logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Belum Tidur dengan Perempuan

Richard sedang membereskan berkas yang berserakan di meja kerja sewaktu Rainee, adik perempuan satu-satunya masuk ke dalam dengan wajah yang gusar.
“Ada apa lagi?” tanya Richard tanpa melihat wajah adiknya. Satu-satunya orang yang berani masuk tanpa mengetuk pintu ruang kerjanya hanyalah Rainee. Daddy dan mommy nya jika masuk masih mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Aku butuh uang,” ujarnya cemberut kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa warna hijau yang ada di sudut ruangan. Sudah satu bulan akses keuangan untuk Rainee di tutup, Robert Genhard me-non aktifkan semua kartu yang di miliki Rainee. Sekarang gadis itu di berikan jatah uang belanja secara langsung, semua itu membuat Rainee uring-uringan karena ia tidak biasa membawa uang dalam jumlah yang sangat banyak, ia terbiasa menggunakan kartu-kartu itu untuk berbelanja karena dengan kartu ia bisa berbelanja tanpa batas. Sedangkan dengan uang yang ada di dompetnya ia seperti belanja tetapi serasa ada yang menahan-nahan untuk tidak membelinya karena khawatir akan uang yang tidak cukup untuk membayar semua belanjaannya.
Rainee pernah mengalami kejadian yang memalukan di saat ia sedang makan malam di sebuah rumah makan Italy bersama teman-temannya. Di saat Rainee mau membayar, uangnya tidak cukup. Untung saja temannya ada yang mau menambahkan kekurangan nya, kalau tidak ia akan sangat malu.
“Daddy sudah memberimu uang cukup banyak minggu yang lalu, masa sudah habis saja?” ujar Richard tenang.
“Aku baru membeli tas untukku dan sepatu untuk Stephen.”
Richard membuang nafasnya dengan kasar, ia tidak suka mendengar nama laki-laki itu di sebut Rainee. Tidak hanya dia, daddy dan mommy mereka juga tidak menyukainya.
“Kau masih berhubungan dengannya?” Richard mengangkat kepala dan menatap tajam Rainee.
“Aku mencintainya, aku tidak mau berpisah dengan dirinya.”
“Astagaaa Rainee... apa kau tidak bisa membuka mata mu sedikit saja? Dia itu lelaki brengsek. Dia tidak baik untuk mu.”
“Stephen bukan seperti itu. Kalian saja yang tidak mau membuka mata dan melihat kebaikan Stephen. Aku mencintainya... ayolah... jangan paksa aku untuk meninggalkannya,” rengek Rainee.
“Rainee... percayalah kepada kami. Daddy dan mommy serta aku tidak mungkin melarang mu berhubungan dengannya kalau dia pria baik. Putuskan hubungan kalian, baru aku akan menambah uang belanjamu,” tegas Richard.
Richard terpaksa mengucapkan kata tersebut karena Rainee tidak pernah mau meninggalkan lelaki itu.
“Kau mengancam ku?” tanya Rainee lemah.
“Bukan mengancam. Tepatnya memerintah!” ujar Richard tegas.
“Apa bedanya? Ancaman atau perintah tujuan nya sama yakni meminta aku untuk meninggalkan Stephen.” Suara Rainee meninggi waktu mengucapkan kata tersebut. Hal itu membuat Richard menghentikan gerakan tangannya yang sedang memasukkan berkas ke dalam sebuah map.
“Memang itu yang harus kau lakukan, meninggalkannya!” jawab richard dengan sorot mata tajam.
“Ayolah Richard... kau tidak pernah jatuh cinta karena itu kau tidak tau bagaimana rasanya berpisah dengan orang yang kau cintai.” Rainee mulai memasang raut memelas, melihat sorot mata Richard membuat Rainee harus memelankan suaranya.
Richard mendengkus, Rainee seringkali menyindirnya dengan mengatakan kata-kata tersebut.
“Jangan kau samakan anatara aku dengan dirimu,” elaknya.
Rainee berjalan mendekat, Richard masih sibuk dengan tumpukan berkas yang sedang ia baca. Gadis itu kemudian duduk di tangan kursi kerja Richard, kedua tangannya merangkul bahu Richard.
“Richard... jatuh cinta itu sangat indah. Cobalah kau sekali-kali melirik perempuan yang ada di sekeliling mu. Kau terlalu kaku hingga kau tidak pernah merasakan jatuh cinta. Jika kau sudah jatuh cinta maka kau tidak akan pernah mau melepaskannya, seperti apapun orang di sekeliling mu yang meminta kau untuk melepaskannya... kau tidak akan mau melakukan nya. Karena kau sedang jatuh cinta.”
“Kau tidak kenal aku, Rainee....”
“Aku mengenalmu dengan sangat baik, Richard. Kau kakakku satu-satunya, aku sangat mengenal mu.”
Rainee semakin mendekat, ia memijit bahu Richard untuk membujuk pria itu. Cara seperti ini sudah sering Rainee lakukan, supaya keinginan nya di loloskan Richard. Rainee benar-benar sedang membutuhkan uang. Ia sudah berjanji akan mengajak Stephen nonton dan setelah itu mereka akan makan malam di sebuah restaurant perancis.
“Richard...”
“Rainee... aku sedang banyak pekerjaan.”
“Aku tau... karena itu aku memijit mu. Kau pasti lelah.”
“Tapi kau akan melakukan pekerjaan yang sia-sia. Aku tidak akan pernah lagi menuruti keinginan mu selagi itu ada hubungannya dengan pria itu.”
“Richard....”
Richard memutar tubuhnya menghadap Rainee, posisi mereka sekarang berhadapan. Richard menatap tajam mata adiknya sementara Rainee juga melakukan hal yang sama. Dia tidak akan mengalah, dia harus berhasil meluluhkan hati Richard supaya kakaknya itu mau memberikannya tambahan uang belanja,
“Will never!” tegas Richard.
Wajah Rainee mendadak cemberut, rasa kesal tidak bisa ia sembunyikan. Gadis itu menarik tangannya dari tubuh Richard. Ia menggerutu dan kembali ke tempat duduknya semula, sofa hijau yang terletak di sudut ruangan.
Gadis itu mematung dan tidak melakukan apa-apa. Ia hanya menatap Richard yang masih serius bekerja. Menatap tanpa jeda dengan mimik wajah masih di buat marah.
“Apa lagi ini Rainee....”
Richard membuang nafasnya dengan kasar. Tatapan Rainee menganggu fokusnya yang sedang memeriksa laporan keuangan perusahaan.
“Aku tidak melakukan apa-apa,” ujar Rainee tanpa rasa bersalah.
“Tapi kau menatapku.”
“Tidak ada yang salah kan?”
Richard mendengkus, ia lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Rainee... tatapan mu menganggu kerja ku. Aku menjadi tidak fokus dan terganggu.”
Rainee tidak mengacuhkan keluhan Richard, ia tetap saja menatap kakaknya itu.
“Apa maumu?”
“Uang.” Rainee menjawab dengan cepat.
Richard bangkit dari duduknya, dengan malas ia menuju rak buku yang terletak di belakang kursi kerja Richard. Rainee cepat-cepat berdiri dan berlari mendekati kakaknya. Kemudian Richard segera berbalik dan menatap tajam adiknya.
“Oke... oke....” Rainee mundur beberapa langkah ke belakang dan kembali duduk di sofa.
Usai memastikan Rainee kembali duduk, Richard menggeser rak buku yang bersandar disana agak ke ke samping. Tangannya memencet deretan angka di pintu brangkas yang tertanam di dinding. Lalu ia mengeluarkan satu ikat uang dan memberikannya pada Rainee setelah memastikan brangkas tersebut terkunci dan memposisikan kembali rak buku ke tempat semula.
“Terima kasih.” Rainee bersorak riang. Ia memeluk Richard lalu memberikan ciuman di pipi kiri dan kanan pria itu.
“I love you, Brother,” ucapnya sambil menyambar tas miliknya di meja.
“Oh ya, malam minggu nanti aku tidak pulang ke rumah. Sehabis nonton dan makan malam mungkin aku akan menginap di apartemen Stephen,” ujarnya memberitahu.
“Apa?” Richard menautkan kedua alisnya.
“Aku menginap di apartemen Stephen. Kenapa reaksimu seperti itu? Jangan bilang di usiamu yang hampir tiga puluh ini kalau kau belum pernah tidur dengan perempuan.”
Gadis itu mengusap keningnya usai mengatakan kata tersebut, lalu pergi meninggalkan Richard yang masih ternganga akibat ucapan yang ia keluarkan.

Book Comment (116)

  • avatar
    Karina

    Lanjut lagi dong thor

    28/05/2022

      1
  • avatar
    YunitaPutri

    agus

    3h

      0
  • avatar
    ImutzKeysa

    aneh tapii bagus

    3d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters