logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Lima

"Kau pasti sengaja, bukan? Ingin mengambil kesempatan dan ingin membuat aku dipermalukan," tukas Vania sambil menatap tajam pada Kyle yang duduk di sampingnya. Ronan yang tengah mengemudi melirik sekilas pada keduanya melalui kaca spion depan.
"Seharusnya aku yang mengatakan hal itu, bukankah tadi kau yang memelukku lebih dulu?" sahut Kyle.
"Aku tidak sengaja melakukannya. Aku hanya sangat ketakutan tadi."
"Jadi kau akan memeluk siapa pun di dekatmu jika ketakutan?"
"Kau ... sudahlah, aku malas bicara denganmu," ucap Vania sambil mengibaskan tangan dan melihat ke arah luar jendela. Kyle melihat pada gadis itu sambil tersenyum.
***
Rumah berdinding putih dan berukuran besar tersebut bagaikan kastil kuno yang ada di buku dongeng. Sewaktu kecil, Vania sangat menyukai dan mengagumi kastil-kastil yang ia lihat di buku-buku kesukaannya tersebut. Belum lagi halaman yang terbentang luas dan pohon-pohon rindang yang tumbuh di sana, semua membuat rumah itu bagaikan istana di tengah hutan.
"Selamat datang di rumahku," ucap Kyle yang berdiri di samping Vania.
"Ini benar-benar rumahmu?" tanya gadis itu dengan nada tidak percaya.
"Kenapa? Apakah rumah ini terlalu biasa untuk seorang pemilik perusahaan?"
"Bukan seperti itu. Hanya saja ...." Vania menghentikan kata-katanya. Ia membayangkan bahwa sosok Kyle tinggal di apartemen mewah atau rumah dengan nuansa modern, bukan rumah bergaya kastil kuno seperti di hadapannya kini.
"Aku menyukai ketenangan, jadi tempat ini tepat bagiku, Cio juga suka tinggal di sini. Kau juga pasti akan menyukainya."
"Apa hubungannya denganku?" sahut Vania sambil menatap pria itu.
"Tentu saja ada. Mungkin saja nanti kau akan menjadi nyonya dari rumah ini."
Vania menggeleng. Ia kemudian melangkah bergegas tanpa lagi peduli pada Kyle. Pintu rumah dibuka dari dalam. Sosok Cio berlari dan menghambur memeluk Vania.
"Mom, I miss you very much," ucapnya.
"Cio, kalau kamu menginginkannya, minta saja agar ibumu tidak pergi lagi." Ucapan Kyle tersebut membuat Vania menoleh padanya sambil melotot. Namun pria itu hanya tersenyum tanpa memperlihatkan rasa bersalah.
***
Vania duduk di samping tempat tidur Cio. Ada beberapa boneka, mobil serta robot mainan di sana. Bocah lelaki tersebut terlelap setelah lelah bermain ditemani Vania. Tangan kanannya memegang erat tangan gadis itu. Sebelum tidur, ia sempat berkata bahwa tidak mau Vania pergi. Mungkin karena itulah ia tidak mau melepas tangan Vania meski telah tidur.
"Kau pasti lelah," tegur Kyle yang berdiri di ambang pintu. Vania hanya menggeleng saja.
"Lepaskan saja tangannya, jika sudah tidur, Cio tidak mudah untuk terbangun."
Vania terdiam sejenak. Perlahan ia melonggarkan genggaman tangan Cio. Bocah lelaki itu ternyata memang tidak bangun. Vania menarik tangannya dan bangkit berdiri. Ia melihat bahwa Cio masih tetap tidur.
Vania melihat jam tangan yang melingkar pada pergelangannya dan hari telah sore.
"Kalau begitu, sebaiknya aku pulang sekarang," pamit Vania.
"Jangan pulang dulu. Sebaiknya kau makan malam di sini. Aku akan mengantarmu pulang nanti."
"Aku ...."
"Jangan menolak. Aku melakukan ini karena kau selalu mau membantu untuk mengurus Cio. Ini adalah caraku membalas kebaikanmu itu."
Vania diam sejenak dan kemudian mengangguk.
***
Aneka macam makanan mewah telah tersaji di depan Vania. Gadis itu menjadi ragu. Hidangan itu bagaikan hidangan pesta. Namun saat hanya ada dia dan Kyle di sana. Kyle mengangkat gelas tinggi di tangan dan mengajak Vania untuk bersulang. Vania segera melakukannya. Tangan dia sedikit gemetar. Kebersamaan dirinya dan Kyle saat ini membuat ia merasa seperti sedang berkencan dengan pria itu.
'Sadarlah, Vania,' tegur suara hatinya.
'Jangan dibingungkan oleh perasaanmu. Kau tidak menyukai dia, dia pria angkuh dan suka memaksa, bahkan mengancam untuk mencapai tujuannya, tidak mungkin kau jatuh hati padanya di saat yang sama.'
"Aku sudah selesai makan," ucap Kyle sambil beranjak berdiri. Vania tertegun bingung. Pria itu mungkin hanya makan dua atau tiga sendok saja.
'Apa dia sedang diet atau cara makan orang kaya memang seperti itu?'
"Aku permisi dulu. Kau habiskan saja makanannya atau kau bisa meminta pelayan untuk membungkusnya agar bisa dibawa pulang," ucap Kyle yang kemudian melangkah pergi dengan sedikit tergesa. Vania hanya melihat saja kepergian pria itu.
'Dia meninggalkanku begitu saja?'
***
Malam telah menjadi sedikit larut saat Kyle kembali menemui Vania. Semula Vania hendak mengomel pada pria tersebut, tetapi ia mengurungkan niat saat melihat wajah Kyle yang pucat.
"Aku minta maaf, ada yang harus kulakukan, aku bisa mengantarmu pulang sekarang," ucap Kyle. Namun Vania menggeleng.
"Kau terlihat sakit, aku pulang dengan taksi saja."
Kini Kyle yang menggeleng.
"Tidak bisa, kau adalah orangku, aku harus mengantarmu pulang."
"Tapi jika seperti ini, aku malah cemas."
"Aku baik-baik saja."
Vania melihat Kyle untuk beberapa saat, tetapi tetap saja menggeleng.
"Aku ingin pulang dengan selamat. Melihatmu seperti ini, kita berdua mungkin akan celaka jika kau tetap mengantarku."
"Kalau begitu, aku akan menyuruh Ronan."
"Tidak perlu, ini sudah malam, aku pulang dengan taksi saja."
"Kau hanya punya dua pilihan. Ronan mengantarmu atau kau menginap di sini."
"Kau ini ...."
"Seperti yang kaukatakan, aku sedang sakit. Apa kau masih mau berdebat denganku?"
***
Mobil sedan hitam tersebut berhenti di depan rumah Vania. Vania akhirnya mengalah dan membiarkan Ronan mengantar. Namun tidak hanya Ronan, Kyle juga ikut mengantar dia. Meski Vania semula tidak setuju, tetapi pria itu tetap memaksa.
Vania segera keluar dari mobil setelah mengucap terima kasih. Meski begitu, gadis itu tidak segera masuk. Ia malah mengetuk kaca jendela tempat Kyle tengah duduk. Segera Kyle menurunkan jendela. Vania membungkuk untuk bicara pada pria itu.
"Aku telah merepotkanmu. Kau harus pulang dan segera istirahat. Minum obat dan jangan bekerja lagi. Kerjakan saja saat kau sudah benar-benar sehat."
Kyle tersenyum dan mengangguk.
"Ok, Mom," ucapnya sambil memberi salut dengan jari telunjuk dan jari tengah di ujung kening.
Vania tidak menanggapi. Ia kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Tidak lama terdengar suara mesin mobil menderu pergi. Vania menyibak tirai jendela dan melihat ke luar.
'Kenapa aku jadi mencemaskan dia? Tidak mungkin juga kalau aku langsung jatuh hati padanya. Aku hanya merasa suka melihatnya karena dia tampan dan menarik. Tidak ada hal lain. Setiap wanita normal pasti suka melihat pria tampan, tapi tidak berarti ia jatuh cinta pada mereka, bukan?'
Dalam perjalanan pulang, Kyle memejamkan mata sedang Ronan terus mengemudi. Sesekali ia melihat ke arah Kyle yang duduk di belakang melalui spion.
"Apa Anda baik-baik saja, Tuan?" tanyanya.
"Tentu saja. Ini tidak sebanding dengan bisa berada dekat dengannya."






Book Comment (160)

  • avatar
    91Eycha

    cerita yg menyentuh hati dan perasaan.tidak bosan untuk di baca

    02/07

      0
  • avatar
    BasukiDeni Irawati

    seru ! menarik !

    23/05

      0
  • avatar
    QueenWitchy

    sukses bikin emosi pembaca naik turun.

    16/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters