logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 TAMAN ANGGREK

Secepat kilat Ros menyambar kunci yang terjatuh itu, berusaha tidak menimbulkan suara. Jantungnya makin berdegup saat kertas itu mulai ditarik oleh seseorang di balik pintu. Ros berjingkat, mengambil lakban besar di atas lemari. Diguntingnya lakban hitam itu beberapa senti, lalu ia menutup lubang kunci dengan cepat.
Dalam pikiran Ros, seseorang itu pasti akan kecewa saat tidak ada kunci yang ia dapatkan dan akan mengintip melalui lubang kunci. Yang Ros pikirkan sekarang, bagaimana jika seseorang itu memiliki kunci cadangan?
Ros menajamkan pendengarannya. Tak terdengar suara apapun di luar, jadi ia merasa sedikit tenang. Diambilnya botol minum dan meneguknya hingga seperempat botol. Ros meraih ponselnya, memutuskan untuk mengirim pesan pada Ian. Ia tak mungkin menelepon pemuda itu, saat dilihatnya jam dinding menunjukkan angka 3 dini hari.
Ros menceritakan sejujurnya apa yang ia alami baru saja, pada Ian. Tak butuh waktu lama, ada panggilan telepon dari Ian. Ros mengangkatnya, ia merendahkan suaranya supaya tak terdengar dari luar.
"Halo ..."
"Sasi, kau baik-baik saja?" tanya Ian. Suaranya sarat kekhawatiran.
"Aku nggak apa-apa ... tapi aku takut kejadian ini akan terulang lagi ...," bisik Ros lirih.
Ian tak segera menjawab. Sebaliknya, Ros justru mendengar umpatan kasar Ian di ujung sana. Ros tahu, umpatan itu bukan untuknya, tapi Ian jelas marah pada seseorang yang berusaha jahil padanya malam ini.
"Besok kita bicara lagi ...," ujar Ian.
"Iya ..."
"Apa kau sudah mengabari pacarmu?"
Ros terkesiap dengan pertanyaan Ian. Jujur saja ia malah tidak kepikiran akan mengabari Giri. Ros menggigit bibir dengan gelisah.
"Em ... aku ..."
"Kabari dia."
Sambungan terputus. Ros termangu. Sesaat kemudian, Ros memutuskan untuk kembali berbaring, mencoba tidur tapi matanya seakan tidak mau diajak kompromi.
Akhirnya ia mengambil lagi ponselnya, memutuskan untuk mengirim pesan singkat pada Giri.
{Bang, ada yang coba ganggu aku malam ini, mencongkel kunci kamar. Aku takut akan terulang lagi. Apa yang harus aku lakukan?} Send.
Ros menunggu, tapi hingga satu jam berikutnya dan adzan subuh mulai terdengar, masih belum ada balร san dari Giri. Maka Ros memutuskan untuk mandi dan bersiap pergi ke kampus meski ia harus berangkat jam 5 pagi. Di dapur ia bertemu dengan Bik Misna yang sedang menjerang air.
"Tumben, Cah Ayu, pagi-pagi sudah bangun. Mau dibikinkan nasi goreng?" tawar Bik Misna tersenyum.
"Iya Bik, aku mau ada acara di kampus. Harus berangkat pagi ...," Ros melenggang ke kamar mandi. Setelah ia selesai, balik ke kamar dan mengecek ponsel, ternyata masih belum ada balasan dari Giri. Ros kaget saat ponselnya berdering.
"Halo ..."
"Kamu mau berangkat jam berapa?" tanya suara serak di ujung sana.
"Habis ini mau berangkat. Aku nggak mau ketemu sama orang rumah," balas Ros.
"Aku jemput setengah jam lagi. Tunggu di depan."
Sambungan terputus. Ros menatap sejenak ponsel di tangannya. Sepagi ini Ian sudah meneleponnya. Apa pemuda itu hobi begadang atau bahkan nggak pernah tidur?
Ros tak punya waktu berpikir lama. Ia menyiapkan kebutuhannya hari itu, lalu bergegas menuju dapur.
"Bik, aku berangkat dulu ya?" pamit Ros. Ya, Ros menganggap Bik Misna seperti ibunya sendiri.
"Bawa ini. Jangan telat makan, nanti kamu sakit," Bik Misna mengulurkan tas bekal yang terletak di atas konter dapur.
"Terima kasih, Bik ...," Ros mencium punggung tangan Bik Misna.
"Hati-hati di jalan ya?"
"Siap."
Ros melewati kamarnya lagi, mengecek apakah ia sudah mengunci pintu kamarnya dan meyakinkan diri bahwa ia sudah menyimpan kunci kamar dalam tas. Kemudian ia menuju pintu depan, keluar melewati halaman luas dan menemukan pak satpam sedang duduk sambil mengisap rokok.
"Loh, Neng Ros ... pagi sekali, " Pak Yono bergegas membuka pintu gerbang.
"Iya pak, ada kegiatan di kampus, " jawab Ros singkat.
"Sudah pesan taksi?"
"Tidak pak. Dijemput sama teman ..."
Baru saja Ros selesai bicara, terdengar suara vespa berhenti di dekat mereka.
"Pagi, pak ...," sapa Ian. "Saya menjemput Nona ..."
"Oh iya, Mas. Silakan. Hati-hati di jalan ..."
"Pergi dulu, pak Yono," Ros memakai helm berwarna biru muda yang diulurkan Ian, lalu naik ke boncengan vespa.
Pak Yono melambaikan tangannya, dan Ian menganggukkan kepala. Sesaat kemudian, vespa itu sudah meluncur di jalan raya yang masih sepi.
Ros menepuk punggung Ian. Pemuda itu menoleh sedikit.
"Berhenti dulu di taman Anggrek ya?" seru Ros. Ian mengangguk.
Sepuluh menit kemudian keduanya sudah duduk di bangku kayu, di taman Anggrek yang pagi itu nampak luar biasa pemandangannya. Ada telaga buatan di tengah taman, diantara bunga-bunga anggrek yang mekar.
"Mau ngapain kita di sini? Lihat bunga?" Ian mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Pemuda itu melirik sekilas arlojinya. Pukul 6 pagi.
"Enggak. Aku mau ngajak kamu sarapan ...," Ros membuka tas bekal dari Bik Misna. Isinya sekotak nasi goreng yang masih hangat dan setermos kecil coklat.
"Aku dibawain Bik Misna bekal. Karena kabur pagi-pagi dari rumah, kupikir kamu juga belum sarapan ..."
Ian terkekeh. "Kabur? Kedengarannya kabur berdua lebih bagus ..."
Ros menyendok nasi gorengnya. Hemm ... enak.
"Kamu mau?" Ros menyorongkan sendok ke mulut Ian. Spontan pemuda itu membuka mulutnya, menerima suapan nasi goreng dari Ros.
"Rasanya enak ...," Ian mematikan rokoknya. "Nggak ada yang pernah menyuapi aku makan, kau tahu?"
Ros berdecak. "Jangan bikin aku malu."
Tawa Ian makin keras. "Memangnya kamu bisa malu?"
Ros melirik sewot. "Jangan bawel! Ayo makan lagi ..."
"Kau sudah mengabari pacarmu soal kejadian semalam?"
"Sudah ..."
"Tapi belum ada balasan?" tanya Ian telak.
Ros menunduk. "Belum."
"Telpon saja. Kemungkinan jam segini dia belum berangkat kerja kan?"
Menuruti saran Ian, Ros meraih ponselnya. Kotak makan ia letakkan begitu saja di tangan pemuda di sampingnya. Ditekannya nomor Giri dan menunggu sesaat.
"Halo, Abang ..."
"............."
"Iya nggak apa-apa ... apa? Nggak, aku baik-baik saja ..."
"............."
"Iya, aku ngerti ... tapi ..."
"............."
"Ya sudah, hati-hati di jalan ..."
Ros menutup sambungan ponselnya. Gadis itu termangu, melamun memikirkan percakapannya dengan Giri.
"Ada yang salah?" usik Ian.
"Dia bilang, sudah membaca pesanku tapi karena sedang sibuk mau berangkat kerja, jadi belum sempat membalas. Nanti sepulang kerja dia mau ngajak aku ketemuan di Pacific, sekalian makan malam, juga untuk membahas kejadian tadi malam ..."
"Ya sudah. Tunggu saja ..."
Ros masih melamun. Tak seperti biasanya sikap Giri seperti ini. Ros terus meyakinkan diri bahwa laki-laki itu sedang sibuk bekerja. Ros ingat beberapa minggu yang lalu Giri pernah cerita bahwa ia mendapat promosi kenaikan jabatan menjadi General Manager di kantornya.
Sebuah sendok berisi nasi goreng berada di depan mulutnya. Ros tersadar dan mata polosnya menatap Ian.
"Ayo makan dulu ..."
Ros tersenyum sedikit, lalu membuka mulutnya. Ian ikut tersenyum melihat Ros.
"Tapi Ian, darimana kamu tahu kalau aku akan diganggu seperti tadi malam? Rasanya aneh saja, aku ketemu kamu di katering, terus nganter pulang dan mengingatkan aku untuk hati-hati. Apakah semua ini cuma kebetulan?"
Ian mengangguk. "Ingatkah kamu, kalau kamu bilang di rumah itu hanya menumpang? Artinya ada orang lain yang tinggal sama kamu dan siapapun itu, kamu harus tetap waspada."
Ros mengangguk paham, mengerti alasan Ian. Sementara pemuda itu diam-diam tersenyum getir.
Setengah jam kemudian, mereka sampai di kampus Ros. Waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi, namun suasana kampus mulai ramai.
"Terima kasih ya Ian ...," Ros mengulurkan helm pada Ian. "Ini helm baru?"
Ian mengangguk. "Ya, khusus buat kamu."
"Maksudnya?"
Ian mengangkat bahunya. "Siapa tahu kamu butuh ojek. Ya sudah, sana masuk kelas. Aku pergi dulu."
Ros memegang lengan Ian. "Apakah ..."
Ian menatap Ros yang sedang memegangi lengannya. Ros menurunkan tangannya dan menunduk.
"Ada apa?"
"Apakah ... aku bisa ketemu kamu lagi?" Ros mengangkat wajahnya. Semburat merah menjalar di pipinya yang halus.
Ian tertawa. "Kamu lupa ya? Kan kita bekerja di katering yang sama ..."
Waduh iya ... Ros lupa. Parasnya kian memerah karena malu.
"Pesan nggak dibales sama pacar saja, sudah bikin kamu oleng. Ya sudah, aku pergi dulu," Ian membelokkan vespanya dan pergi dari situ.
Bukan karena Giri, Ian ... tapi nggak ketemu kamu walau sesaat yang rasanya bikin aku oleng, gumam Ros dalam hati. Jujur saja, gadis itu pun tak tahu kenapa ia bisa seperti ini.

Book Comment (167)

  • avatar
    Diansw50

    novelnya bagus sat set and happy end. trims author., Krn bacaan mu yg tak membosankan telah menemaniku sepanjang hari๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜๐Ÿ˜˜

    26d

    ย ย 0
  • avatar
    SusantiSiti

    aku

    28d

    ย ย 0
  • avatar
    RaniaZahra

    bagus

    28d

    ย ย 0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters