logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 6

Bab 6
Jam satu siang. Mas Agung dan Adi tiba di rumah. Entah kebetulan atau tidak mereka pulang bersama, yang jelas seperti biasa muka Adi terlihat kesal saat berjalan bersama ayahnya.
Ini pasti bukan kebetulan, Adi seperti tidak menyukai Mas Agung dan terlihat marah kepadanya. Mukanya juga memerah seperti menahan kekesalan.
"Kalian kok bisa barengan pulangnya,?" Begitu berucap salam, segera kutanya Adi guna menghilangkan keherananku.
Adi hanya diam saja, tak menyahuti ucapanku.
"Kebetulan ketemu di jalan," Mas Agung yang menjawab.
"Masak sih, hanya kebetulan?" Aku menatap heran keduanya.
"Iya. Nasehatin tuh anakmu, Indi. Tak sopan bicara pada orang tua. Apa selama ini begitu caramu mendidiknya? " Mas Agung menekuk wajahnya lalu duduk di sofa depan tv. Sedang Adi langsung masuk ke kamar seperti biasanya tanpa bisa lagi.
"Memangnya apa yang dia lakukan?" todongku langsung.
"Banyaklah. Anak itu makin susah diatur. Bahkan diajak bicara pun dia tak menyahut," keluhnya sambil memijat pelipis.
"Tolong bawakan aku teh," pintanya kemudian.
"Mungkin dia punya alasan berbuat seperti itu." Aku mendelik tak suka. Bagaimanapun juga Adi anakku. Tak semestinya mas Agung bicara demikian jika tanpa alasan.
"Apa maksud kamu?" Mas Agung menoleh dengan raut tak suka. Aku berpaling lalu melangkah ke arah dapur, enggan menanggapi lagi. Percuma saja bicara dengan lelaki itu. Bukankah Adi itu anaknya, harusnya dia bisa membuat anaknya bersikap baik bukan sebaliknya.
"Oh, ya Mas. Bagaimana keadaan Zahra?" Aku duduk, setelah kuletakkan secangkir teh didepannya.
Sebenarnya malas sekali aku bertanya, tapi sengaja bertanya untuk memancing reaksi yang akan Mas Agung tunjukkan.
Dan benar saja dia langsung duduk tegak dan menatapku heran.
"Oh, dia baik-baik saja kok," jawabnya singkat sambil memperhatikan wajahku. Aku hanya tersenyum sinis dalam hati.
'Kamu mulai berbohong, Mas!'
"Baiklah Indi, aku mau mandi dulu." Mas Agung berdiri seperti menghindar dan meninggalkanku yang masih duduk memandang tv. Apakah tadi waktu Mas Agung datang kesini tidak mandi dulu. Entahlah. Namun kini perhatianku malah ke arah ponsel dan dompet yang tergeletak di sofa tempat Mas Agung duduk tadi. Bukan maksud lancang, aku hanya penasaran dengan isi keduanya. Biasanya aku tak pernah memeriksa dompet dan ponselnya selama kami menikah sepuluh tahun ini, karena aku selalu percaya padanya.
Namun ternyata kini harus kutelan pil pahit, saat kepercayaan itu berganti dengan kekecewaan dan juga tanda tanya tentang kehidupan Mas Agung di belakangku.
Aku masih terpaku di tempatku meninbang-nimbang apa yang akan kulakukan.
Setelah berpikir bolak-balik ternyata aku memang tak seberani itu, dan membiarkan kedua benda itu tergeletak begitu saja.
"Indi, Aku ingin makan." Wajah Mas Agung sudah segar terlihat lebih segar sejak keluar dari kamar mandi. Aku yang masih duduk di sofa melirik sekilas lalu berdiri dan meninggalkannya ke dapur. Untunglah lauk tadi tidak kuberikan semuanya ke tetangga. Masih ada sisa di piring, cukup untuk makan bertiga. Kupanggil Adi agar ikut makan dengan bapaknya. Bagaimana pun juga, ayah dan anak itu harus akur, jangan bermasalah. Aku juga tak mau anakku membenci ayahnya.
Mas Agung dan Adi makan dalam diam. Rupanya sudah jadi kebiasaan Adi sekarang, mengacuhkan ayahnya. Hingga sampai sesi makan berakhir, keduanya hanya diam dan sibuk dengan isi piring masing-masing.
****
Mas Agung berdiri membelakangiku. Dia sibuk dengan ponselnya, hingga tak menyadari aku berjalan melewatinya.
"In-Indi?" Nada suara Mas Agung terdengar kaku, seperti seorang maling ketahuan mencuri.
"Ya?" Aku menjawab singkat lalu duduk di tempat tidur tepat di sampingnya.
"Apakah tadi Zahra kesini?" Tampak ragu dia bertanya, kemudian aku menghampirinya dan duduk tepat di sampingnya. Aku mengangguk. Mas Agung menggenggam kedua tanganku.
"Boleh aku bertanya?" Kedua matanya pokus menatapku dengan raut wajah serius. Membuatku malas untuk menatap balik. Namun Mas Agung meraih daguku untuk menatap matanya.
"Apa yang kamu lakukan pada Zahra, apa kamu mendorongnya tadi?" Deg, seketika aku Kaget. Apa maksudnya, kenapa Mas Agung tiba-tiba bertanya demikian dan langsung menuduhku.
Apakah ada seseorang yang mengadu melalui ponsel padanya. Jika benar, maka itu adalah pitnah yang sangat keji.
"Apa maksud pertanyaanmu, Mas. Kamu nggak lagi nuduh aku kan?" Aku melotot dan menganga tak percaya.
"Indi … Aku percaya padamu. Aku tahu kamu tak mungkin berbuat demikian. Tapi aku mohon, katakan saja sekarang. Ya atau tidak?"
"Kamu nggak percaya padaku, Mas?" Ah, rasanya dadaku sakit san nyeri. Siapa yang mendorong siapa, masih belum jelas. Apakah wanita itu yang mengadu dan berbuat licik dengan mengatakan aku mendorongnya pada Mas Agung? Sepertinya begitu.
"Ya, tentu saja aku percaya. Sepuluh tahun kita bersama, aku tahu semua sifatmu, kamu tak mungkin berbuat demikian. Namun aku butuh jawabanmu saat ini." Mas Agung menyugar rambutnya kasar. Bahkan mengusap wajahnya dengan hembusan nafas berat.
"Aku tidak berbuat apapun. Harusnya aku yang bertanya sekarang. Darimana kamu tadi. Bukankah katamu ingin menemui Zahra, dan kenapa malah sekarang kamu bertanya seolah-olah aku yang mendorong Zahra?" Aku balik bertanya dengan menahan kekesalan.
"Indi, ini bukan waktu yang tepat untuk aku jawab semua pertanyaanmu. Aku harus pergi sekarang." Mas Agung berdiri kemudian membuka lemari guna mencari jaketnya. Sesaat dia menoleh padaku.
"Maaf, Aku harus pergi." Sekilas dia mencium keningku. Sebelum berbalik pergi, aku mencekal tangannya. Erat.
"Jika kamu pergi saat ini. Maka aku pastikan kamu tidak berhak atasku lagi, Mas."
"Indira!" Mas Agung melotot menatapku tajam. Aku bergeming di tempatku menantang apa yang akan dia lakukan.
"Aku sungguh-sungguh, Mas. Pergilah dan susul istrimu itu, dan jangan kembali padaku."
"Itu tidak akan terjadi. Aku nggak akan lepasin kalian." Mas Agung bicara serius. Kedua tangannya mencekal bahuku erat sekali.
"Hanya itu pilihan yang bisa akj berikan padamu, Mas," balasku dingin.
"Tolong jangan begini, please ...." Mas Agung meraihku dalam pelukannya yang hangat. Kebiasaan ini dulu adalah hal yang paling kurindukan. Tapi tidak sekarang, setelah dia menjadi suaminya Zahra juga. Rasa nyaman itu telah hilang berganti kebencian dan akan meledak saat tiba waktunya nanti.

Book Comment (337)

  • avatar
    Firda Naura

    what if i told you i love you

    5d

      0
  • avatar
    Danzz Restianzz

    bagus banget ceritanya

    13d

      0
  • avatar
    SilvaAline

    parabens amei o livro, super bom gostei demais

    21d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters