logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 3

Bab 3
Mau tahu rasanya, saat orang yang sudah sepuluh tahun membersamai kita, tiba-tiba dia berbuat curang di belakang. Sangat sakit.
Meski dia berdalih alasannya karena kasihan, tapi kenyataannya tetap saja membuat hati sangat sakit. Bagai tertusuk besi panas, tepat di jantung. Seperti itulah sakitnya.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Pernikahan kalian tidak sah. Bagaimana pun juga, wanita yang hamil apalagi tanpa suami tidak boleh dinikahi!!!" bentak Ibu, ikut bicara, dengan menatap tajam ke arah suamiku. Mas Agung tak tinggal diam. Dia melotot dan berani sekali melawan.
"Aku tidak perduli, aku akan tetap mempertahankan zahra, baik itu sah atau tidak!!" Mas Agung berdiri, lalu meraih tangan wanita yang dipanggilnya Zahra itu, kemudian berlalu begitu saja menuju ke arah kamar. Disusul suara pintu yang terbanting keras. Membuatku semakin merasa sakit.
"Nak, sabar, ya …" Ibu berusaha menenangkanku yang mulai tersedu tak kuasa menahan rasa sakit atas penghianatan dan kelakuan Mas Agung.
Sementara Ayah ikut berdiri.
Dadanya naik turun terlihat emosi.
"Dasar anak tidak tahu diri, sudah berani dia melawan kehendak orang tua!" Ayah juga berlalu pergi setelahnya, entah kemana, aku tidak tahu.
"Mungkin Si Agung lagi khilaf, kamu yang sabar ya, Indira." Bi Wina_tetangga depan rumah Ibu mencoba menenangkanku.
Sementara dua orang lainnya hanya diam, begitu pun dengan Yanti dan Mas Doni yang memang tidak suka denganku, hanya tersenyum sinis. Ikut pergi.
"Maaf, Bu, apa sebaiknya Bu Indira pulang saja dulu, biar hatinya tenang." Bu Wina memberi saran, yang kupikir itu lebih baik bagiku sekarang.
Aku harus bisa berpikir dengan langkah selanjutnya. Tak mungkin aku hanya diam disini dan melihat tingkah laku Mas Agung dan perempuan itu yang sudah sangat kelewatan.
*****
Sudah dua hari sejak kejadian itu, namun sama sekali aku tak mendengar lagi kabar mereka. Hatiku juga sudah lebih tenang dan lebih siap dengan kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.
Bagaimanapun juga aku tak akan memaafkan Mas Agung dan melupakan semua yang telah Mas Agung lakukan padaku.
Aku fokus membuat adonan kue, hingga tak kusadari ada seseorang yang tengah berdiri di dekat pintu dan tengah asyik memperhatikanku saat ini.
Dia, orang yang dua hari ini membuatku sangat muak dan benci. Siapa lagi kalau bukan Mas Agung.
"Indi, apa kabar kamu?" Huh, untuk apa dia berbasa-basi hanya sekedar bertanya kabar, bukankah dia tahu bahwa aku tidak mungkin baik-baik saja. Menyebalkan.
"Untuk apa kamu kemari, Mas?" Aku melengos menatap kembali pada adonan kue yang tengah kuuleni, rasanya lebih menarik daripada melihat Mas Agung.
"Apa salah jika aku pulang ke rumahku sendiri, hm?" Mas Agung perlahan mendekat. Dan duduk di kursi makan tidak jauh dari tempat dudukku. Kedua tangannya menyangga dagu sambil menatap ke arahku.
"Kupikir kamu sudah lupa jalan pulang, setelah menemukan pulabuhan baru!" jawabku dingin dan acuh.
"Aku ingin bicara denganmu, Indi. Jadi, tolong jangan acuhkan aku." Aku menghentikan kegiatanku dan beralih menatapnya tajam.
"Bukankah kamu memang sedang bicara, lantas kenapa kamu berpikir aku mengacuhkanmu?" tatapku tajam.
"Sejak kapan kamu berani berkata 'kamu' padaku, Indi? Bukankah biasanya hanya kata 'Mas' yang selalu terlontar dari bibirmu itu, hm?" Mas Agung menatapku marah. Namun aku tidak peduli.
"Sejak kamu bawa perempuan ja***g itu ke rumah ibumu!!"
"Diam kamu, Indi. Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia! Dan jangan menyebutnya wanita hina!!" bentak Mas Agung dengan telunjuk yang mengarah tepat ke mukaku. Aku berkacak pinggang.
"Oh, ya. Ternyata kamu banyak tahu tentang dia. Mungkin saja kamu juga tahu siapa ayah dari bayi yang dikandung perempuan itu." Aku tersenyum sinis. Biarlah kamu murka padaku Mas, aku sudah tidak peduli lagi sekarang.
"Ka-kamu …!" Tangannya berayun ke atas, seperti ingin menamparku. Namun dengan cepat aku bicara.
"Kenapa kamu berhenti, hm? Ayo tampar, Mas. Ayo tampar aku!!" tantangku. Namun dia menghempaskan tangannya kembali. Lelaki picik.
"Ah …!!" Dia berlalu begitu saja. Meninggalkan luka yang kembali menganga. Sakit.
Tak lama berselang. Pintu depan terdengar ada yang mengetuk. Aku yang masih terduduk di dapur, segera beranjak ke depan untuk membukanya.
"Ibu??" Ibu mendekat dan memelukku. Beliau tak datang sendiri. Dibelakang sudah ada Ayah Mertua, Doni, Pak RT dan tentu saja Mas Agung dan perempuan yang beberapa hari ini selalu menjadi duri untukku.
Siapa lagi kalau bukan Zahra. Wanita yang hamil tapi mengaku bukan anak suamiku. Meski aku tidak percaya.
"Bisa kita bicara di dalam Indi?" tanya Ibu yang kujawab dengan anggukan.
"Silahkan." Aku membuka pintu lebar-lebar, agar semuanya bisa masuk tanpa berdesakan.
Kulihat Mas Doni lagi-lagi tersenyum sinis. Aku heran dengan sikapnya selama ini padaku. Ingin berusaha untuk abai, tapi semuanya menggangguku sekarang. Jika dulu aku bisa diam dan cuek melihat tingkahnya, beda dengan sekarang. Sikap tidak suka dan merendahkan yang dia tujukan terang-terangan, membuatku heran dan aneh. Apalagi melihat masalah yang kuhadapi sekarang, sikap Mas Doni sungguh membuatku ingin langsung bertanya banyak padanya.
Kubiarkan orang-orang itu duduk sambil menunggu.
Aku pergi ke kamar dengan segala pikiran berkecamuk. Menimbang-nimbang apa yang akan mereka bicarakan.
Ah, lama-lama otakku bisa gila memikirkan semuanya.
'Kuat Indira. Kamu harus kuat!' Aku meyakinkan diri dan memberi support buat diri sendiri.
Ya, aku yakin bisa mengambil keputusan yang benar. Walaupun kenyataan hati ini belum siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi ke depannya. Aku akan memilih pisah. Aku yakin.

Book Comment (337)

  • avatar
    Firda Naura

    what if i told you i love you

    5d

      0
  • avatar
    Danzz Restianzz

    bagus banget ceritanya

    14d

      0
  • avatar
    SilvaAline

    parabens amei o livro, super bom gostei demais

    21d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters