logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 PERASAAN-PERASAAN YANG TUMBUH

Kesokan harinya, di hari Minggu yang cerah, Wulan mengajak Mentari jalan-jalan ke mal. Hari itu langit sangat bersih, awan-awan halus berarak perlahan. Angin sejuk bertiup semilir, membuat suasana setiap orang menjadi ceria.
Mentari memandangi berkas-berkas pekerjaan yang dibawanya dari kantor. Sudah delapan puluh persen yang dia selesaikan, yang dua puluh persen bisa dia kebut di malam hari sebelum tidur.
“Ayolah, Kak, kita jalan-jalan. Lihat di luar sana, cuaca sangat mendukung,” rayu Wulan ketika melihat kakaknya masih memikirkan pekerjaan kantor.
“Ayolah kalau begitu,” Mentari memutuskan pada akhirnya, membuat Wulan bersorak girang.
“Kamu yang menyetir ya, Lan?”
“No problem,” jawab Wulan.
Setelah berunding, diputuskan untuk mengunjungi mal terdekat dari rumah mereka. Pertimbangannya, di situ ada food court yang meyediakan aneka jajanan yang bervariasi dan menggugah selera.
Wulan sangat gemar akan jajanan. Tak heran tubuhnya terlihat lebih berisi dibandingkan kakaknya yang langsing. Mentari sebenarnya suka makan, meski tidak sebanyak Wulan, namun perawakannya begitu-begitu saja meskipun volume makanan yang masuk ke tubuhnya terbilang banyak. Wulan sering iri melihat bentuk tubuh kakaknya yang ramping tapi tidak terlalu kurus. Sedangkan Mentari pun kadang mendambakan bentuk tubuh padat berisi seperti adiknya.
“Kamu mau jajan apa saja di sana?” tanya Mentari, menggoda adiknya. Dia tahu betul kebiasaan jajan Wulan, yang akan menunjuk setiap jajanan yang diminatinya bagaikan orang kalap.
“Aku tidak akan jajan banyak,” jawabnya enteng sambil berkonsentrasi pada setir di depannya.
Mentari menatapnya sangsi. “Tidak jajan banyak itu berarti lima atau enam jenis jajanan, kan?”
Wulan tertawa membenarkan. “Kakak tahu saja.”
“Asal kamu sanggup menghabiskannya saja. Jangan seperti yang sudah-sudah, aku yang kebagian tugas menghabiskan sisa makanan kamu yang tak termakan.”
“Biar badan Kakak menjadi sedikit gemuk.”
Mentari mendesah sendiri. “Aku juga ingin memiliki bentuk badan yang sedikit berisi seperti kamu. Tapi susah.”
“Ya, sudah. No debate. Karena aku yang hobi jajan ini ingin kurus, sementara Kakak yang bertubuh kurus ingin gemuk, tugas Kakaklah untuk menghabiskan sisa jajananku.”
Dengan tersenyum geli Mentari menyetujui usul konyol itu.
Saat mobil memasuki gerbang mal, Mentari merasakan dorongan berkemih yang tak tertahankan. Sebelum berangkat, ia minum segelas besar minuman bersoda. Kini ia menyesalinya.
“Lan, aku mau buang air kecil.”
Wulan memandang antrian kendaraan lain di depan yang juga hendak memasuki pusat perbelanjaan ini dengan khawatir. “Banyak sekali antrian kendaraannya. Butuh sekitar lima belas menit untuk sampai di area parkiran,” ia memberitahu.
Mentari menggigit bibirnya dengan resah.
“Kakak turun di sini saja, langsung cari toilet di dalam mal,” usul Wulan saat antrian kendaraan betul-betul stak di tempat.
“Oke.” Mentari menyetujui usul itu, membuka sabuk pengamannya dengan bergegas, menengok ke belakang sebelum membuka pintu mobil. “Sampai bertemu di dalam mal. Aku langsung ke lantai lima.”
Wulan menyengir lebar. Lantai lima merupakan area khusus food court. Kakaknya ini memang sangat pengertian.
Biasanya kalau mereka ke mal, hal pertama yang dilakukan adalah mencari area jajanan. Dan sebelum pulang, mereka pasti mampir lagi ke area tersebut, entah untuk membeli bekal makanan di jalan, ataupun untuk oleh-oleh Papa dan Mama.
“Kakak,” panggilnya sambil menurunkan jendela pengemudi.
Mentari yang sudah akan menyeberang menoleh dengan khawatir, merasa tidak ketinggalan apa-apa lagi di dalam mobil. “Ya?”
“Masuknya ke toilet wanita ya, jangan toilet pria. Ha ha!” Wulan tertawa terbahak-bahan sambil menaikkan kembali kaca jendela mobil. Mentari mengepalkan tinju ke arahnya dengan kesal.
Keadaan di depan pintu lift tidak jauh berbeda dengan jalan masuk ke mal, dipadati dengan orang-orang yang mengantri hendak naik ataupun turun lantai. Maklum, ini hari Minggu pertama setelah gajian, sehingga orang-orang memanfaatkan liburan ini untuk berbelanja, berwisata kuliner ataupun sekedar berjalan-jalan.
Akhirnya Mentari sampai juga di depan pintu lift, setelah mengantri sekitar tiga menit. Mungkin Wulan sudah memarkirkan mobil di area basement dan berjalan menuju kemari, pikirnya. Gelombang manusia keluar dari pintu lift yang membuka, memaksanya untuk minggir agar yang di dalam bisa keluar. Seseorang memanggil namanya, tetapi ia terlanjur terbawa arus orang-orang yang masuk ke dalam lift. Dia pun tidak terlalu memikirkan hal itu. Mungkin hanya seorang kenalan yang pernah ia jumpai di atas bis.
Ia punya kebiasaan mengajak mengobrol siapa saja yang ditemuinya di atas bis, sebagai perintang waktu. Kalau orang itu sering ditemuinya, tak segan ia memperkenalkan nama, bahkan saling bertukar nomor telepon.
Saat melangkah keluar dari lift, Mentari mencium wangi aneka ragam makanan yang semerbak. Perutnya merespon dengan berbunyi lirih, pertanda minta diisi. Ia mengelus perutnya, memintanya untuk bersabar. Saat ini, hal yang paling penting adalah menemukan toilet untuk mengeluarkan urin dari kandung kemihnya.
Jauh di ujung sana, ia menemukan tanda bertuliskan ‘toilet’. Ketika sampai di situ, ia terbelalak tak percaya. Tempat ini pun dipadati antrian orang.
Ini pasti bercanda, pikirnya, dimana-mana ada antrian orang!
Namun dia tak perlu menunggu lama, karena beberapa wanita memutuskan untuk keluar dari antrian dan mencari toilet lain.
“Leganya,” katanya sambil keluar dari bilik toilet. Tugas selanjutnya menanti, mencari keberadaan Wulan di antara gerai penjual makanan. Dan itu tidaklah mudah, mengingat lantai ini pun dipadati oleh pengunjung.
Dia melihat seseorang melambai di depan gerai es krim yang didominasi oleh anak kecil. Di situ Wulan rupanya. Es krim adalah hidangan pembuka favoritnya.
Sambil berjalan mendekat, mata Mentari tidak terlalu memperhatikan adiknya yang sedang menjilat es krimnya dengan nikmat, melainkan pada seseorang di sampingnya yang berdiri membelakangi, berbicara pada petugas kasir. Apakah itu Bima?
Ternyata memang dia!
Bima membalikkan tubuhnya, kedua tangannya menggenggam dua cone es krim berwarna coklat dan putih. Matanya mengenali sosok Mentari, membuatnya tersenyum lebar. “Hai! Ini buat kamu.”
Bima mengulurkan es krim rasa coklat. Mentari menerimanya dengan heran. Dari mana dia tahu aku suka coklat? hatinya bertanya-tanya. Pasti dari Wulan, simpulnya.
“Aku melihat kamu masuk ke dalam lift di lantai satu,” Bima memberitahu.
Terjawablah teka-teki itu. Ternyata Bima yang memanggil namanya tadi.
“Mari kita mencari meja,” ajaknya sambil melangkah.
Suatu hal yang mustahil di situasi saat ini, karena setiap meja sudah terisi semua, bahkan ada yang berdiri untuk menunggui meja yang kosong. Namun mereka masih beruntung kali ini, sekelompok remaja meninggalkan meja persis di samping ketiganya berdiri. Dengan gesit Bima menempati salah satu kursi, disusul oleh Mentari dan Wulan.
“Ketemu Wulan di mana?” Mentari memalingkan kepalanya kepada Bima.
“Di lift lantai tiga.”
“Kamu ke sini sama siapa?”
“Dennis dan Gilang. Tapi mereka sedang main di Timezone.”
“Kenapa kamu tidak ikut?”
Bima menggeleng. “Aku tidak terlalu suka arena permainan. Bising, penuh dengan anak-anak yang menangis karena kalah bermain, ataupun merengek-rengek minta dibelikan koin. Musiknya pun terlalu hingar-bingar.”
Mentari dan Wulan mengangguk, menyetujui pendapatnya.
“Jadi, pada intinya, kalian bertiga berangkat bersama ke mal ini, tapi berpisah di dalam mal? Apa enaknya jalan sendirian?” tanya Wulan.
“Enak juga, karena bertemu dengan kalian di sini, jadi aku tidak sendirian lagi,” jawab Bima sambil mengedipkan sebelah mata.
“Benar juga. Untung kamu ketemu kami.”
“Aku lebih suka makan.” Bima mengedarkan pandangan ke sekeliling, menikmati setiap aroma yang menguar dari masing-masing kedai.
“Waah, sama seperti Wulan.” Karena Bima menyebutkan makan, Mentari jadi teringat adiknya. “Sudah jajan apa saja, Lan?”
Memerah wajah Wulan. Diam-diam ia mengutuki kakaknya. Ia tak ingin Bima mengetahui kebiasaan makannya yang rakus. Barbar, kata Mentari jika ingin meledeknya.
“Baru es krim ini, itu pun ditraktir Mas Bima.”
“Oke, kalau begitu, ayo kita pesan makanan yang banyak. Aku kelaparan waktu keluar dari lift, langsung mencium aroma makanan dari sini.”
“Mmm, aku mau somay,” sahut Wulan.
“Aku juga mau somay,” Bima menimpali.
Mendengar kata somay, terbit air liur Mentari. Ia pun memutuskan memesan makanan yang sama. “Sehabis somay, mau pesan apa lagi, Lan?”
Wulan mendelikkan matanya, menyuruh kakaknya diam. Kemudian ia melirik Bima, berharap ia tidak terlalu memperhatikan ucapan kakaknya. Nasibnya sedang sial, karena ternyata lelaki itu mendengarnya dan berkomentar, “Kamu hobi makan juga rupanya. Aku pun begitu. Seporsi somay tidak akan cukup.”
“Oh, kalau aku cukup,” sanggah Wulan cepat-cepat.”Kakak, aku pesan somay saja.”
Seakan tidak mempercayai pendengarannya Mentari melihat lagi ke arah Wulan, untuk memastikan perkataannya yang dirasanya ajaib. Benarkah Wulan yang berkata barusan? Sepiring somay tak pernah cukup bagi dia, itu hanyalah hidangan pembuka. Biasanya akan menyusul sepiring nasi padang atau nasi goreng sebagai hidangan utama, serta aneka kue-kue manis dan es buah sebagai hidangan penutup.
Wulan balas memandangnya dengan penuh kesungguhan, seakan hendak meyakinkan kakaknya bahwa ia serius dengan apa yang ia katakan.
“Okelah.” Mentari mengedikkan bahu. “Aku saja yang memesan, kalian tetap di sini untuk menjaga meja kita agar tidak diserobot orang.”
Dia berjalan menuju gerai yang menjual somay, memesan tiga porsi besar. Gerai itu menjual menu-menu lain, Mentari tertarik pada batagor kuah, dan memesannya juga. Di sebelah gerai terdapat kedai es teler, ia pun memesan tiga gelas.
Mentari membayar semua pesanannya, lalu kembali ke meja mereka. Bima dan Wulan terlibat pembicaraan yang seru, bahkan mereka tidak menoleh ke arahnya saat ia menarik kursi dan duduk di samping Wulan.
Sedikit perasaan cemburu meracuni pikirannya. Padahal aku yang duluan mengenal Bima, begitu kata hatinya. Stop, berhenti berburuk sangka, tegur suara hati yang lain, apalagi terhadap adikmu sendiri.
Betul juga, pikir Mentari dengan malu, jangan sampai gara-gara seorang pria persaudaraan menjadi rusak.
Demi menarik perhatian keduanya, sengaja ia menjatuhkan tasnya dengan cara menyenggolnya tanpa kentara, menimbulkan suara berdebam. Usahanya berhasil, kini ia mendapatkan perhatian penuh, bukan saja dari keduanya, melainkan juga dari meja-meja lain di sekitarnya.
“Apa itu?” Bima bertanya cemas.
Mentari menunduk untuk meraih tasnya dari lantai dengan kikuk. “Bukan apa-apa, hanya tas yang jatuh.” Ia menyengir lebar.
Keduanya menghela napas lega.
“Tasnya tidak apa-apa?” tanya Wulan dengan gaya kocak.
Mentari mendelik padanya, pura-pura marah. “Kenapa yang kamu cemaskan tasnya, bukan kakakmu?”
“Hihi... Maaf.”
“Ha ha!” Bima tak bisa menahan tawa menyaksikan perdebatan kakak-adik itu, yang ikut pula tertawa tak lama kemudian.
Pesanan Mentari datang secara serentak. Tiga orang pramusaji berduyun-duyun mendekati meja mereka dan meletakkan semuanya ke atas meja, membuatnya penuh sesak.
Bima dan Wulan terbengong-bengong.
“Mbak, tunggu sebentar,” Wulan menyela. “Ini pasti salah meja. Kami tidak memesan sebanyak ini.”
“Tenang saja, aku yang memesan ini semua,” sahut Mentari.
Wajah Wulan bersinar memandangi semua hidangan itu. Matanya memancarkan sorot kelaparan.
“Kamu yang membayar semua ini?” Bima bertanya khawatir.
“Iya.”
“Aduh, kenapa kamu bayar semua? Aku merasa tidak enak.”
“Kenapa tidak?” Mentari balas memandangnya dengan berseri-seri.
Bagi Bima, membayar makanan adalah tugas seorang lelaki.
“Ya, kenapa tidak?” Wulan meraih semangkuk batagor berkuah yang mengepulkan asap wangi rempah khas. “Kakakku ini orang yang dermawan, apalagi sehabis gajian.”
Bima hanya tersenyum dengan perasaan masih tidak enak.
“Tidak usah merasa tak enak begitu, Bim,” tegur Mentari.
“Ya, kalau tidak enak, berikan saja ke kucing,” timpal Wulan yang sekarang sibuk dengan santapannya. Sepertinya dia sudah melupakan rasa gengsinya di hadapan Bima, membuat Mentari tidak tahan untuk tidak meledeknya.
“Wulan, bukannya tadi kamu bilang hanya mau makan somay?”
Wulan yang sudah akan menyuap sepotong besar batagor ke mulutnya mendadak berhenti untuk menjawab, “Aku bilang hanya mau pesan somay. Aku tidak pernah mengatakan hanya mau makan somay, jadi kalau ada batagor, aku mau saja. Lagipula, semua ini menggoda mata, terlalu sayang kalau tidak dihabiskan.”
Mentari mengelus kepala adiknya dengan sayang. Suatu pemandangan yang mengharukan di mata Bima.
“Eh, ayo dimakan.” Mentari mempersilahkan Bima.
“Terima kasih.”
Sambil menikmati hidangan mereka mengobrol santai. Beberapa kali Bima beranjak dari kursinya. Saat kembali ia membawa tiga botol air mineral dingin. Kali berikutnya ia menenteng bungkusan crepes dengan toping buah-buahan.
Terakhir kali Wulan yang beranjak dan kembali dengan tiga bungkus kebab shawarma.
“Wulan, kita sudah makan begitu banyak. Kenapa masih jajan lagi?” Mentari menegurnya.
“Aku masih sanggup makan satu lagi,” jawab Wulan enteng.
“Aku juga,” sahut Bima.
Mentari hanya bisa geleng-geleng. Perut karet, ucapnya dalam hati. “Ini aku bawa pulang saja. Perutku nyaris meledak rasanya saat ini.”
Dua jam mereka habiskan untuk makan. Bima teringat akan kedua temannya. Ia mengajak Mentari dan Wulan untuk menemui mereka di Timezone.
Di perjalanan, mereka bertemu dengan Dennis dan Gilang. Bima memperkenalkan keduanya kepada Wulan. Wulan yang cantik dan lincah langsung menarik perhatian Gilang. Segera saja ia berpindah ke samping Wulan untuk mengajaknya mengobrol.
Wulan yang merasa cocok dengan Gilang langsung saja terlibat percakapan yang seru dengannya, tidak mengacuhkan tiga orang lain yang bersamanya. Mentari membagi perhatiannya antara Bima dan Dennis. Kedua lelaki itu berbicara kepadanya dengan sorot mata yang sama-sama hangat.
Wulan bisa merasakan pandangan sembunyi-sembunyi Dennis kepadanya. Saat ia memergokinya, laki-laki itu tertunduk kikuk. Apa Dennis naksir padaku, tanya hatinya.
Wulan yang telah dimonopoli oleh Gilang sesekali mencuri pandang ke arah Bima, yang matanya berbinar setiap kali melihat kakaknya berbicara.
Bukannya Bima tidak menyadari pandangan Wulan yang mencuri-curi itu. Namun ia tak ingin memikirkan apapun. Mata dan pikirannya terfokus pada wajah manis bermata bulat dan beralis tebal di sampingnya. Mentari sangat menarik hatinya.
Suatu saat Mentari tersenggol oleh seorang laki-laki setengah baya yang berjalan tergesa-gesa dari arah depan. Tubuhnya oleng, nyaris jatuh ke lantai, yang untungnya berhasil ditangkap oleh Dennis. Wulan langsung menghampiri kakaknya dan memeluk pinggangnya.
“Hey! Hati-hati, Pak!” Bima berteriak marah. Namun laki-laki itu seperti tidak mendengar, terus saja berjalan menjauh.
Melihat gelagat Bima yang hendak mengejarnya, serta-merta Mentari meraih pergelangan tangan lelaki itu. “Sudahlah Bim, mungkin dia ada urusan darurat. Kita maklumi saja.”
“Tapi seharusnya dia sadar sudah menabrak seseorang hingga nyaris jatuh,” tukas Dennis dengan emosi.
“Dia tidak sadar. Kalian lihat sendiri kan, dia tidak menoleh sama sekali.”
Sorot kemarahan perlahan memudar dari mata Bima. Dia memandang Mentari dengan penuh perhatian. “Kamu tidak apa-apa, kan?”
Mentari menggeleng dan tersenyum untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.
Ada dua pasang mata yang mengawasi adegan itu. Wulan dan Dennis.
“Ayo, kita pergi dari sini.” Gilang menepuk lembut punggung Mentari untuk mengajaknya berlalu dari situ, karena perhatian orang-orang mulai tertuju kepada mereka.
Waktu menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit saat mereka telah puas mengelilingi area pertokoan, tanpa membeli apapun. Mentari mengajak mereka menumpang di mobilnya.
“Honda kecil itu?” tanya Bima sangsi. Ia telah melihat mobil mungil itu terparkir di garasi Mentari saat berkunjung. “Aku tak tega menyakiti mobil imut itu dengan berat badan kami bertiga,” candanya.
“Haha, bukan. Wulan membawa mobilnya sendiri, muat untuk semua orang.”
“Aku bercanda. Tapi terima kasih atas ajakannya. Aku membawa mobil ke sini.”
“Oh, oke.” Wulan terlihat kecewa.
Mereka saling melambaikan tangan di basement, berpisah untuk menemukan mobil masing-masing.
Mentari menawarkan diri untuk menyetir. Ia melihat suasana hati adiknya sedang tidak baik.
Saat mengemudikan mobilnya di jalur tengah dengan tenang, sebuah mobil melintas dari sisi kanan, mendahuluinya. BMW seri terbaru berwarna hitam itu berisikan tiga orang lelaki, dan Mentari mengenali pengemudinya sebagai Bima.
Rupanya Wulan pun sempat melihatnya. Keduanya saling berpandangan.
Seingat Mentari, kemana-mana Bima selalu naik transportasi umum. Lelaki itu selalu berpenampilan bersahaja dan low profile. Dia tak pernah menyangka kendaraannya adalah mobil yang termasuk mewah di negeri ini, keluaran terbaru pula.
“Siapa sebenarnya Bima itu?” tanya Wulan.
“Aku juga tidak tahu. Dia jarang membicarakan kehidupan keluarganya,” jawab Mentari jujur. “Yang aku tahu, keluarganya tinggal di Bogor. Di sini dia menyewa rumah bersama Dennis dan Gilang.”
Suatu teka-teki atas diri Bima tertanam di benak kakak beradik itu.

Book Comment (482)

  • avatar
    Bang Engky

    ok.....

    2d

      0
  • avatar
    MarkataTata

    bagus dan aku suka jln ceritanya

    5d

      0
  • avatar
    SuhaeniEni

    sya suka cerita nya bagus2

    9d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters