logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 BAGIAN DUA

Sebagai seorang siswa yang baru saja dilantik menjadi mahasiswa, baru saja diresmikan melalui agenda pengenalan kehidupan kampus dan baru beberapa kali menginjak kampus-kampus impian, maka jelaslah mereka harus mengurus beberapa hal. Salah satunya ialah mencetak Kartu Rencana Studi atau biasa disebut KRS, meminta tanda tangan pembimbing akademik dan meminta tanda tangan wakil dekan bidang akademik untuk mengesahkan KRS tersebut. Barulah setelahnya kita bisa berkuliah sesuai dengan jadwal yang tertera.
Begitu pula yang berlaku pada Genta dan banyak mahasiswa keperawatan yang lain serta mahasiswa-mahasiswa dari berbagai jurusan yang lain. Namun, sesuatu yang berbeda terjadi pada Genta dan anak-anak keperawatan yang berkuliah di kampus empat, untuk mengisi KRS mereka harus pergi ke dekanat yang berada di kampus satu. Menggunakan motor dengan lama waktu berkendara sekitar sepuluh menit, maka sampailah mereka pada tempat yang dituju.
“Lo udah berapa kali ke sini, Gen?” tanya Yuni, teman satu kelas sekaligus perempuan yang rela mengangkut Genta dengan motornya.
Genta mendongak untuk menatap gedung dekanat yang terdiri dari empat tingkat, “Lupa gue, kayaknya ada dua kali, deh,” jawabnya. “Pertama pas TM PKK Fakultas dan yang kedua sekarang.”
Yuni mengangguk, “Sama, sih. Hahaha,” jawabnya. “Eh, di mana kita bisa minta tanda tangan wadek akademik? Gue enggak tahu,” adunya.
“Ck.” Agung mengedarkan matanya ke arah orang-orang yang ramai. “Dah lah, kita masuk aja dulu, entar juga di dalam pasti ada anak-anak yang minta ttd wadek juga,” solusinya.
Genta mengangguk menyetujui, “Yuk,” ajaknya, kemudian melenggang lebih dulu.
Matanya bergriliya mengabsenkan mahasiswa-mahasiswa perempuan berseragam bebas demi melihat satu orang yang dua hari ini membuatnya rindu. Siapa lagi kalau bukan Ayra. Namun, sejauh mata memandang, bahkan selama apapun dia duduk di kursi tunggu menunggu antrean, yang ditunggu tak kunjung datang.
“Ke mana, ya?” tanya Genta pada dirinya sendiri. Kemudian, ia mengembuskan napasnya kecewa. Karena, sebab paling utama dia bersemangat untuk pergi ke kampus satu hanyalah untuk melihat senyum gadis itu, senyum tegas yang mempesona milik Ayra.
“Kenapa lo?” tanya Agung yang mendengar ucapan Genta barusan. “Siapa yang ke mana?” sambungnya.
Genta mendelik, “Kepo banget lo jadi cowok, heran gue,” jawabnya.
“Masalahnya tuh tadi lo semangat banget buat pergi ke sini, eh sampai sini malah loyo. Apa karena lo bosan nungguin antrean? Kayaknya enggak, deh, teman-teman yang lain asyik-asyik aja tuh, ngobrol juga,” spekulasi Agung. Ia menaik-naikkan alisnya. “Lo lagi ngincer cewek kampus satu, ya? Siapa?”
Genta memandang Agung sejenak, kemudian menyandarkan punggungnya ke senderan kursi. “Lo terlalu banyak berspekulasi, puyeng gue,” keluhnya.
“Sampai gue tahu penyebabnya,” ucap Agung tertahan. “Abis lo gue hina-hina.”
“Nyenyenyenye,” ejek Genta tak peduli. Ia tak semangat menanggapi guyonan Agung karena semangat yang ia tunggu tak juga tiba.
***
“Hei, Ay!” seru Lana saat Ayra baru masuk ke kelas pertama mereka hari ini.
Ayra menoleh dan langsung berjalan menuju Lana, “Hai! Tumben kamu datangnya pagi-pagi,” godanya.
Lana tersenyum jahil, “Hari-hari pertama untuk anak semester tiga harus dilalui dengan semangat dong!” serunya. “Apalagi gue mau lihat anak-anak maba, pasti mereka sekarang lagi menuhin dekanat. Lo mah enak, bisa ketemu mereka pas PKK. Lah gue? Kepilih jadi panitia aja enggak,” keluhnya.
Ayra tertawa sejenak, “Kalau mau jadi panitia jalur prestasi, kamu bisa ikut gabung BEM tahun depan, kok!” solusinya.
Lana mengembuskan napasnya, “Enggak. Ogah gue jadi makhluk sibuk kayak lo, kuliah rapat kuliah rapat. Apa tuh nama departemen lo?” tanyanya.
“Politik, Kajian dan Strategi, polkastrat,” jawab Ayra seraya mengambil bukunya yang ada di dalam tas. Beberapa buku cetak untuk mendukung perkuliahan sudah dia pinjam di perpustakaan fakultas. Ia menatap buku-buku itu dengn rapi di atas meja kuliahnya, biar enak dipandang dan lebih mempermudah dia.
“Nah itu, kajian-kajian, saling nyolot-nyolot, debat, mumet pasti kepala gue,” keluh Lana.
“Kamu itu cuma belum mencoba, Lan.”
Lana memegangi keningnya dan meringis, “Astaga!” keluhnya. “Belum masuk aja, baru bilang gini aja kepala gue udah mumet,” sambungnya.
“Padahal itu menajamkan pikiran kita supaya bisa berpikir kritis,” jawab Ayra seraya membaca materi yang sudah ditandainya sebagai materi di hari pertama perkuliahan. Walaupun dia tahu dosennya ini hanya akan perkenalan sebentar, mengisi absen, lalu pulang.
“Iya, tahu gue. Biar bisa berpikir setajam pikiran lo, ‘kan? Yah, konsekuennya gue bisa gila,” jawab Lana.
Ayra tertawa sejenak, “Tapi saya enggak gila, tuh!” ucapnya.
“Terserah lo, deh!” sahut Lana sembari mengibaskan rambutnya. “Eh, lo kok udah belajar aja, sih? Enggak kasihan sama otak lo?” komentarnya saat melihat Ayra memberikan catatan di bukunya.
Ayra menoleh, lalu tersenyum lagi, “Saya malah kasihan sama otak saya kalau enggak belajar dan enggak berpikir.”
“Sindir terus!” seru Lana segera.
Lana memilih untuk mengambil kunciran yang ia lekatkan di dekat tasnya, kemudian mengambil rambut panjang bergelombang miliknya itu. Dia merapikan rambutnya seadanya, kemudian menguncirnya hingga semua rambutnya terkuncir sempurna. Setelah itu, ia mengambil liptint yang tersimpan di saku tasnya dan memoles pada bibirnya. Terlihat lebih segar dan menawan.
“Ay, mau enggak?” tawar Lana pada Ayra sembari menunjukkan liptint-nya.
Ayra menggeleng, “Enggak, terima kasih, Lan,” ucapnya sopan.
Lana berdecak, “Heran, timbang dipoles liptint dikit aja enggak mau, lo perempuan bukan sih, Ay?”
“Perempuan enggak diukur dari seberapa sering dia moles liptint di bibir dia, Lan,” jawab Lana sembari membalik bukunya.
“Tapi jadi cantik itu kodrat perempuan, Ay,” bantah Lana, sesekali ia juga ingin berdebat dengan kawan lamanya ini.
Ayra menggeleng tegas sembari meletakkan bukunya, “Enggak!” serunya tepat. “Kodrat perempuan itu cuma tiga, Lan, mens, hamil dan menyusui,” jawabnya dalam.
“Dih,” jawab Lana keheranan. “Kata siapa?” tanyanya lebih ke mengejek.
“Mbak Nana.”
Lana mengernyit, “Siapa Mbak Nana, ih?” tanyanya.
“Najwa Shihab.”
“Siapa, Ay?”
Ayra memutar bola matanya sebal, kemudian ia mengambil bukunya lagi, “Terserah, Lan!” sungutnya.
“Dih?” Lana yang sudah sebal kembali memperbaiki riasannya. Tidak peduli dengan Ayra yang masih bermesraan dengan bukunya itu.
“Ada Ayra di sini?” tanya Ditya di ambang pintu. Dia datang tiba-tiba saat kelas sedang hehing-heningnya.
Ayra yang merasa dirinya terpanggil menoleh, “Ayra di sini!” sahutnya. Lalu, ia menutup bukunya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Setelah itu, dia berjalan menemui Ditya di ambang pintu.
“Kenapa, Kak?” tanya Ayra saat sudah ada di hadapan Ditya. Ia tidak memedulikan tatapan teman-temannya yang menatap miring ke arahnya. Sudah jelas sebabnya adalah wajah Ditya yang tampan seperti tokoh di wattpad.
“Keanu minta gue buat ngasih tahu lo, supaya lo ngadap wadek kemahasiswaan perihal kajian yang sempat polkastrat lakuin itu. Wadek kemahasiswaan pengin lihat hasil kajiannya. Keanu enggak bisa datang, dosennya the best aja tiba-tiba langsung ngasih tahu ulangan untuk kelasnya dia,” jawab Ditya. Ia tersenyum pada beberapa mahasiswa yang menyapanya.
Ayra mengernyitkan keningnya untuk berpikir, “Tapi saya kuliah, Kak,” jawabnya.
“Shit!” seru Yudi seraya memandang miris pada teleponnya. “Bu Kat enggak masuk hari ini, dia cuma suruh kita absen sama baca materi Reaksi-reaksi bebas senyawa organologam,” infonya yang dari semester satu didaulat menjadi komandan tingkat kelas Ayra.
Ayra menoleh pada Yudi, “Beneran?” tanyanya.
“Lo buka grup kelas, gue udah kirim screenshoot chatnya,” info Yudi. “Malas banget udah jauh-jauh ke kampus ini,” protesnya yang memang bertempat tinggal paling jauh di antara teman-teman kelasnya yang lain.
“Jadi, bisa, ‘kan?” tanya Ditya.
Ayra menoleh lagi pada Ditya, “Kakak dengar sendiri, saya bisa. Sekarang?” tanyanya.
Ditya mengangguk, “Iya, gue antar ke dekanat, ya?”
“Iya, saya ambil tas dulu, Kak,” izin Ayra. Ia berjalan lagi ke bangkunya saat mendapatkan anggukkan dari Ditya.
“Salamin gue sama Kak Ditya, dong!” pinta Lana.
Ayra mengedipkan sebelah matanya, “Syaratnya kamu harus masuk BEM.”
Lana bergidik, “Lebih baik enggak,” jawabnya.
“Kamu enggak lupa kalau kamu sudah punya Yoga, ‘kan?”
Lana menepuk jidatnya sendiri, “Oh, iya!” serunya.
Ayra menggeleng-geleng, “Aneh!” gumamnya.
***
“Buset, masih kusut aja muka lo. Udah dapat tanda tangannya wadek juga,” ujar Agung. Saat ini mereka sedang berjalan menuju parkiran dekanat untuk kembali ke kampus empat. “Sebagai maba, harusnya lo itu semangat. Bentar lagi kita mau kuliah ini,” sambungnya.
Genta mendelik, “Lo cocok jadi emak-emak rumpi, Gung. Semua hal yang terjadi sama gue aja lo komenin,” sahutnya.
“Baperan lo.”
“Enggak, enak aja gue engg- ….”
Balasan Genta terhenti saat melihat dua orang yang baru datang ke dekanat dengan menggunakan motor. Laki-laki yang mengendarai motor tersebut adalah salah satu panitia di PKK kemarin dan satunya lagi adalah perempuan yang dia tunggu, Ayra. “Kalian balik duluan, deh!” serunya segera.
Yuni mengernyit bingung, “Lo mau balik sama siapa? Lo ‘kan enggak bawa motor,” tanyanya.
“Eh, aman gue mah. Bisa naik ojek online. Dah, sana kalian balik. Entar terlambat masuk kuliah,” usir Genta.
“Lah? Lo sendiri?” tanya Agung.
“Aman gue mah. Dadah!” ujar Genta terburu, kemudian ia berlari ke arah Ayra saat ia lihat Ditya pergi dengan motornya.
“Sarap!”
“Sekarang gue punya slogan baru buat tuh anak, enggak sarap enggak Genta.”
“Lah, lo juga sama, sama-sama sarap.”
***
Ayra mengetuk tiga kali ruang wakil dekan bidang kemahasiswaan, kemudian mendorong pintunya pelan dan masuk ke sana. Dinginnya pendingin ruangan langsung membuat tubuhnya menggigil. Ia bingung, bagaimana ada orang yang bertahan dengan pendingin ruangan sedingin ini? Dia saja rasanya mau demam. Dia saja yang sebenarnya kampungan, sih.
“Permisi ….”
“Apa apa?” tanya Ibu Cantik. Dipanggil seperti itu karena dia memang cantik, beliau adalah sekretaris wakil dekan bidang kemahasiswaan.
Ayra mengangguk, lalu tersenyum. “Bapak Dekan ada, Bu?” tanyanya sopan. “Saya Ayra perwakilan dari anggota polkastrat BEM Fakultas, ingin menyampaikan hasil kajian kepada beliau,” jelasnya.
“Oh.” Ibu Cantik mengangguk. “Pak Dekan sedang keluar sebentar, tadi dia pesankan sama saya supaya kamu menunggu dia kembali. Atau, kalau ada cetakan dari hasil kajiannya kamu bisa titipkan sama saya dan kamu bisa kembali kuliah,” jawabnya.
Ayra berpikir sejenak, “Ada cetakannya, Bu,” jawabnya. Kemudian, ia membuka tasnya dan mengambil hasil kajian yang sudah dicetak dan disampul dengan sampul biru. Biru yang menjadi wrna dari fakultasnya. “Ini, Bu,” serahnya.
“Terima kasih, ya … siapa tadi nama kamu?”
“Ayra, Bu.”
“Mahasiswa kimia, ya?” tanya Ibu Cantik lagi. “Semester berapa?”
“Iya, Bu.” Ayra mengangguk. “Saya semester tiga, Bu.”
“Sedang banyak-banyaknya laporan itu,” komentar Ibu Cantik. “Ya sudah, kamu boleh kembali.”
Ayra mengangguk lagi, “Baik, Bu, terima kasih. Permisi, Bu,” pamitnya, lalu keluar dari ruangan yang sudah membekukan tulang-tulangnya tersebut.
“Hai!” sapa Genta saat Ayra sudah keluar.
Ayra yang kaget mundur selangkah dengan hasil kepalanya terjedot di pintu kaca. “Astaga!” serunya.
“Eh, aduh, Cantik! Sakit, enggak?” tanya Genta dengan refleks mengelus bagian kepala Ayra yang barusan terjedot.
Ayra menggeleng dan langsung menepis tangan Genta yang ada di kepalanya, “Enggak apa-apa,” jawabnya. “Kamu ngapain? Punya urusan sama Pak Dekan?” tanyanya.
Genta menggeleng, “Gue punya urusan sama lo, Kak,” jawabnya.
Ayra mengernyit, “Maksudnya?” tanyanya bingung.
Genta tersenyum manis, walau di mata Ayra itu terlihat menjijikkan. “Gue mau bilang sama lo kalau lo itu cantik pake banget. Kalo kemarin gue bilangnya enggak pas sama timing, sekarang pas, ‘kan?”
“Aduh!” seru Ayra seraya memicit pangkal hidungnya. “Sumpah itu enggak penting dan saya juga enggak kenal kamu.”
“Nama gue Genta, Kak.”
Ayra menggeleng, “Saya juga enggak mau tahu.” Kemudian ia berjalan menjauhi laki-laki yang aneh ini.
“Kak, bentaran dulu!” seru Genta seraya menarik tangan Ayra.
Ayra menghentakkan tangannya, “Apalagi astaga?” tanyanya geram.
“Gue enggak suka lo boncengan sama Kak Ditya, enggak cocok!” seru Genta.
Ayra menutup wajahnya, “Itu bukan urusan kamu dan perbuatan kamu tadi sukses membuat saya malu. Sudah, ya, permisi,” pamitnya, lalu berjalan cepat dengan tatapan orang-orang yang menyorotinya.
Genta hanya mengedikkan bahunya, “Itu urusan gue sekarang,” gumamnya, kemudian berlalu tanpa memusingkan tatapan orang yang juga menyorotinya.

Book Comment (16)

  • avatar
    MaulanaArfan

    bagus skli

    19d

      0
  • avatar
    gielgalih

    good

    14/06

      0
  • avatar
    ShajoCatur

    ketegasan yg harus ditunjukkan oleh ayra,biar gak dianggap murahan pada genta yg lg bucin

    10/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters