logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 PERTEMUAN

Persiapan telah matang. Kini mereka sudah berada di sebuah hotel. Meski tidak satu hotel dengan targetnya, tapi hotel yang di tempati Diva, tidak jauh dari hotel yang disewa Wijaya. Diva menaiki lantai atas atap gedung hotel. Dengan persiapan kamera, mereka tengah menunggu pertemuan itu berlangsung. Angin cukup kencang di atas atap hotel yang cukup tinggi. Tapi tidak ada pilihan, selain di atap itu.
"Apa kau yakin tentang berita itu?"
"Sabarlah Rudi. Aku yakin, mereka akan datang."
Wajah harap-harap cemas bisa dirasakan oleh Rudi dan Diva. Dua puluh menit, sudah mereka menanti. Namun masih belum ada tanda-tanda keberadaannya. Keresahan itu mulai tampak pada wajah Diva, mereka seakan mulai kehilangan harapan. Waktu terus berjalan, kini sudah satu jam mereka menanti kehadiran target.
"Ini tidak akan terjadi! Atau mungkin berita ini telah mereka ketahui?" ujar Rudi.
"Apa kau bisa menunggu limat menit lagi?" ujar Diva, yang mulai putus asa.
"Aku akan menunggunya," ujar Rudi, menatap Diva.
Diva pun tersenyum, seakan ia kembali untuk bersemangat. Ia terus memandangi tempat itu dengan sebuah teropong dari hotel yang berbeda. Tiba-tiba, Diva terkejut, saat Wijaya memasuki sebuah kamar dengan salah satu seorang pejabat.
"Itu mereka," ujar Diva terkejut.
Dengan sigap, Rudi mengambil teropong yang dipakai Diva. Ia mengarahkannya pada target yang akan ia incar.
"Apa kau sudah siap?" tanya Diva.
"Baiklah! Sepertinya momen ini, adalah momen yang sangat bagus," ujar Rudi yang mulai memotret mereka.
Beberapa pose telah mereka dapat. Dari perjabatan tangan, sedikit berpelukan, selayaknya rekan bisnis yang kuat. Tak hanya disitu saja, Rudi pun mempotret mereka yang tengah duduk bersantai. Beberapa sesi telah mereka dapatkan. Betapa senangnya Diva, saat Rudi berhasil memotret mereka. Pertemuan itu hanya berlangsung tiga puluh menit saja.
"Akhirnya kita bisa mendapatkan bukti yang baru," ujar Diva dengan girang.
"Sebaiknya kita pergi sekarang," ajak Rudi, sambil membereskan barang-barangnya.
Tiga hari setelah kejadian itu, foto itu pun segera mereka muat di media cetak. Berita terbaru tentang skandal Wijaya dengan pejabat tinggi, kini mulai menghiasi. Diva yang melakukan pekerjaannya dengan baik, ia mendapat beberapa pujian. Diantaranya dari bosnya. Nama Diva, kini layak diperhitungkan dalam dunia jurnalis. Nama itu seketika melejit. Tentu saja, hal ini membuat Wijaya sangat geram. Pertemuannya itu bisa terekspos di media masa. Betapa murkanya Wijaya, saat membaca sebuah berita tentang dirinya.
"Sial! Siapa yang berani mengekspos fotoku?" tanya Wijaya dengan murka.
"Saya dengar, jurnalis itu bernama Diva Bos," ujar salah satu anak buahnya.
"Cepat kalian panggil Diwanga untuk segera menghadapku," ujar Wijaya memberi perintah pada anak buahnya.
Dengan gesit mereka segera menjemput Diwanga yang sedang santai disebuah taman.
"Maaf Bos! Kami disuruh oleh Bos besar untuk membawa Anda!"
"Apa lagi yang terjadi sih?" tanya Diwanga yang belum tahu berita.
"Bisa baca koran hari ini," ujarnya.
Koran yang tergeletak di atas meja, ia ambil dan ia lihat dengan seksama. Tiba-tiba wajah Diwanga kaget, melihat foto sang ayah dengan seorang pejabat. Ditambah lagi, judulnya tentang skandal perusahaannya.
"Persetan dengan semua ini! Berani-beraninya mereka mengusik aku," tegas Diwanga dengan murka.
Setengah jam Wijaya menunggu, kini Diwanga datang dengan sangat rapi menghadap sang ayah.
"Apa kau sudah baca berita hari ini?"
"Iya Ayah! Diwanga sudah baca."
"Mengapa kau masih belum bergerak," bentak Wijaya tiba-tiba.
"Maaf Ayah! Diwanga baru baca beritanya."
"Diwanga! Kau jangan bodoh! Seharusnya urusan seperti ini bisa kau atasi sebelum berita ini dimuat," tegas sang ayah dengan wajah murkanya.
"Maafkan Diwanga Ayah! Diwanga tidak tahu akan hal ini," ujarnya yang masih tertunduk.
"Dasar anak bodoh! Tidak berguna," teriak Wijaya sambil menampar dua pipi Diwanga.
Diwanga tampak kesakitan. Ia mengelus kedua pipinya akibat tamparan sang ayah.
"Aku tidak mengajarkanmu untuk lemah seperti ini," ujar Wijaya sambil meremas kerah Diwanga.
"Ayah tidak usah cemas! Diwanga akan membereskan semua ini."
"Cepat kau selesaikan, sebelum ini merambat jauh kedalam," tegasnya  melepas kerah Diwanga.
Diwanga pergi dengan membawa rasa kesal dan amarah yang begitu tinggi. Di ruang kantornya, ia berusaha untuk mencari cara, agar ia bisa menyelesaikan masalah ini.
"Diva! Kau hanya jurnalis kecil yang sedang berperang melawan harimau. Aku tidak akan membiarkanmu lebih jauh," ujar Diwanga sambil menatap sebuah koran yang berisi tentang berita itu.
Satu minggu kemudian, Diwanga mencoba menghubungi Diva. Dari balik ponsel, ia menunggu jawaban dari panggilannya.
"Nomor siapa ini?" tanya Diva, sedikit heran.
"Coba kau angkat," ujar Rudi.
Meski sedikit ragu untuk menerima panggilan itu, Diva tetap menerima dering panggilan dilayar ponselnya.
"Ya halo! Dengan siapa saya bicara?"
"Apakah benar ini Diva?"
"Ya! Ini saya sendiri!"
"Selamat ya, atas prestasimu."
"Maaf! Dengan siapa saya bicara?" tanya Diva, dengan cemas.
"Heem ...! Saya Diwanga! Saya mengajak Anda untuk menikmati secangkir kopi!"
"Owh ...! Apa saya tidak salah? Orang sibuk seperti Anda, bisa menghubungi saya! Saya cukup terkesan," balas Diva, merasa terkejut.
"Bagaimana dengan tawaran saya tadi? Apakah Anda bersedia?" tegas Diwanga.
Diva tidak bisa langsung menjawab tawaran dari Diwanga. Ia cukup terkejut dan seolah ini tidak nyata baginya. Orang sebesar Diwanga bisa menghubunginya dengan langsung.
"Halo! Apakah Anda masih disitu?"
"Oia ...! Iya, saya bisa," balas Diva sedikit gugup.
"Baiklah! Saya tunggu di sebuah cafe sekarang."
Wajah senang Diva tidak bisa ia tutupi di hadapan Rudi. Ia sedikit menari-nari dan berputar-putar layaknya orang yang mendapatkan kebahagian.
"Sepertinya kau girang sekali! Apa kau sedang naik jabatan?" tanya Rudi.
"Ini berita yang sangat bagus Rudi," tegas Diva, sangat antusias.
"Masa sih? Emangnya apaan sih?" tanya Rudi, sambil memengang secangkir kopi.
"Hari ini, aku diundang untuk bertemu di sebuah cafe."
"Hanya diundang ke sebuah cafe kau tampak girang seperti itu? Astaga Diva ... Diva! Kalau seperti itu, aku bisa mengajakmu setiap hari ke cafe," ujar Rudi dengan enteng.
"Apa kau pikir ini hanya undangan ke sebuah cafe saja?"
"Lantas! Apa dong?" tanya Rudi, yang semakin heran.
"Aku diundang oleh Diwanga seorang pengusaha besar dan kaya di negri ini," tegas Diva dengan wajah berbunga-bunga.
Mata Rudi seketika terbelalak, saat tahu kalau itu Diwanga.
"Diwanga?" ujarnya terkejut.
"Sori aku tidak ada banyak waktu lagi! Aku harus segera pergi! Bay-bay Rudi! Aku pergi," teriak Diva sambil meninggalkan apartemen Rudi.
Mimik wajah Rudi cukup kecewa atas apa yang barusan ia dengar. Sayangnya, Diva tidak menyadari hal itu. Mungkin ia terlalu girangnya dengan undangan itu, sehingga Rudi tampak terabaikan.

Book Comment (125)

  • avatar
    MaarijTazka

    cukup bagus dan sangat seru .good look..

    21d

      0
  • avatar
    PratamaRega

    keren sangan bagus

    26/08

      0
  • avatar
    Ayu kinantiSekar

    sangat cocok untuk kita

    25/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters