logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 HAMPIR LUPA

Ia hanya bisa berdiri dengan sebuah kehampaan. Menatap Diva yang semakin menjauh dan menjauh dari pandangannya.  Sementara di luar sana kini, Diva memacu mobilnya dengan penuh kegirangan. Bertemu dengan Diwanga adalah sebuah mimpi bagi seorang jurnalis seperti Diva. Namun keberuntunganlah yang kini bisa mempertemukan Diva dengan sosok eksekutif muda penuh kharisma. Diwanga Artepa Wijaya (27 tahun) tinggi 180 cm. Kulit putih bersih, mata biru, rambut ikal pendek dengan hidung memancung. Mungkin itu sedikit gambaran bagi sosok pengusaha muda. Sementara Diva Astria Putri (24 tahun) tinggi 168 cm. Rambut lurus panjang mata sedikit sipit, dengan kulit kuning langsat, hidung seperti paruh burung. Wanita keturunan Manado Jawa ini, cukup meyakinkan dalam penampilannya. Tidak heran, jika Rudi jatuh hati pada sosok Diva ini. Selain cantik, ia cukup cerdas dan berani. Hal itulah yang memutuskan ia, untuk bisa mengungkap skandal gelap PT Angin Ribut. Setelah ia melewati setengah jam perjalanan, ia menepi di sebuah tempat parkir. Dengan langkah meyakinkan, ia berjalan penuh dengan keberanian. Berbalut kaos dengan jaket dan celana jeans, cukup simple bagi wanita yang berusia 24 tahun ini. Lain halnya dengan Diwanga yang sudah duduk mengenakan pakaian rapi dan serba wangi.
"Maaf! Saya sedikit terlambat," ujar Diva.
"Oia! Aku rasa kau hanya telat satu menit. Bagi kita, itu tidak terlambat," balas Diwanga, dengan senyum.
"Apa aku akan dibiarkan berdiri?" sindir Diva, dengan senyum.
"Owh ...! Sori, aku hampir lupa. Mari silahkan," ujar Diwanga memberi satu kursi dan tersenyum dengan mempesona.
Tempat duduk itu cukup untuk bisa memandang wajah seorang pengusaha muda yang terkenal itu. Tidak heran, jika Diwanga banyak digandrungi para wanita. Sosok eksekutif muda ini, cukup berkharisma, rapi dan sopan. Jadi, siapa wanita yang tidak luluh lantah pada dirinya?
"Ada perlu apa Tuan Diwanga mengundang saya ke sini?" tanya Diva, membuka obrolan itu.
Mata itu menatap dengan dua tangan di taruh di atas meja, jari-jari itu saling bertemu membuat satu gundukan tangan yang menyatu.
"Maaf ...! Apa Tuan Diwanga mendengar saya?" tanya Diva kembali mengulang dengan sedikit kaku.
"Oia! Aku mendengarmu! Aku hanya ingin mendengar suara lembutmu saja," balas Diwanga dengan senyum, tanpa merubah posisi sedikit pun.
Diva mulai terlihat malu dan gerogi dipandangi seperti itu. Apa lagi yang memandang adalah Diwanga, sosok pria yang berakharisma menarik.
"Mengapa kau seperti tidak nyaman?" tanya Diwanga masih dengan senyum.
"Oh ..., ini ..., ini ...! Hanya mungkin kita pertama kali bertemu saja," ujar Diva, dengan kaku.
"Kau tampak cukup cerdas! Jadi, janganlah perlihatkan kebodohan di depanku," ujar Diwangan menatap Diva.
Diva cukup tercengang dengan perkataan itu. Matanya terbelalak, sedikit menelan ludah.
"Mari silahkan," ujar sang pelayan datang tiba-tiba, menaruh dua gelas kopi di atas meja.
"Terima kasih," balas Diwanga dengan senyum.
"Apa ada yang bisa saya bantu lagi?"
"Diva! Apa kau membutuhkan sesuatu?"
"Oia! Em ..., tampaknya ini sudah cukup," balas Diva, sedikit gugup.
Pelayan itu berlalu. Tapi tidak dengan tatapan mata yang masih tertuju pada wajah Diva. Diva seakan tidak melihat  Diwanga, ia mencoba untuk tenang, dengan meminum secangkir kopi.
"Mengapa aku terlihat deg-degan seperti ini?" gumam Diva, mencoba untuk bisa mengontrol dirinya.
"Diva!"
"Iya! Kenapa?" balasnya sedikit kaget.
"Hey! Kenapa dengan dirimu Diva? Kau terlihat gugup dan tidak konsentrasi. Apa ada yang menganggu pikiranmu?" tanya Diwanga dengan tenang.
"Oh tidak! Mungkin aku hanya sedikit lelah," balasnya yang sudah mulai tenang.
"Apa kau yakin tentang berita yang kau muat itu?" tanya Diwanga yang mulai serius.
Diva sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia mulai duduk dengan tegap, dan tenang.
"Apa Tuan Diwanga merasa keberataan dengan berita yang saya muat?" tegas Diva, yang mulai menatap dengan tajam.
Tiba-tiba saja Diwanga tertawa dengan santainya. Seakan-akan ini hanya sebuah lelucon yang ia mainkan. Diva merasa heran dengan sikap Diwanga yang seketika berubah menjadi tenang dan santai, dengan tawa renyahnya.
"Maaf Tuan Diwanga! Apa ada yang salah dari perkataanku?"
"Oh tidak! Aku pikir kau cukup cerdas. Kau tahu dunia ini seperti apa? Dunia ini akan mati dan sunyi, jika tidak ada sebuah berita," balas Diwanga dengan enteng.
"Tentunya dunia ini butuh berita! Dan  pastinya, berita akan mengubah sebuah kelicikan yang tersembunyi, menjadi sebuah kebenaraan yang akan menghukum," tegas Diva dengan mimik wajah yang sangat serius.
Seketika Diwanga terhenyak mendengar penengasan itu. Tawa renyah itu hilang tertutup oleh penegasan yang baru saja hinggap di telinganya. Wajah itu tidak terlihat tenang.
"Apa sudah cukup bermain-mainnya Tuan Diwanga?"
"Permainan ini baru saja dimulai. Ini sebuah awal dari perkenalan. Ini masih bisa berlanjut Diva," tegas Diwanga dengan mimik wajah cukup suram.
"Baiklah! Jika sudah tidak ada hal yang lain. Saya akan permisi. Terima kasih atas undangannya," bisik Diva di telinga Diwanga, sambil pergi.
Diwanga tampak merasa kecewa dan marah, atas ulah Diva. Ia meremas-remas kedua tangannya, dengan wajah penuh amarah.
"Jadi kau ingin bermain-main denganku Diva! Lihat saja, aku akan membuatmu menyesal atas semua yang kau lakukan," gumam Diwanga yang masih tersulut amarah.
Pertemuan itu cukup membuat Diva terkesan dengan berani. Ia cukup puas bisa melalukan hal itu. Wajahnya seakan penuh keyakinan, kalau yang ia lakukan adalah yang terbaik. Pukul 20:15. Diva melakukan pertemuan disebuah tempat pinggiran bersama Rudi. Malam itu, mereka hanya sekedar menghilangkan penat.
"Apa yang kau dapat dari pertemuan itu?" tanya Rudi.
"Em ..., mungkin aku termasuk orang yang cukup beruntung bisa bertemu langsung dengan Diwanga," balasnya  tersenyum, sambil memegang satu botol kaleng guines.
"Emangnya aku tidak keren?" tanya Rudi, sedikit jeles.
"Apa kau yakin ingin dibandingkan dengan Diwanga?" tanya Diva, menahan tawa.
"Eh biar pun aku seperti ini. Aku tuh sangat berguna tahu. Apa lagi bagimu," tegas Rudi, yang mulai membanggkan diri.
"Cie yang merasa berguna! Terus, kau merasa paling keren gitu?" ledek Diva, sambil meneguk guines kaleng.
"Dari pada kau harus merasa bangga bertemu dengan si Diwanga yang korup itu. Aku masih mendinglah," ujar Rudi.
"Hehehe ...! Ko jadi tersingung gitu ya? Apa kamu merasa cemburu pada Diwanga?" ledek Diva, dengan senyum-senyum.
"Idih! Apaan sih kamu Diva?" tegas Rudi, sambil memalingkan wajahnya dari Diva.
"Ayo ngaku! Benar ngga nih?" ujar Diva, yang masih terus mengoda Rudi.
Tiba-tiba Rudi mencubit pipi Diva. Spontan, gelak canda itu terjadi. Saling kejar mengejar, cubit mencubit berlangsung ceria mereka rasakan.

Book Comment (125)

  • avatar
    MaarijTazka

    cukup bagus dan sangat seru .good look..

    21d

      0
  • avatar
    PratamaRega

    keren sangan bagus

    26/08

      0
  • avatar
    Ayu kinantiSekar

    sangat cocok untuk kita

    25/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters