logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 7

~••°••~
"Sudah, ya. Jangan dijadikan beban pikiran juga omongan Emak."
Kak Kasih pamit pulang. Aku bantu Emak merapikan sisa pekerjaannya. Melipat terpal dan menyapu bekas urat bawang.
Emak duduk meluruskan kaki di bangku rotan tua. Kursi yang dibeli saat Emak kembali dari Bengkulu. Tentunya banyak kenangan di benda mati nan usang itu. Dia adalah saksi bisu keluarga ini melewati badai kehidupan.
Kulihat Emak duduk diam, memandang jauh ke depan. Nelangsa menghampiri hatiku. Pasti Emak sangat lelah. Bagaimana bisa aku meninggalkan Emak sendirian? Sedangkan Kak Kasih sudah hidup terpisah dengan Emak.
"Ateu!" seru Aldo, putra sulung kakakku.
"Loh, Aldo dari mana? Sendirian?" Emak yang menjawab.
"Dari rumah, Nek. Kata Mama, Ateu sama Nenek nanti tidur di rumah. Papa nggak pulang, pulangnya besok. Dedek Rafif agak demam," jelas Aldo.
"Biar Ateu Rindu nanti, ya. Nenek nggak ikut."
"Emak sendirian di rumah, gimana?" selaku.
"Mau lipat kain yang kering, Rin. Sudah setinggi gunung tumpukannya. Kan bisa Emak kerjain pelan-pelan sambil nonton TV."
Huft. Emak, kapan tangannya berhenti bekerja? Bukankah aku sedang berada di titik membingungkan? Maju salah, mundur semakin salah. Bingungku tidak main-main.
Sehabis Magrib, aku menuju rumah Kak Kasih. Emak tidak jadi melipat kain, aku meminta Emak agar tidur lebih awal. Sempat beliau menolak, tapi kupaksa agar tidur segera. Aku pura-pura ngambek nggak mau makan, akhirnya Emak menyetujui untuk segera istirahat.
Kak Kasih mengontrak bukan tanpa alasan. Berhubung ada rumah dengan sewa rendah, ia ambil kesempatan itu. Emak tidak pernah menyuruhnya pergi dari rumah. Dia dan Bang Doni yang inisiatif sendiri.
Katanya, kapan lagi belajar mandiri kalau tidak dari sekarang. Dari Aldo masih bayi merah, Kak Kasih sudah tidak bersama Emak. Selain itu, rumah kami kecil sekali. Hanya dua kamar. Rumah itu peninggalan nenek--orang tua Emak.
Emak hanya dua bersaudara, adik Emak laki-laki sudah lama meninggal. Sebelum aku lahir ke dunia, beliau sudah tidak ada. Kecelakaan lalu lintas merenggut nyawanya. Dia masih bujang saat itu.
Untuk sampai ke rumah Kak Kasih, aku harus melewati rumah saudara sepupu Emak. Nenek—ibu dari Emak—beradik kakak dengan ibu beliau. Kami memanggilnya Mamak. Oh ini bukan rumah Mamak, lebih tepatnya rumah yang dibangun untuk istri beliau. Kalau ditanya rumah gadang kaum, kami tidak punya. Sudah roboh sejak lama.
Jika ada apa-apa, pada beliau kami mengadu. Rustam namanya, kami memanggilnya Mak Rustam. Tetapi, orang kampung tahunya nama beliau adalah Siruh.
"Loh, Rindu? Mau kemana malam-malam begini?" Mak Rustam sedang duduk-duduk dengan tetangga di depan rumah. Langsung berdiri dan menghampiriku.
Di kampung sini, ketika malam tiba, orang-orang akan bertandang ke rumah tetangga. Entah itu menonton bola, atau sekadar duduk-duduk minum kopi sambil mengobrol. Tidak jarang sampai larut malam, masih ada warga yang di luar rumah. Tidak peduli udara dingin yang menusuk ke tulang.
"Mamak, Rindu mau ke tempat Kak Kasih. Menginap di sana." Aku menyalami dan mencium tangan beliau.
"Astaghfirullah, cerobohnya si Ros. Anak gadis dibiarkan jalan sendiri malam-malam seperti ini."
"Dekat kok, Mak." Aku menunduk, pamali kalau berbicara dengan Mamak itu sampai menentang matanya.
"Kejahatan sekarang tidak memandang dekat atau jauh, Rindu. Masih kurangkah berita yang kita lihat di televisi setiap hari? Mamak antarlah kalau begitu."
"Jangan, Mak. Jadi merepotkan!"
Mamak berbalik badan cepat. Pada kedua orang bapak yang jadi tamu beliau, meminta izin untuk keluar sebentar saja. Karena memang rumah Kak Kasih tidak begitu jauh, hanya perlu lima menit lagi kalau agak bergegas.
"Mamak ambil senter sebentar." Beliau bergegas masuk ke rumah, aku tepekur menunggu di pinggir jalan. Tepat di gerbang rumah Mak Rustam.
"Mau seberani apa juga kamu, Rind ... jangan diulangi lagi berjalan sendirian seperti ini. Kalau hantu yang mengganggu tinggal bacakan ayat kursi, kalau orang bagaimana? Diculiknya, diperkosa, dibunuh, mau kamu seperti itu?"
Aku menggeleng cepat. Membayangkan saja sangat ngeri. Apalagi sampai mengalami. Nauzubillahhimindzalik.
"Mamak dengar-dengar kamu dapat beasiswa, Rin? Di UNAND ya, nggak sengaja Mamak menyimak orang-orang di kedai sedang membahas itu."
"Alhamdulilah, Mak."
"Jurusan kedokteran pula. Betul itu, Rind?"
"Betul, Mak. Seluruh biaya ditanggung oleh beasiswa. Tetapi uang saku baru dikasih kalau sudah selesai satu semester."
"Oh, memang brilian otakmu, Rindu. Persis sekali dengan kecerdasan bapak kalian, Umar. Mamak turut bangga atas prestasimu itu. Kemenakan Mamak hendak menjadi dokter, Masya Allah. Semoga dimudahkan jalannya ya, Rindu."
Mak Rustam adalah orang baik, jika ada hajat di rumah dia yang paling depan bergerak. Hanya saja, istri Mak Rustam kurang sepaham dengan Emak. Dari dulu hubungan Emak dan Mintuo Yeni tidak pernah membaik.
"Terimakasih sudah mengantarkan Rindu, Mak. Jadi merepotkan," kataku menundukkan kepala.
"Keselamatan dan keamanan kemenakan adalah salah satu tugas Mamak juga. Lusa Mamak akan mampir ke rumah kalian."
"Baik, Mak. Besok Rindu sampaikan pada Emak. Titip salam untuk Mintuo ya, Mak."
"Iya. Sekarang cepatlah masuk. Jangan lupa mengunci pintu."
"Mamak tidak mampir dulu?"
"Tidaklah, kasihan teman-teman tadi lama menunggu."
Aku bergegas mengetuk pintu Kak Kasih. Menunggu semenit sampai ia bukakan. Betapa aku terkejut melihat Kakakku itu. Wajahnya basah oleh air mata, matanya sudah sembab.
"Kak?" lirih suaraku.
"Masuklah, Rin."
"Kenapa?" Aku sampai bingung mau berkata apa. Jangan-jangan dia sedang berantem dengan Bang Doni.
Kak Kasih menuntunku duduk di ruang tengah. Aldo dan Rafif sudah tertidur dengan pulas. Kak Kasih menyapu air matanya yang masih meleleh.
"Rindu, kamu harus jadi dokter. Harus, Rin. Apapun itu caranya."
"Ada apa sebenarnya?" tanyaku lagi.
"Kamu satu-satunya harapan Kakak dan Emak, Rin. Buktikan pada mereka kalau kita bisa. Kita bukan orang terhina, bukan orang miskin yang tak berdaya, bungkam mulut-mulut jahat itu Rin!" Semakin deras air mata Kak Kasih, aku masih menerka-nerka kemana muara pembicaraan ini.
"Iya, Kak, iya. Coba tenang dulu. Sebenarnya ada apa?"
Kak Kasih berusaha tenang. Aku berdiri dan mengambilkan segelas air. Memberikannya pada Kak Kasih, diteguk sampai habis setengah gelas.
Perlahan Kak Kasih mulai tenang. Tidak lagi tersedu-sedu seperti sebelumnya. Air mata pun tidak mengalir lagi.
"Sebelum Magrib tadi Kakak ke warung Koh Agung, Rin. Memang sial langkah Kakak rupanya. Ceu Nova yang sedang berjaga di kedainya. Kamu tahulah bagaimana tabiat Ceceu itu."
Aku mengangguk, mencoba memberi ruang agar Kak Kasih bercerita dengan puas.
"Dia meledek kamu, Rin. Kakak tidak terima rasanya."
"Meledek apa, Kak?"
"Kakak tidak akan katakan, nanti kamu jadi sedih." Kak Kasih membuang muka.
"Ceu Nova bilang apa?" desakku.
"Rindu, besok atau lusa kita ke kecamatan. Berdua dengan Kakak, ya. Aldo dan Rafif kita titip ke Emak."
"Ngapain kita ke sana?" tanyaku, semakin bingung.
"Beli skincare untuk kamu."
Aku tahu, Ceu Nova pasti menyoalkan tampang lagi. Tentang bibit, bobot, dan bebet untuk masuk fakultas kedokteran. Aku seburuk apa memangnya? Dia menghina fisikku, sama dengan menghina ciptaan Allah.
"Kak, aku buruk rupa ya? Aku burik dan dekil."
"Tidak, Rindu. Semuanya akan glowing pada waktunya. Mulai belajar skincare dari sekarang. Karena di negara ini, kecantikan masih diukur berdasarkan warna kulit. Putih sama dengan cantik."
"Mandi pakai bayclin, bikin putih nggak, Kak?" Aku berseloroh.
"Astaghfirullah, Rindu!" Kak Kasih tertawa lepas, sampai Rafif kaget dan bangun jejeritan.
Dalam hatiku, Kak, tetaplah seperti ini. Selain Emak, cuma Kakak satu-satunya keluargaku.
"Pokoknya kamu harus kuliah, Rin. Kakak akan kerja lebih keras, biar bisa bantu-bantu kamu. Balas semua cemoohan yang kamu terima. Naikkan derajat Emak yang sering dipandang sebelah mata oleh orang!" ujar Kak Kasih setelah menenangkan Rafif--anak bungsunya.
Rindu juga sangat ingin, Kak. Tetapi bagaimana Emak tanpa Rindu di rumah? Aku hanya bisa membatin.
"Percaya sama Kakak, Rin! Semua pasti akan ada jalannya. Kamu hanya perlu yakin pada Allah. Pegang kata-kata Kakak ini, Rin."
Aku menghambur memeluk Kak Kasih. Kali ini tak bisa aku tahan lagi. Pecah tangisku dalam pangkuannya. Andai Bapak masih ada, tentu kami tidak harus sampai seterpuruk ini. Beliau adalah tempat mengadu dan meminta pendapat. Bapak adalah tameng perlindungan bagi kami dari terpaan segala macam keadaan yang sering tidak bersahabat.
"Kita bukan orang terhina, Rindu. Hanya karena orang memandang status berdasarkan tingkat ekonomi makanya kita selalu tersisihkan. Rumah Emak dinobatkan sebagai bangunan terburuk di kampung kita, entah kemana perginya empati manusia-manusia di sini," geram Kak Kasih.
"Kamu harus sukses, harus. Demi Emak, demi almarhum Bapak. Jadikan semua ini sebagai batu loncatan agar melesat setinggi-tingginya, Rindu. Bapak pasti bangga melihat kamu mewujudkan cita-cita yang ingin sekali beliau raih untukmu."
Dalam hatiku yang gerimis, Ya Allah ... panjangkanlah umur Kak Kasih, berikan ia nikmat kesehatan, ketentraman, kesabaran, dan keteguhan iman dalam hidupnya. Angkatlah derajatnya, Ya Allah. Tidak kumiliki sesuatu yang lain selain Emak dan Kak Kasih. Aku meminta dengan segala kepasrahan, jangan cepat-cepat kau ambil mereka dariku. Aamiin ya rabbal alamin.
~••°••~
To be continue!

Book Comment (186)

  • avatar
    ZhahraniNaura

    dari awa baca sampai bab ini sumpah! mrinding dan sering than napas Krn rasa yg mngharu biru cerita yg sngt bagus banyak makna tersirat didlmnya kerrreenn

    01/08/2022

      0
  • avatar
    RiamaElisa

    cerita yang bagus.penuh nilai2 kekeluargaan,agama .sehat dan sukses selalu ya kak

    23/06/2022

      1
  • avatar
    Rîzky Sinaga

    karangan yg indah saya sampai menangis membaca ini yg belum baca wajib baca seru 🔥🔥🔥🔥

    23/06/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters