."
Aku mengambil boneka kelinci berwarna merah muda itu. Memperhatikannya dengan lekat, lalu mendekapnya erat. "Makasih banyak, Zeo."
"Panggil aja Ze. Padat, singkat, dan jelas." Zeo mengajakku pergi dari sana, setelah dia mengambil blackcard yang keluar dari mesin.
Langkahku tiba-tiba berhenti. "Ikut gue, cepetan!" Aku menarik lengan Zeo dengan sedikit kasar. Kemudian, mengajak pria itu bersembunyi di balik dinding.
Ketika dia ingin bicara, aku langsung menutup mulutnya dengan tanganku. Sesekali aku melirik ke belakang sana—tempat di mana Angelic terlihat bersama seorang cowok misterius. Siapa pria yang bersamanya itu?
"Apa-apaan, sih." Zeo melepaskan tanganku. "Lo kenapa, Sel?"
"Lo liat gak cewek yang pake hoddie hitam di sana? Nah, kira-kira dia pergi dengan siapa ke sini?"
"Avael." Zeo menjawab pertanyaanku dengan kata yang singkat. Namun, terdengar sangat menyakitkan.
"Satria?" Aku balik bertanya.
"Ya, Avael Satria Wyn." Zeo berkata sambil setengah berbisik padaku. "Cowok populer nomor satu di Candace."
Tubuhku bersandar tidak berdaya di dinding. Rasanya benar-benar pedih. Tidak lama setelahnya, air mata pun mulai mengalir deras di pipiku.
"Jangan nangis gini dong, Sel!" Zeo terlihat panik dengan perubahan emosiku. "Apa jangan-jangan ... lo suka, ya, sama Avael?"
Aku menoleh ke arah Zeo, lalu menatapnya dengan tajam. Pria itu seketika membungkam. "Jangan sok tahu tentang kehidupan gue!"
"Oke oke, My Princess." Zeo tampak menghela napas. "Tapi, kalo lo emang suka sama dia, udah telat, Sel."
Aku berdecak kesal. "Emangnya kenapa, sih?"
"Mereka udah nikah muda, tau!" Zeo menyilangkan tangannya. "Dua Minggu yang lalu kalo gak salah, sih."
Aku menarik kerah kemeja Zeo. "Jangan main-main, Ze!"
Wajah pria itu terlihat datar, seakan dia tidak berbohong dengan ucapannya. Aku melepaskan kerah itu perlahan, lalu menangis di pelukannya. Kenapa aku selalu terlambat untuk memilikinya?
Hatiku rasanya hancur berkeping-keping, dan mungkin tidak bersisa apa-apa lagi. Cinta yang belum bersemi, bahkan sudah lebih dulu merasakan musim gugur. Pria mana lagi yang harus kupercaya? Aku sudah melihat dengan sangat jelas, Satria—suamiku di masa depan, telah membagi cinta dengan sahabatku sendiri.
"Apa perlu aku memukul pria yang menyakitimu, Sela?" Kehadiran Zeo membuatku merasa, bahwa malaikat penolong itu memang benar-benar nyata.
"Makasih, Ze. Gue janji gak akan bikin lo jadi orang jahat lagi." Aku menatap pria bermata amber itu dengan penuh harap. "Jangan bunuh aku di masa depan, Ze!"
Sontak mata indah itu membulat. "Gue gak akan ngebunuh orang yang gue cinta, Sel. Lo ini ngomong apa, sih?"
"Sela, kamu pacaran, ya, sama Zeo?" Aku membalikkan tubuhku, dan mendapati Angelic telah berdiri di belakang kami.
"Ka kamu?" Bibirku bergetar ketika melihat Satria bergandengan tangan dengan Angelic.
"Oh iya, kenalin ini suami gue. Avael ini Sela. Sela ini Avael." Angelic tersenyum hangat. "Kalian bisa ...."
"Kami gak ada waktu buat kenalan." Zeo memotong ucapan Angelic, sebelum gadis berkepang dua itu melanjutkan pembicaraannya. "Ayo, kita pergi dari sini, Sel!"
"Makasih atas semuanya, Sat," ucapku pelan, hampir tak terdengar oleh siapa pun. Aku menyeka air mata yang masih tersisa. Kemudian, beranjak pergi meninggalkan dua pengkhianat itu.

Book Comment (27)

  • avatar
    Resti Adila

    👍🏻👍🏻

    16/06

      0
  • avatar
    krocofalzz

    bagus

    13/06

      0
  • avatar
    HilaliyahLeli

    keren

    11/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters