logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 BAGIAN SATU

Genta mendongakan kepalanya saat motor tua bapaknya memasuki gerbang kampus. Tetap mengagumkan meski dia sudah kedua kali datang ke kampusnya. Tidak pernah bisa dibayangkan oleh Genta bahwa akhirnya dia sudah resmi menyandang gelar sebagai mahasiswa. Terlebih lagi di salah satu kampus negeri dengan beasiswa di jurusan yang sudah menjadi cita-citanya.
Genta melihat ke beberapa orang yang berlari dengan tergesa dan muka yang cemas saat masuk ke gerbang kampus. Dan saat itu juga matanya melirik ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Waktu datang sudah mepet dan dia harus cepat-cepat turun. Ketika motor bapaknya berhenti, Genta langsung melompat dan berjalan cepat menyusul yang lainnya.
“Genta, semangat!” teriak Gusti saat ia melihat anak berlarian menuju pelataran kampus.
Genta menoleh, lalu mengangguk.
“Jangan lupa makan siang!”
Genta menoleh lagi, tersenyum, lalu mengangguk. “Iya, Pak!” balasnya.
“Jangan lupa- ….”
“Kamu terlambat!”
Genta memberhentikan paksa larinya dan menatap jeri pada perempuan beralmamater dan menggunakan tanda sebagai panitia yang saat ini tengah mendelik seram ke arahnya. “Eh,” sahutnya seraya memegangi jantungnya yang berdegub kencang. “Iya, ‘kah?” tanyanya dengan tampak cengok. Dia agak terkejut saat menyadari perempuan yang sekarang ada di depannya adalah kakak tingkat yang dua hari lalu ia tabrak. Mampuslah Genta!
Perempuan tersebut mengangguk, “Iya, kamu terlambat. Silakan berbaris di sana,” tunjuknya pada beberapa mahasiswa baru yang sudah dibariskan. “Di barisan orang-orang terlambat.”
“Tapi, aku …?”
Perempuan tersebut menggeleng, “Tidak ada tapi-tapi, konsekuensi tetap konsekuensi. Sudah dibahas saat TM PKK, ‘kan? Jadi, kamu harus mematuhinya,” sahutnya tegas.
Genta mengangguk lemah, “Baiklah, Kak.”
Genta berjalan menuju lima orang, tiga perempuan dan dua laki-laki, yang sedang berbaris dengan menghadap tepat ke arah panasnya matahari. Bisa dibayangkannya betapa banyak keringat yang akan mengucur saat dia berbaris di sana. Namun, nasi sudah menjadi bubur dan kebiasaan terlambatnya terbawa sampai ke bangku perkuliahan di ospek hari pertama.
Hei, padahal Genta sudah bangun pagi-pagi sekali! Ia sedikit mendongkol dengan keputusan seperti ini. Memang dia terlambat, sih, tapi kenapa ia jadi telambat, ‘kan? Kenapa juga di masa orientasi harus ada segmen menghukum orang-orang yang terlambat? Supaya apa?
“Terlambat juga?” sapa perempuan yang ada di barisan ujung kanan saat Genta menutupi barisan dengan dirinya.
Genta mengangguk, “Tanpa perlu lo tanya, sudah jelas, ‘kan?” tanyanya. Dia mendengkus, kemudian melihat ke sekitar. Tepat di hadapannya adalah orang-orang yang tidak terlambat, sekarang mereka sedang diarahkan untuk berbaris rapi.
“Harusnya aku tidak terlambat,” jelas perempuan tersebut. “Aku sampai di sini tepat jam enam pagi, tetapi ternyata ada perbedaan jam di tanganku dengan tangan Kak Hanum, aku telat dua menit di jam tangannya,” sambungnya.
Genta menoleh, “Kak Hanum?” tanyanya.
Anggukkan kepala diberikan oleh perempuan itu, “Iya, dia yang tadi mencegah kamu. Anggota sie keamanan yang paling tegas, kalau kata maba yang lain,” jelasnya.
Genta beroh ria, “Baguslah, artinya dia bisa menertibkan kita, ‘kan?” tanyanya sembari mengedipkan mata makannya.
Ia langsung menunduk saat mendapati Hanum sedang melirik ke arah mereka. “Kak Hanum melihat ke sini.”
“Eh, anu …,” jawab Genta dan ikut menunduk.
“Oh iya, namaku Mytha, mahasiswa baru program studi kimia,” bisik Mytha memperkenalkan diri. Ia tetap menunduk agar tidak mengundang kecurigaan Hanum, sehingga bisa membuat hukuman mereka lebih berat.
Genta mengangguk, “Gue Genta, keperawatan.”
“Oh, artinya nanti kamu kuliah di sini, ya? Kampus empat?” tanya Mytha.
Genta mengedikkan bahunya, “Sebenarnya gue mau berkuliah di kampus satu, eh ternyata tempat anak-anak keperawatan ada di kampus empat. Jadinya begitu.”
“Tenang … kamu tetap bisa mendatangi kampus satu kalau ke dekanat, kok,” kelakar Mytha.
“Hahaha, iya, tap- ….”
“Siapa yang menyuruh kalian mengobrol!” seru Hanum yang sudah ada di depan mereka. “Kalian saya pisahkan ke sini itu untuk menerima hukuman, bukannya malah asyik mengobrol,” sambungnya.
“Ma-maaf, Kak,” sahut Mytha.
Hanum menggeleng, “Saya enggak butuh maaf kamu. Kal- ….”
“Num!” seru panitia lain yang memotong omelan Hanum.
Hanum merotasi bola matanya, “Argh …,” dengusnya seraya menoleh. “Kenapa, Dit?” tanyanya kesal.
“Ke sini,” ajak Ditya.
Hanum memutar bola matanya, “Ngapain?”
“Ya, ke sini dulu!” seru Ditya lagi.
“Gue lagi mau kasih hukuman sama maba-maba terlambat ini,” jawab Hanum sembari mendelik pada enam orang yang terlambat di depannya ini.
Ditya mendengkus, lalu berjalan menuju Hanum. “Kasih sama Ayra saja, lo lebih dibutuhkan di bagian administrasi,” ajaknya seraya menyeret lengan gadis itu.
“Gue sie keamanan, lho!” cegah Hanum. Baginya memberikan hukuman adalah pekerjaan paling keren saat menjadi panitia pengenalan kehidupan kampus.
“Ya, Ayra ‘kan juga sie keamanan,” sangkal Ditya.
“Dia masih tingkat dua, bagaimana bisa dia memberikan hukuman?” tanya Hanum tetap tidak terima. “Dan ngapain juga gue di sie keamanan tiba-tiba ngurusin sie administrasi, sih?” todongnya.
“Lo lupa saat lo dulu di tingkat dua lo berhasil membuat dua mahasiswa baru menangis, gue yakin Ayra juga bisa kayak lo. Dia didikan lo, ‘kan?” tanya Ditya. “Udah, lo nurut aja ama gue kenapa, sih?”
“Terserah!” ketus Hanum.
“Ayra!” panggil Ditya.
Ayra yang sedang merapikan barisan mahasiswa baru menoleh, “Ya, Kak?” jawabnya.
“Lo berikan hukuman sama mahasiswa baru yang terlambat, Hanum mau gue tarik dulu. Ada kepentingan yang lebih penting untuk dia dibandingkan mengomeli mahasiswa baru.” Ditya melirik pada Hanum yang menatapnya sebal. “Biar kerjaan dia enggak cuma ngomelin maba doang,” sindirnya.
“Apasih!?” sungut Hanum sembari berdecak sebal.
Ayra mengangguk, “Iya, Kak! Saya ke sana,” jawabnya seraya berjalan menuju enam mahasiswa baru yang sedang menanti nasibnya.
“Ayra jangan baik-baik!” ingat Hanum.
“Siap, Kak Hanum!” sahut Ayra saat sudah sampai ke barisan enam mahasiswa yang terlambat ini. “Satu dua tiga empat lima enam, tiga laki-laki dan tiga perempuan, kalian cocok kalau dipasang-pasangkan,” ujarnya.
Genta terpaku memandangi wajah gadis yang saat ini ada di depannya. Gadis yang memiliki pipi bulat, mata bulat dengan bola mata yang kecoklatan, hidung minimalis dan bibir tipis. Terlebih lagi bibir tipis itu dipoles dengan lip yang sewarna dengan bibirnya. Kacamata yang bertengger di hidungnya menambah kesan pintar yang ada di wajah gadis tersebut. Dan gadis tersebut adalah seorang malaikat yang menyelamatkannya dua hari yang lalu.
Genta memperhatikan gadis itu dari atas hingga ke bawah dan kembali ke atas lagi. Entah kenapa dia juga tidak mengerti, ada bagian di hatinya yang berbunyi klik ketika matanya yang tidak sengaja beradu pandang dengan Ayra. Kemudian dia tersenyum, menjadi tidak peduli dengan kebingungan orang-orang di sekitarnya.
“Kenapa kamu melihat saya seperti itu?” tanya Ayra saat ia sudah risih dengan tatapan yang diberikan oleh Genta. “Ada yang salah sama saya?” tanyanya lagi.
Genta sontak menggeleng cepat, “Kamu cantik,” ujarnya tanpa sengaja. “Cantik sekali, eh, berkali-kali,” ralatnya.
Ayra menaikkan alisnya, “Ungkapan yang seharusnya membuat saya tersanjung, tetapi disayangkan kamu mengatakannya sekarang,” ucapnya.
Ayra melipat tangannya di dada, lalu menatap mahasiswa baru satu persatu. “Keterlambatan menunjukkan kalian tidak menghargai waktu, aturan yang sudah dibuat dan teman-teman kalian yang tidak terlambat,” ceramahnya tegas. “Kalian sudah melaksanakan PKK di tingkat universitas selama dua hari, apakah di sana kalian terlambat juga?”
“Siap, tidak, Kak.”
“Siap, iya, Kak.”
“Siap, sedikit, Kak.”
Tiga jawaban berbeda diberikan oleh mereka yang membuat Ayra mengembuskan napasnya. “Tiga jawaban berbeda, tetapi kenyataannya kalian terlambat hari ini.”
“Siap, maaf, Kak,” sahut sebagian.
Ayra menggeleng, “Enggak, saya enggak butuh permintaan maaf kalian.” Ia menoleh pada laki-laki yang daritadi tetap saja memandangi wajahnya. “Dan kamu, tolong tegak dengan posisi siap. Tunjukkan bahwa kamu laki-laki dengan berdiri tegap, bukannya laki-laki lenyeh yang suka mengeluh.”
“SIAP, IYA, KAK!” sahut Genta kencang yang langsung menarik perhatian yang lainnya.
“Kalian sudah siap menerima hukuman dari saya?” tanya Ayra setelah diam beberapa detik.
“Siap, iya, Kak!” sahut mereka kompak.
Ayra mengangguk, “Baik, silakan ambil posisi push up semuanya. Kalian silakan push up sebanyak tiga puluh kali, kecuali kamu yang di ujung,” tunjuknya lagi pada Genta. “Kamu lima puluh kali.”
“Kak?” tanya Genta dengan muka yang pias. Dapat dibayangkan melakukan push up dengan matahari yang langsung menyorot ke arah mereka. Kalau sampai tiga puluh kali mungkin aman karena dia masih bersama teman-teman terlambatnya yang lain. Kalau sampai lima puluh kali dan sendirian? Hei, mau dibuang ke mana muka tampannya ini?
“Enam puluh?”
“Tapi, Kak?”
“Tujuh puluh?”
“Kak, kenapa enggak tiga puluh kayak yang lain?” tawar Genta tetap berusaha.
“Delapan puluh?”
“Tapi, Kak?”
“Seratus kali?”
“Lima puluh, Kak!” sahut Genta buru-buru, takut kalau kakak panitianya ini semakin menaikkan hukumannya. Bisa gempor tulang belulangnya.
“Satu …,” hitung Ayra.
“Kak,” panggil Genta lagi.
“Ck.” Ayra mendelik. “Kenapa?” tanyanya.
“Nama saya Genta Prakasa.”
“Dua.”
“Kamu cantik sekali, Kak.”
“Tiga.” Ayra menoleh pada Genta. “Dan kamu push up-nya jadi sebanyak seratus kali.”
Genta mengutuk mulutnya yang terlalu mudah memuji. Kemudian ia menggeleng, mana mungkin aku menyesal memuji perempuan secantik itu, batinnya.
***
“Dinas Politik Kajian dan Strategi yang digawangi oleh Keanu Agam dengan sekretaris dinas Adinda Manya dan dengan tiga anggota, Dwi Ayu, Ayra Adreena Kairin dan Dimas Muftaha Pramana,” panggil Danu selaku Gubernur Mahasiswa Fakultas MIPA dan Kesehatan.
Kantuk yang sempat menyerang matanya seketika hilang saat Genta mendengarkan satu nama yang dipanggil, Ayra Adreena Kairin. Ia memperhatikan gadis itu dengan tegap melangkah ke panggung karena saat ini adalah pengenalan Badan Eksekutif Mahasiswa dari berbagai dinas.
“Cantik,” puji Genta. Sudah berapa kali di hari ini ia memuji gadis itu.
“Kak Danu?” sahut seseorang yang duduk di samping Genta.
“Ck.” Genta menoleh. “Siapa yang bilang Kak Danu cantik?” tanyanya.
“Lo barusan.”
“Gue cuma bilang cantik, bukan Kak Danu cantik.” Kemudian Genta mengalihkan lagi pandangannya pada enam orang yang saat ini sudah menuju turun panggung. Fokusnya tetap pada gadis yang sama.
“Ayra namanya.”
Plak. Ryan yang ada di sebelah Genta dengan semena-menanya memukul bahu laki-laki. “Lo lihat Kak Ayra?” tanyanya.
Genta mendengkus, “Memangnya ada yang lebih menarik perhatian dibandingkan dia?” tanyanya setelah memastikan Ayra sudah kembali duduk di tempatnya
“Banyak yang cantik dibanding Kak Ayra dan lo kok berani banget manggil Kak Ayra pakai dia-dia aja?” tanya Ryan keheranan. “Mampus entar lo dijulidin sama kakak tingkat seantero MIPA dan Kesehatan.”
“Bukan urusan lo.”
“Lo naksir sama Kak Ayra?”
“Kekepoan lo bisa buat kita dibentak sama Kak Hanum lagi.”
“Iya, tap- ….”
“Dua mahasiswa yang duduk di barisan dua belakang kalau kalian masih mengobrol, kalian akan saya hukum,” ucap Hanum yang sudah geram dengan perilaku dua mahasiswa baru tersebut.
“Tuh, ‘kan? Apa gue bilang,” bisik Genta. “Tapi kalo yang ngehukumnya Kak Ayra, gue bersedia, deh!”
“Gila.”

Book Comment (16)

  • avatar
    MaulanaArfan

    bagus skli

    19d

      0
  • avatar
    gielgalih

    good

    14/06

      0
  • avatar
    ShajoCatur

    ketegasan yg harus ditunjukkan oleh ayra,biar gak dianggap murahan pada genta yg lg bucin

    10/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters