logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 KECEWA

Gelagat Diva semakin aneh. Pagi ini terasa sekali berbeda Rudi rasakan. Ia merasa kalau Diva sedang menyimpan sesuatu darinya. Mimik muka yang gelisah, tidak bisa menghindari dari dua mata Rudi. Wajah itu seakan menutupi sebuah rahasia, tapi sayang tidak terlalu sempurna untuk bisa lepas dari tatapan mata Rudi. Rudi cukup mengenal Diva dengan baik. Tapi, selama ini belum ada sinyal Diva, untuk bisa menangkap lebih dalam.
"Diva! Apa permintaanku cukup berat untukmu?" tanya Rudi, mencoba untuk memastikan.
"Em ..., em ..., tidak seperti itu maksudku Rudi! Aku ...," ujarnya ragu-ragu.
Obrolan itu terpotong seketika, saat bunyi ponsel Rudi berdering. "Kring .. kring ... kring ...."
"Sori! Aku angkat telepon dulu," potong Rudi.
Seketika Diva tidak melanjutkan lagi jawaban dari pertanyaan Rudi. Ia terdiam termangu, hanya bisa mendengarkan Rudi, yang sedang berbicara dibalik ponsel. Tiga menit, obrolan itu berakhir.
"Sori! Aku harus ke kantor dulu sekarang," ujar Rudi tergesa-gesa.
Tanpa sepatah kata yang terucap dari Diva, saat melepas kepergian Rudi, yang tampak tergesa-gesa. Ia berdiri mematung, seperti hilang kesadaran.
"Oia jangan lupa! Nanti aku jemput," teriak Rudi, dari balik pintu.
Diva menutup pintu dengan lesu. Ia menarik nafas perlahan-lahan dan mulai membayangkan Diwanga.
"Diwanga! Kau terlalu mempesona untuk bisa ku pandang," ujar Diva, tersenyum-senyum kegirangan.
Bunga yang diberikan Diwanga terus Diva pandangi. Ia cukup merasa nyaman diperlakukan seperti ini. Ia tersenyum-senyum lepas, setelah Rudi pergi. Kini sudah tidak cangung lagi untuk Diva mengekspresikan kesenangannya.
"Owh! Aku cukup terkesan dengan semua ini! Haah ..., sayangnya Rudi datang disaat yang tidak tepat. Jika saja ia tidak datang, mungkin aku sudah bisa jalan bersama Diwanga. Haah ...! Pagi yang kurang mendukung."
Diva menghempaskan tubuhnya dengan segala beban pikiran di atas sofa. Wajahnya mendongak menatap langit ruang apartemen. Namun sesekali ia tersenyum, tersipu malu, seakan ini baru pertama ia rasakan.
"Owh! Ada apa dengan diriku? Mengapa aku jadi seperti ini sih?" ujar Diva, berbunga-bunga, bercampur heran.
Dalam fikiran Rudi, cukup membuat ia mempertanyakan sikap Diva yang tidak biasa ia lakukan. Sepanjang jalan, Rudi dihantui dengan sikap yang cukup aneh dalam diri Diva.
"Ada apa dengan Diva? Apa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku? Selama ini, ia tidak seperti ini?" gumam Rudi sambil menyetir.
Setengah jam, ia melalui jalan yang penuh aktifitas. Kini Rudi telah sampai di kantornya. Dengan tergesa-gesa ia mulai berjalan menuju ruangan bosnya. Tiba-tiba, ia dihadang oleh salah satu, teman seprofesinya.
"Rudi tunggu."
"Iya kenapa?" sahut Rudi dengan polos.
"Apa kau mau ke ruangan Bos?"
"Iya! Ada apa emangnya?"
"Ini, aku hanya nitip pesan dari Bos! Katanya, kau di tugaskan untuk meliput acara amal." tegasnya dengan berat hati, memberi kabar.
"Loh, bukannya itu bukan tugasku?"
"Entahlah! Bos cuma bilang seperti itu. Katanya, untuk meliput berita yang di Surabaya sudah dilimpahkan ke orang lain. Jadi, kau kebagian meliput acara amal."
"Apa Bos ada di ruangannya?"
"Baru limas belas menit yang lalu ia pergi."
Wajah sedikit kecewa dirasakan Rudi. Peluang itu, hilang begitu saja. Tubuhnya menjadi lemas tidak bersemangat.
"Rudi! Kau harus sabar. Mungkin kau butuh waktu, untuk bisa meliput berita besar. Jadi, sabarlah. Lagi pula, Bos cukup menyukaimu," ujarnya teman sefropesinya memberi semangat.
"Terima kasih atas infonya," ujar Rudi, berlalu dengan langkah kecewa.
Ia kembali masuk ke ruangan tempat ia bekerja. Wajah diliputi rasa kecwa. Ia tidak habis pikir, kalau kesempatan itu, akan hilang begitu saja. Pada hal, ia ingin memperlihatkan prestasinya pada Diva. Namun sayang, itu sudah pupus. Ia melihat layar ponselnya. Ia masih ragu untuk bisa memberi tahu kabar itu. Dengan segala pertimbangan, ia pun memberanikan untuk menelepon Diva.
"Ya Rudi! Gimana jadi untuk meliput berita itu?" tanya Diva sambil menguyah apel.
"Sepertinya itu sudah diambil orang lain Diva," balas Rudi, dengan lemas.
"Loh ko bisa? Bukannya Bos sudah menugaskanmu ya?" tanya Diva dengan kaget.
"Entahlah! Mungkin aku tidak terlalu berkompeten tentang berita itu."
"Gimana sih si Bos ini? Ini harusnya terjadi padamu. Apa lagi ini berita yang besar. Masa si Bos tidak memberimu kesempatan?"
"Sudah dulu ya Diva! Aku mau menyiapkan diri, untuk peliputan berita lain," ujar Rudi sambil menutup ponselnya.
"Rudi ... Rudi ... Rudi ...," ujar Diva, memanggil dibalik ponselnya.
"Aduh ...! Ko langsung dimatiin sih. Jangan-jangan Rudi sangat kecewa?" ujar Diva, yang mulai berempati.
Ruang itu seakan sesak. Harapan, terasa jauh untuk bisa digapai. Kecewa itu terus bersarang di dadanya. Entah, alasan apa yang bisa menereima kejadian itu? Rudi tidak dapat mengelak kenyataan yang ada. Mau tidak mau, ia harus menerima sebuah keputusan sang bos, yang memutuskan harapannya.  "Kring ... kring ... kring ...." Dering ponsel mengusik telinga, menyadarkan lamunan Rudi.
"Ya halo," ujar Rudi.
"Apa kamu sudah berangkat?" tanya sang bos.
"Em ...! Belum Bos."
"Ya ampun Rudi! Aku pikir kau sudah berangkat! Emangnya tidak ada yang memberi tahu pesanku padamu?"
"Maaf Bos! Saya lagi siap-siap."
"Yasudah! Kau sekarang kesana meliput acara amal itu," tegas sang bos memberi perintah.
"Ia Bos! Saya segera kesana."
Dengan sangat lesu dan tidak terlalu bergairah, Rudi mulai mengemas alat yang ia butuhkan. Kamera yang selalu menemaninya, ia gantungkan dileher. Tas telah ia gendong. Ia berjalan keluar dari ruangannya dengan raut wajah yang penuh rasa kecewa dalam hatinya
"Kusut amat tuh wajah," ujar salah satu teman seprofesinya meledek Rudi.
"Apa sih?" balasnya, merasa risih dengan ledekkan yang membuatnya semakin jengkel.
Rudi terus berjalan keluar dari kantor. Ia masih terlihat sangat sukar untuk sebuah tugas ini. Rasa kecewa itu, seakan membuat dirinya, tidak bergairah untuk melakukan pekerjaannya.
"Sial! Mimpi apa aku semalam? Harusnya aku yang pergi ke Surabaya! Mengapa aku harus meliput berita yang tidak penting ini sih? Acara amal, hanya pencitraan saja. Haah ..., ini tidak bermutu," gerutu Rudi, sambil berdiri memandangi kantornya, di dekat mobil.
Cuaca semakin terasa terik. Pada hal, jam baru menunjukkan pukul 9:00. Tapi, pagi ini terasa sangat berbeda dirasakan Rudi. Ia mundar-mandir, seperti orang yang kebingungan di sekitaran mobilnya.
"Aduh ...! Sial! Haah ..., mengapa dan mengapa?" gerutu Rudi yang mulai merasa kecewa dengan keadaan.
Rudi seolah ingin mengutuk keadaan yang tidak berpihak padanya. Harapan itu, telah membuat ia hilang semangat. Ia menyenderkan tubuhnya, di depan muka mobil. Wajah menatap langit, satu tangan menutup wajah dengan telapak tangan.

Book Comment (125)

  • avatar
    MaarijTazka

    cukup bagus dan sangat seru .good look..

    21d

      0
  • avatar
    PratamaRega

    keren sangan bagus

    26/08

      0
  • avatar
    Ayu kinantiSekar

    sangat cocok untuk kita

    25/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters