logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Ourtember

Ourtember

Nona_El


Chapter 1 Malam Pengkhianatan

"Biarkan dia bahagia di atas langit, Sel," ucap Angelica Mauren—sahabatku, dengan nada yang terdengar lirih.
"Satriaaa!" Air mataku bercucuran membasahi lantai. Aku benar-benar tidak dapat menerima kenyataan pahit itu.
Aroma bunga mawar masih tercium pekat, di sekitar peti mati orang yang sangat kucintai. Foto mendiang Avael Satria Wyn—suamiku, dan empat standing flower raksasa berisi bunga red roses, terpanjang di samping peti; menemani peristirahatan terakhirnya.
"Nyonya Aiessela Wyn, kami turut berduka cita atas kematian suami Anda." Seorang pria yang memakai atribut polisi modern, memegang pundakku.
"Ini pasti cuma mimpi, kan?" Aku melangkahkan kaki jenjangku ke arah peti mati, di depanku.
Wajah tenang Satria membuat rongga dadaku terasa sesak. Aku tidak mungkin mengikis ingatan tentang kebersamaan kami. Kenapa takdir begitu kejam? Tepat di tanggal sebelas September, aku telah kehilangan asa, dan motivator dalam hidupku. Sejak itu, bagiku dunia ini seakan tidak berarti apa pun lagi.
Rasa sakit dapat mengubah seseorang, dan hal itu juga yang terjadi padaku. Lima minggu setelah kejadian itu, toko bungaku tutup, dan pada akhirnya bangkrut. Kehilangan segalanya membuatku jatuh dalam kemiskinan.
Ketika salju pertama turun di Kota Candace, aku memutuskan untuk menghadiri undangan makan malam dari Angelic. Hal itu mungkin dapat sedikit menghibur kesendirianku.
Restoran mewah di atas sana terlihat berkilau, dan padat oleh pengunjung. Aku berdecak kesal, lalu meraih benda pipih berukuran setipis kertas dari saku. Mengetikkan pesan di sana, dan berharap Angelic membalas secepatnya.
Hidup di zaman modern memang sangatlah menyenangkan. Namun, itu adalah perspektifku dua bulan sebelumnya—saat Satria masih bersamaku. Aku mondar-mandir di depan halte sambil menunggu chatku terbaca.
"Smartphone gue lobet, Sel." Seorang wanita yang memakai gaun selutut mendekat ke arahku. "Maafin gue, ya?"
Aku mengangguk. "Dinnernya jadi apa kagak?"
"Jadi dong, tapi bukan di Restoran Azure. Soalnya gue tadi gak kebagian tempat." Angelic mengeluarkan dua buah kartu bertuliskan, "Marine restaurant booking card." Kemudian, memberikan salah satu kartu itu padaku.
"Makan seafood di Gerlliam Resto?" Aku mengangkat alis. Kemudian, menatap tidak percaya pada satu-satunya sahabat dalam hidupku itu. Bagaimana bisa dia memilih restoran, yang menjadi tempat makan favorit Satria?
Karena perut terasa melilit, aku pun langsung menyetujuinya. Kami pun menuju Gerlliam Resto menggunakan bus listrik. Meksi, harus mengantri cukup lama untuk mendapatkan tempat duduk.
Aku merapikan rambutku yang tampak berantakan. Angin dingin yang menyeruak sampai ke tulang, sepertinya tidak mempengaruhi tekad Angelic untuk menuju ke sana. Sahabat karibku itu sepertinya tidak berubah. Dia selalu mengorbankan apa pun untuk menepati janjinya.
Ketika memasuki restoran cepat saji itu, aku langsung mengambil tempat duduk di dekat kaca—tempat yang biasa diperebutkan oleh Satria dan diriku. Nostalgia masa lalu, dan semua kenangan indah itu terputar kembali bak kaset rusak. Berulang-ulang hingga menyisakan sakit di dasar hati.
"Gue udah pesan semuanya yang lo suka," ujar Angelic seraya mengambil tempat di depanku.
Kenapa dia seolah-olah tahu segalanya tentangku? Bahkan, makanan yang dia pesan semuanya adalah makanan kesukaanku. Padahal sebelumnya, aku tidak pernah memberitahu tentang hal se-spesifik itu padanya.
Keanehan memang sering muncul beberapa Minggu sebelumnya. Namun, aku berusaha untuk tetap berpikir positif, dan selalu menyimpulkan bahwa semua itu hanyalah suatu kebetulan belaka.
Makan malam pun berjalan dengan baik. Hingga tiba-tiba, kejujuran keluar dari mulut gadis berusia dua puluh tujuh tahunan itu.
"Sebenarnya, aku adalah istri pertama Satria, Sel." Angelic menundukkan kepalanya sambil menggenggam erat jemariku. "Aku juga telah melahirkan seorang pewaris untuknya."
"Jokesnya berlebihan banget deh, Gel. Hahaha." Aku melepaskan genggamannya dengan lembut. "Tapi, aku sedang gak mood buat adu jokes."
"Selama ini, Satria menyembunyikan identitas aslinya darimu." Suaranya terdengar pelan. Namun, masih dapat terdengar jelas di telingaku.
Ketika Angelic mengucapkan kalimat itu, bibirku membungkam. Hubungan pernikahan kami telah berjalan selama lima tahun terakhir. Jadi, menurutku tidak mungkin Satria membohongi istrinya sendiri.
"Perusahaan Sstrmbr (Str) sedang mengadakan proyek uji coba pil regenerasi." Angelic bergeming untuk beberapa saat, lalu melanjutkan perkataannya. "Naasnya, percobaan kedua membuat pemilik perusahaan itu menghembuskan napas terakhirnya."
Aku menutup mulut dengan kedua telapak tangan.
"Ya, kita telah kehilangan dia untuk selamanya." Air mata tampak mengalir deras di sudut pipi Angelic. "Dia bukanlah seorang pilot seperti yang kamu ketahui selama ini."
"Kenapa kamu gak kasih tau aku dari awal, Gel!? Kenapa kamu baru memberitahu semuanya setelah hidupku hancur?" Aku berdiri, lalu menarik lengannya dengan kasar; membuatnya terjatuh di kakiku.
"Bukan kamu aja yang merasa tersakiti di sini!" Angelic berteriak sambil menangis.
Karena kami membuat keributan, orang-orang mulai mengerumuni kami. Beberapa di antaranya, mengambil foto dan menyalakan flash; membuat video.
"Kenapa kamu merahasiakan semua ini dariku? Kamu sengaja ya, bikin aku hancur sehancur-hancurnya kayak gini!?" Aku menjambak rambutnya. "Gel, aku kecewa banget sama kamu!"
Angelic memberontak, dan berhasil mencakar pipiku dengan kuku tajamnya. "Kamu selalu saja bersikap egois, Sel. Harusnya kamu sadar diri dong!"
"Hei kalian, jangan bertengkar di sini!" Suara bariton seseorang di antara kerumunan terdengar jelas. Tidak lama setelah itu, orang-orang mulai menyingkir, dan memberikan jalan.
"Aku tidak peduli tentang aturan hukum yang berlaku. Urusan kita akan selesai malam ini juga!" Aku menyiramkan segelas cappuccino panas ke atas kepala Angelic.
"Argh!" Angelic berteriak dan terus berteriak. Sebenarnya, aku tidak akan melakukannya jika dia tidak menyembunyikan semua kebenaran itu.
"Jika Anda tidak mengindahkan peringatan, saya tidak segan untuk menembakkan peluru ini." Zeo—pria yang pernah kutolak semasa putih abu, menodongkan pistol tepat di kepalaku.
"Apakah kamu juga terlibat?" Aku bertanya tanpa melakukan perlawanan apa pun. Pria yang mengenakan pakaian polisi itu, menatapku dengan keterkejutan di wajahnya.
"Apa maksudmu, Sela?" Suara berat itu seakan mengingatkan kembali pada keputusan terbodohku.
"Kamu dan Angelic berpacaran hampir tiga tahun. Tapi, kenapa kamu ikut menutupi kebohongan mereka, Zeo?" Derai air mata mengalir deras di kedua pipiku.
"Tembak dia, Zeo!" Angelic bangkit, lalu berdiri angkuh di depanku. "Sudah saatnya, kita mengakhiri drama payah ini. Lakukanlah, Zeo!"
Jantungku berdebar kencang. Tubuhku gemetar, dan berkeringat dingin. Jadi, mereka telah bekerja sama? Sial! Aku telah dikhianati oleh semua orang dalam satu malam.
"Selamat tinggal, Aiessela Wyn." Seulas senyum dari Zeo membuatku bergidik. Aku mundur beberapa langkah.
"Zeo ...." Bibirku terasa kelu untuk mengucapkan sepatah kata lagi. Sedangkan, air mata terus mengalir deras di pipi.
Dor!
Tubuhku terjatuh lemas ke lantai, setelah pria itu berhasil menembak kepalaku. Aku melihat orang-orang mulai mendekatiku; seorang pelayan wanita berteriak meminta tolong. Kekacauan sepertinya membuat para pengunjung ketakutan; terlihat beberapa dari mereka lari berhamburan meninggalkan restoran.
Aku mengalihkan pandangan, lalu tersenyum tipis sambil memandang langit-langit restoran. Di pelipis, darah terasa terus mengalir keluar. Kehidupan menyakitkan ini mungkin akan segera berakhir. Perlahan-lahan, kedua kelopak mataku mulai menutup. Setelah itu, aku tidak lagi mengingat apa pun.

Book Comment (27)

  • avatar
    Resti Adila

    👍🏻👍🏻

    16/06

      0
  • avatar
    krocofalzz

    bagus

    13/06

      0
  • avatar
    HilaliyahLeli

    keren

    11/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters