logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 KEJUTAN

Diwanga hanya tersenyum kecil, dengan tatapan tajam memandang Diva. Diva terlihat kaku dengan lelucon itu, ia sedikit tertunduk, seolah tidak memperhatikan Diwanga yang sedang menatapnya. Sementara para relasinya asyik tertawa dengan renyah.  Beberapa saat, kemudian acara itu telah usai, satu persatu semua berpamitan.
"Apa kau menyukai acara itu?" tanya Diwanga sambil menyetir.
"Ya! Memang semestinya, semuanya harus bisa terbantu, dengan apa yang kau punya," balas Diva.
"Ya! Ini acara rutin yang sering aku lakukan. Masih banyak hal lain, yang belum kau ketahui," tegas Diwanga.
"Aku harap, ini sebuah proses untuk kemajuanmu, agar tidak terlibat  dari jeratan hukum," tegas Diva.
"Apa aku terlihat sebagai seorang kriminal?"
Diva pun tersenyum renyah saat pertanyaan itu melesat di telinganya.
"Apa pertanyaanku cukup konyol?" tanya Diwanga kembali memastikan.
"Wajahmu lebih mirip seorang playboy, dibanding krimal," ujar Diva, tersenyum, menutup bibirnya dengan telapak tangan.
"Oia? Tapi, aku tidak merasa seperti itu," ujar Diwanga dengan senyum.
"Aku pun berharap, kau jauh dari itu,"   balas Diva, memandang Diwanga, seolah mengharap sesuatu yang tersembunyi.
"Mungkin, harapanmu akan terkabul," tegas Diwanga, yang masih berkonsentrasi menatap jalan.
Tiba-tiba Diva terhenyak. Jawaban itu, seakan sebuah kode yang memberi sinyal pada harapan Diva. Diva tersenyum-senyum, seakan dibuat terbang dengan jawaban kecil itu. Wajah tampan dan berkarisma, telah menyihir mata Diva. Kekaguman itu, semakin terasa tumbuh di hati Diva. Suasana kini sunyi. Kekaguman itu, tampak membungkam bibir Diva. Hati itu terasa banyak dijejali perasaan yang masih mengusik tak menentu. Laju mobil cukup lumayan santai. Tangan itu, mencoba untuk memutar sebuah lagu. Diwanga mulai, menekan tombol lagu dalam mobilnya.
"Apa kau suka lagu ini?" tanya Diwanga.
"Oh ...! Iya! Aku cukup menyukainya," jawab Diva dengan kaget.
"Kau baru saja bangun dari lamunanmu. Apa yang kau pikirkan?"
"Oh tidak! Mungkin aku hanya ..., sedikit lelah saja," balasnya sedikit gugup.
Diwanga hanya memberi sedikit senyum atas jawaban Diva. Mobil itu terus melaju menembus keramai kota,  hingga kini telah menepi di sebuah apartemen Diva. Mobil terhenti. Mereka tampak sedikit saling diam. Sunyi keadaan dalam mobil, tanpa suara lagu dan kata. Mereka saling memandang. Perlahan-lahan, seakan ada dorong dalam diri masing-masing mendekati satu sama lain. Dua pasang bibir mulai mendekat, mata terpejam. Dekat mendekat, jarak tiga puluh centi, mereka terhenti, oleh suara dering ponsel dari balik saku Diwanga. Spontan mereka kembali menjauh, duduk tegap di kursi masing-masing tak, kala Diwanga mengangkat sebuah panggilan dari balik ponselnya. Dua menit, Diva terdiam, mendengar Diwanga sedang bicara dari balik ponsel, dan itu berakhir.
"Apa kau akan singgah dulu?" tawarkan Diva.
"Mungkin lain kali. Aku masih harus segera balik ke kantor, ada hal yang harus aku urus," ujar Diwanga.
"Terima kasih atas undangannya," ujar Diva, sambil keluar dari mobil.
Diva berdiri, memberi lambai tangan, saat melepas Diwanga untuk pergi dari parkiran apartemen. Sejenak ia terdiam, saat Diwanga tidak dapat ia pandangi lagi. "Tid .. tid ... tid ...." Suara klakson mobil itu, membuyarkan lamunannya.
"Astaga! Maaf ... maaf," ujar Diva kembali sadar dari lamunannya.
Senyum kecil itu terus hinggap di dua bibir mungilnya. Duduk, memandangi bunga pemberian, yang tidak mungkin ia lupakan begitu saja. Sungguh hari itu telah cukup mengubah hidup Diva. Sosok wanita cerdas, berani dan cantik. Seolah harus luluh di hadapan sang jantan yang penuh pesona. Skandal perusahaan itu, seakan tidak begitu dihiraukan lagi oleh Diva. Diva mulai hanyut oleh perasaan yang  menjerat hatinya, masuk ke dalam kehidupan Diwanga. Satu hari setelah pertemuan itu, tepat di pagi hari. Bunyi bel apartemen mengusik telinga Diva. Dengan penuh harapan, ia sedikit berlari dan berharap, kalau itu Diwanga.
"Diwa ...," ujar Diva sedikit kaget, ketika membuka pintu.
Wajah itu langsung seketika berubah. Rudi yang mendengar sebuah nama itu, terasa merasa sedikit bersalah dan kaku, ketika yang Diva harap, bukan dirinya.
"Maaf! Aku datang terlalu pagi," ujar Rudi, dengan memaksakan tersenyum.
"Kamu Rud! Aku pikir ...?"
"Kau pikir aku Diwanga?" tegas Rudi, menatap tajam Diva.
"Maksud ..., maksud ..., ku! Bukan itu Rud. Mari masuk," ujar Diva, membuka pintu dengan lebar.
Rudi pun masuk seakan tidak terjadi apa-apa. Ia mencoba bersikap seperti halnya biasanya.
"Kau masih belum siap?" tanya Rudi, yang sudah duduk di sofa.
"Ia! Bentar lagi, soalnya tadi lagi di dapur. Tunggu sebentar ya, aku ganti baju dulu," ujar Diva berlalu dari hadapan Rudi.
Rudi tertunduk dengan wajah kecewa. Ia mulai merasakan, kalau Diva menyukai Diwanga. Hati yang patah, seakan ia kuatkan. Ia mencoba seolah tidak terjadi apa-apa di hadapan Diva. Namun ketika, Diva masuk dalam kamarnya, ia pun merasakan getir di hatinya. Wajah itu, diusapnya dengan dua telapak tangan.
"Apa ia sudah benar-benar jatuh cinta pada Diwanga?" gumam Rudi, dengan gelisah.
Sofa itu terasa tidak nyaman bagi Rudi. Tempat yang dulu bisa ia nikmati bersama Diva, kini harus terusik oleh nama yang masih asing di telinga Rudi. Namun, ia tidak mampu untuk bisa mencegah kenyataan. Perasaan yang terpendam, seolah tidak akan bisa terungkap dalam kenyataan. Dua puluh menit, Rudi menunggu, Diva pun telah selesai berpakaian. Kemeja putih panjang, dengan rok di bawa lutut, cukup membuat Rudi tercengang.
"Lama ya Rud?" tanya Diva.
Rudi masih tercengang melihat penampilan Diva  yang mulai berubah.
"Hey! Aku tanya malah bengong sih?"
"Ia ..., ia, sori-sori! Aku sedikit tidak konek," balasnya dengan gugup.
"Kamu kenapa sih, kaya baru pertama melihat aku saja?" tanya Diva, yang sudah duduk tepat di hadapan Rudi.
"Tidak apa-apa sih! Cuma mimpi apa aku semalam? Kamu berubah drastis begini sih?" tanya Rudi, sedikit heran.
"Emangnya aku tidak boleh berpenampilan seperti ini ya?"
"Bukan begitu maksudku! Kaukan tidak biasa berpenampilan seperti ini. Biasanya pake jeans kaos jaket, topi. Sekarang tiba-tiba jadi feminim gini?"
"Akukan perempuan Rudi. Mau bagaimana pun, sisi perempuanku pasti ada dong," balas Diva tersenyum kecil.
"Iya juga sih! Tapi ya, aku merasa aneh saja sih?" tegas Rudi.
"Ting tong ... ting tong ... ting tong ...." Bunyi bel rumah kembali terdengar.
"Sebentar ya Rud! Aku bukan pintu dulu."
Kaki itu mulai beranjak mendekati pintu. Tanpa berlama-lama, Diva langsung membuka pintu itu lebar-lebar. "Krek ..." Wajah itu seketika kaget dan tersipu malu, saat melihat senyum manis pria tampan yang ia harapkan. Sungguh Diva terkejut bukan main
"Pagi," ujar Diwanga, sambil membawa kotak kecil.

Book Comment (125)

  • avatar
    MaarijTazka

    cukup bagus dan sangat seru .good look..

    21d

      0
  • avatar
    PratamaRega

    keren sangan bagus

    26/08

      0
  • avatar
    Ayu kinantiSekar

    sangat cocok untuk kita

    25/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters