logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 2

Tak ingin menunda waktu, segera kutarik handle pintu yang rupanya tidak terkunci. Seketika pintu terbuka lebar menampilkan dua sosok insan berlainan Jenis kelamin tengah bercumbu mesra di dalam ruangan berdiameter 4x3 meter tersebut. Mataku terbelalak kaget, begitu pun mereka berdua yang seakan kaget dengan kedatanganku apalagi dia, orang yang sangat kukenal selama ini. Tega.
Setengah mati kutahan gemuruh dalam dada yang tiba-tiba membuat amarah naik ke ubun-ubun. Kurang ajar, lelaki durjana. Bahkan di tengah hari bolong keduanya asik bercumbu mesra berdua di dalam Kamar. Entah apa hubungan mereka ini, yang jelas tentu saja aku tidak terima begitu saja. Keduanya harus menerima luapan amarahku.
"B******n, breng**k, k****g a**r kalian!!!" Mati-matian kutahan, amarahku meledak seketika menatap siapa yang ada disana. Ya, Mas Agung dan wanita yang entah siapa, aku tidak tahu.
"Indira!!" Aku balik menatap nyalang.
Dengan langkah cepat kutarik dan kucengkeram kerah baju yang menempel di badan Mas Agung. Seketika membuat wajah mas Agung panik begitu pun wanita yang terengah duduk di sebelahnya.
Plak!!! Plak!!!
"Inikah balasanmu padaku setelah semua pengabdianku padamu, Mas.
Cuih!!
Aku meludahi wajahnya.
Wajah kanan dan kiri Mas Agung menjadi sasaran tangan yang memanas menahan nafsu amarah.
Membuat mas Agung meringis kesakitan.
Aku tidak peduli walaupun dia terhunyung ke samping tempat tidur. Begitu pun wanita yang menjerit dan menganga melihat pasangan mesumnya tak berdaya di sampingnya.
Lihat saja, dia juga tak akan luput dari amarahku.
Plak!!! Plak!!!
"Wanita k*****g a**r, berani sekali kau berbuat senonoh di kamar bersama suamiku!!!" umpatku kasar tak mau kalah.
Sekali lagi ku coba untuk menampar sisi wajahnya yang lain, tapi terhenti saat tangan masih mau mengayun ke pipi sebelahnya, tiba-tiba kurasakan tangan besar menahan laju tanganku.
Mas Agung menghentikan dari belakang.
"Cukup, Indira, hentikan!" Tatapan tajam matanya menghunus tepat di jantungku. Membuat dadaku panas dan sakit.
Kenapa dia tak membelaku.
Apa-apaan dia ini, berani sekali dia menatapku nyalang seperti itu.
Bukankah wajar jika aku marah besar melihat kelakuan bejatnya itu. Tapi entah kenapa aku kecewa melihatnya.
"Aku tidak akan berhenti sebelum aku menghajarmu dan ja***g ini!!!" tunjukku pada perempuan tak tahu malu yang mulai terisak, masih terduduk di sudut tempat tidur.
Dasar wanita lemah, begitu saja sudah kalah.
Bagaimana aku yang dihianati oleh Mas Agung?
Pastinya jauh lebih sakit.
"Aku bilang, cukup! Apa kamu tidak dengar, hah!?" Untuk kedua kalinya aku mendengar suara lantang milik Mas Agung. Lelaki tak tahu diri. Demi wanita yang entah dari mana asalnya, hingga berani-beraninya dia berkata agar aku menghentikan amukanku. Dasar baji*gan sial*n.
Aku tertegun di tempatku. Sakit. Amarah dan rasa sakit kian menghunus di kalbu, perih dan sakit yang kurasa. Selama menikah sepuluh tahun dengannya, baru kali ini Mas Agung bicara dengan nada tinggi di depanku.
Mas Agung melangkah memeluk perempuan itu tepat di depan mataku. Membuat air mata yang kutahan sejak tadi lolos begitu saja melewati pipi. Sakit, teramat sakit. Sebegitu berhargakah wanita itu hingga dia memeluknya dan membuatku merasa tidak dihargai.
Tega kamu, Mas.
Beberapa orang dibelakangku masuk ke dalam kamar, yang kutahu itu suara ibu, ayah mertua, dan juga yang lainnya. Mereka tampak tidak percaya dengan keadaan semuanya yang acak-acakan.
"Semuanya ikut ke ruang tamu, sekarang." Ayah Mertua berkata sambil berlalu disusul Ibu Mertua dan yang lainnya, termasuk Mas Agung yang berjalan bersama perempuan itu di pelukannmya. Mengabaikan aku yang merasa nyeri.
🍎🍎🍎🍎🍎
Aku melangkah gontai paling akhir. Rasanya kakiku gemetar sulit sekali untuk melangkah, ditambah rasa sakit hati dan juga tangan yang terasa kebas bekas menampar Mas Agung dan perempuan itu hingga menyerahkan semua tenaga.
Mereka Semua langsung duduk di ruang tengah. Mas Agung nampak menenangkan perempuan itu yang masih terisak sambil memeluk Mas Agung pinggang Mas Agung.
Ibu Mertua menatapku dengan rona sedihnya, Ayah Mertua duduk di sofa single seolah sedang berpikir. Sudah seperti hakim yang menatap hendak memberi putusan. Sementara Yanti, Mas Doni dan tiga orang lainnya yang kuketahui sebagai tetangga Ibu, nampak berdiri seakan ingin ingin tahu dan menunggu pembicaraan apa kedepannya yang akan diputuskan.
"Duduklah, Nak." Ibu bergeser memberi tempat di sebelahnya. Memberi ruang agar aku tak merasa diabaikan. Kalau saja ada tempat lain, mungkin aku tidak sudi duduk di sebelah Ibu yang menghadap tepat pada Mas Agung dan perempuan sia*an itu.
"Ayo, Nak, sini," pinta Ibu masih dengan suara khasnya. Lembut. Wanita yang sudah sepuluh tahun menjadi mertuaku itu, memang sangat baik dari dulu bahkan tidak pernah berubah. Meski kadang aku yang masih belum sempurna menjadi menantunya selama ini.
Ah, Ibu, teganya anakmu menorehkan luka di hatiku. Bahkan setelah pengabdianku selama ini, yang ternyata tidak dihargai.
"Agung, coba sekarang jelaskan semuanya pada istrimu."" Ayah Mertua berucap tegas. Diliriknya Mas Agung yang masih pada posisinya. Berpelukan, tepat seperti Difsi dan Tinky Winky.
"Baik, Yah." Kulihat sejenak dia menghela nafas kasar, lalu menatap tajam ke arahku.
"Maafkan aku Indira karena telah berbohong di belakangmu, Sekarang aku akan jujur, bahwa aku telah menikahi Zahra. Dia istriku sekarang. Dan dia tengah hamil. Tapi .…" ucapannya terjeda sebentar, seakan ragu untuk berkata lagi. Diusapnya wajah dengan kasar seakan berat untuk bercerita.
Jangan tanyakan hatiku yang seperti tertusuk sembilu. Sakit. Kenyataan yang tak ingin kudengar. Semuanya terlalu tiba-tiba dan aku tak siap menerima tentu saja.
"Tapi apa? Katakan semuanya, Dan jangan pernah kamu sembunyikan lagi semuanya, Mas!" sergahku makin muak melihat wajah tak bersalahnya.
"Tapi …" mas Agung kembali menghentikan ucapannya. Dia menoleh pada perempuan itu sambil menggenggam tangannya.
"Katakan dengan jelas dan jangan bertele-tele. Kamu lelaki dan harus bertanggung jawab dengan semua perbuatanmu!" bentak Ayah Mertua. Seakan beliau juga jengah melihat anaknya yang sedikit salah tingkah itu.
"Tapi anak yang dikandung itu bukanlah darah dagingku," lirih Mas Agung seperti cicitan.
Aku terperangah mendengar tutur katanya, bukan hanya aku sepertinya, semua yang mendengar di ruangan ini pun merasa kaget dengan apa yang di ucapkan oleh anak sulung mertuaku ini. Terlebih Ibu, yang begitu syok dan dapat kulihat jika bibirnya yang sedikit bergetar.
"Ya, ampun. Agung, dimana jalan pikiranmu, kenapa kamu menikahi wanita yang jelas-jelas hamil anak orang lain!!" bentak ayah mertua. Beliau murka dengan menunjuk muka Mas Agung. Aku tak tahu pasti, beliau sepertinya baru tahu anaknya membawa pulang wanita ke rumah. Sama sepertiku.
"Tapi, Ayah. Aku punya alasan sendiri. Aku kasihan pada Zahra. Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan Zahra melahirkan tanpa sosok suami di sisinya?!" Mas Agung memberikan pembelaan.
"Tapi seharusnya kamu pikirkan hati istri kamu, Gung, jangan gegabah dengan menikahi wanita ini begitu saja. Lagipula dalam agama tidak dibenarkan menikahi wanita hamil. Dasar kamu!!"
Sejenak Mas Agung melirik ke arahku. Namun melihatku yang menatapnya dengan tatapan benci, dia menunduk. Seakan ciut nyalinya.
'Kamu harus menerima balasannya dariku, mas. Tunggu saja pembalasanku!!!' gumamku saat melihatnya jijik.

Book Comment (337)

  • avatar
    Firda Naura

    what if i told you i love you

    5d

      0
  • avatar
    Danzz Restianzz

    bagus banget ceritanya

    14d

      0
  • avatar
    SilvaAline

    parabens amei o livro, super bom gostei demais

    21d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters