logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Refreshing dengan Selingkuhan

#POV Indra
Setelah menembus kemacetan yang menghabiskan waktu kurang lebih dua jam lebih dan mampir sarapan, aku pun tiba di lokasi tempat Siska menungguku.
Rambut hitam panjangnya yang tergerai melambai-lambai tertiup angin pagi. Dia melambaikan tangan dari tempat duduknya. Aku mempercepat langkah.
"Ganteng banget, Bang," pujinya saat kami saling menempelkan pipi sebagai salam pertemuan.
"Bisa aja kamu, Dek." Mataku mengarah pada benda yang menjuntai di lehernya. "Bagus ... cocok di lehermu," pujiku sambil duduk.
Siska mengaduk-aduk jusnya dengan sedotan lalu menyesapnya. "Kalo ini berada di leher istrimu, apa akan bagus juga, Bang?"
Ah, pertanyaan macam apa itu. Tawanya seolah ingin aku memujinya setinggi langit. Kusandarkan punggungku pada sandaran kursi kafe.
"Yania enggak suka perhiasan, Sis. Dia berbeda, dia enggak acuh dengan barang-barang seperti itu ... kalo aku mengajaknya ke toko emas pun dia akan langsung menolak. Perhiasan yang ada di badannya hanya cincin kawin dan peninggalan ibu mertuaku saja." Aku membanggakan istriku di hadapan simpananku, rival Yania.
Siska tertawa sambil menyisir rambutnya yang terbang menutupi sebagian wajahnya dengan jemari lentiknya. "Itu artinya jatah perhiasan untuknya jadi milikku, dong, Bang," katanya lalu tersenyum penuh arti.
Entah Siska bercanda atau tidak, aku hanya ikut tertawa menanggapi perkataannya.
Memang kuakui, Yania tak menggilai uang. Seberapa pun kukasih, dia menerima. Dia terlalu baik. Dia terlalu istimewa di hatiku. Namun, lagi-lagi aku tak bisa menampik bahwa aku membutuhkan yang lainnya.
"Bang!" Aku tersentak dibuat Siska. "Malah ngelamun, aku becanda kali, Bang," tambahnya membela diri sendiri.
"Hehe, maaf. Keinget Yania di rumah," jawabku sambil meraup wajahku pelan.
Siska mendadak diam. "Aku di sini, Bang. Apalagi ada masalah? Biasanya Abang fokus sama aku kalo kita lagi bareng," protesnya lalu bibirnya menguncup seperti bunga belum mekar.
Dia mulai cemburu sepertinya. Apa cintanya benar-benar sebesar yang dia katakan selama ini?
Jujur saja, saat ini aku memang kepikiran Yania. Apakah dia masih menangis di rumah? Argh!
"Bang!" panggilnya lagi. Kutatap dia lekat. "Tuh 'kan, diem aja. Enggak suka, ya, kalo aku ke sini?" rajuknya.
"Bukan gitu, Dek. Hmmm, Yania udah mulai curiga. Tadi ... dia nangis waktu aku pergi." Kukatakan saja pada Siska agar dia tak salah paham.
Ribet juga nantinya kalau aku harus pusing memikirkan dua perempuan yang sama-sama kucintai ini merajuk.
"Loh, bagus dong, Bang, kalo dia sudah mulai tau. Itu artinya kita udah harus kasih tau dia lebih cepat lagi ... kalo kita ada," sahut Siska semangat.
"Ya ... enggak sekarang juga, Dek. Nanti ada waktunya, kok."
"Ya, udah ... terserah Abang ajalah. Jalan-jalan, yuk!" ajaknya. Dia sudah berdiri sambil mengulurkan tangannya. "Ayo, Bang! Biar pikiranmu seger," imbuhnya.
Ada benarnya juga, sih. Aku segera meraih tangannya. Kami saling bergandengan tangan menuju mobilnya.
"Mau ke mana ini?" tanyaku yang sudah siap di bagian kemudi.
"Ke mana aja Abang ajak, aku hayuk," candanya sambil tertawa. Dia pasti sedang menghiburku.
Argh! Tak kusangka aku akan segalau ini sekarang. Selama ini, sebelum Yania tahu, aku malah enjoy. Langkahku selalu ringan, dan hatiku tak terbebani sama sekali. Saat ini sungguh jauh berbeda.
Kami pun tiba di salah satu pusat perbelanjaan di Tangerang. Ramai sekali! Siska melendet manja di lenganku sambil berjalan. Sesekali jemarinya menggelitik lenganku.
"Jangan buat aku kegelian gitu, Dek. Masih belum nikah, kalo enggak tahan gimana?" tanyaku penuh canda.
"Nikahin atuh, Bang. Udah lama kita sama-sama, tapi enggak bisa melakukan lebih dari sekadar mengecup pipi dan dahi." Meski nada bicaranya lembut, tetapi terdengar bahwa dia sedang memerotesku.
Aku tahu, Siska sudah menjanda tujuh tahunan. Pasti ada gejolak terpendam di dalam dirinya. Ya,
fitrahnyaa sebagai perempuan yang pernah disentuh pastinya. Sering sekali dia memberiku kode untuk melakukan hal itu, tetapi aku tak bisa.
Kenapa? Karena bayangan Yania selalu muncul. Mungkin jika aku dan Siska menikah, tak akan ada rasa tak enak hati pada istriku itu.
"Sabar, Dek! Sedang kupikirkan cara terbaik untuk bicara sama Yania. Untuk saat ini ... kurasa kita harus bersabar lagi. Yania sedang tak enak hati, yang ada semuanya akan berantakan," ujarku.
Decak kesal Siska terdengar jelas olehku. Meski kesal, dia tetap menggelayut manja di lenganku. Protesan Siska hanya sampai di situ saja. Begitulah dia, tak mau memperpanjang masalah.
"Yang penting kita masih bareng-bareng dan akan terus bareng, Bang!" tandasnya penuh penekanan.
Aku tak sengaja melihat gamis bagus di sebuah counter khusus penjualan pakaian muslimah. Kuseret saja Siska yamg masih menggantungi lenganku. Kami bak anak ABG yang dilanda kasmaran saja.
"Ngapain ke sini, Bang?" Siska melepaskan tautannya. Penuh keheranan dia memandangiku dan tempat ini secara bergilir.
"Abang mau beli sesuatu, Dek." Begitu saja kujawab sambil berlalu.
Setelah kubeli gamis bagus seperti yang dipakaikan di patung depan itu, aku pun mengajak Siska keluar. Jemari kami saling menggenggam. Dia tak banyak tanya.
Kembali kulewati lagi counter yang menjual mainan anak-anak. Kubawa lagi Siska ke dalam, dia tak bertanya, tetapi dia mengerti dan ikut memilih.
"Bang, ini mobil remote control untuk Abi dan Bian. Belinya dua, Bang. Jadi, enggak rebutan," celetuknya sambil mengangkat benda itu. Aku mengangguk setuju.
Kulihat mainan anak perempuan, rumah-rumahan lengkap dengan barbie dan yang lainnya, langsung saja kubeli, pasti Syafa menyukai ini. Untuk Satria kubelikan mainan yang aman untuk usianya yang masih piyik.
Tangan kanan dan kiriku dipenuhi paper bag. Siska hanya bisa memeluk lenganku saja.
"Seneng banget pasti anak-anakmu, Bang. Nanti anak kita juga dibeliin begini, ya, Bang," katanya penuh harap.
"Kamila 'kan, udah gede, Dek," sahutku polos.
"Bukan, Bang. Kalo Kamila ... udah bisa pilih barang sendiri. Ini ... anak masa depan kita nanti, loh," jelasnya.
"Oh, iya-iya. Pastilah Abang akan sayangi anak-anak Abang nantinya," jawabku sembari mengulas senyum ke arah Siska. "Adek mau beli apa?"
"Hmm, enggak usah, Bang. Hadiah di bawah bantal kemarin udah cukup sampe seminggu, kok."
Aku tertawa keras. "Berarti minggu depan bakalan nagih hadiah lagi, gitu?"
Siska hanya menjawab dengan tawanya yang renyah. Tak ada yang mencurigai kelengketan kami. Semua orang mengira kalau kami pasti pasangan suami-istri sah.
Tiba-tiba saja netraku menangkap sosok yang sangat dekat dengan Yania. Segera kutarik Siska ke dalam restoran selagi aku belum tertangkap oleh matanya.
"Kenapa, Bang?" tanyanya bingung.
"Selamat datang, Pak, Bu!" ucap pramusaji yang berdiri di dekat pintu masuk. Aku dan Siska mengangguk ramah.
"Mukamu kayak ketakutan gitu," tambahnya lagi.
Aku menarik Siska ke salah satu meja. Kepalang tanggung, aku memesan makan siang saja sekalian. Pramusaji itu pun pergi setelah membawa catatan pesananku dan Siska.
"Enggak apa-apa, Dek. Mendadak laper." Aku meringis.
Di dalam dadaku, denyutnya sudah tak beraturan. Pilu sekali nanti Yania jika mengetahui ini di atas kesedihannya yang belum selesai tadi pagi.
Kupandangi Siska yang cemberut. Dia pasti tahu kalau aku sedang berbohong. Argh! Kenapa semua perempuan punya insting yang kuat, sih?
Kuraih tangannya dan kuusap manja. "Jangan ngambek!" pintaku.
"Asal kamu selalu terbuka ke aku," balasnya ketus.
"Iya, aku usahakan." Singkat saja aku menjawab.
Pikiranku lagi kacau juga sekarang. Andai nanti tak sengaja bertatap muka, bagaimana?

Book Comment (264)

  • avatar
    Abdul Rizal

    lanjut dong ceritanya

    4d

      0
  • avatar
    Bayu Erlangga

    mantapp

    15d

      0
  • avatar
    RenaldiAkbar

    Baik

    21d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters