logo
logo-text

Download this book within the app

Terungkapnya Kebiasaan Buruk Suamiku

Terungkapnya Kebiasaan Buruk Suamiku

Bun Say


Bab 1

Brak!
Pintu terbuka dengan sedikit kencang. Disusul suara langkah kaki yang seperti sengaja di hentak-hentakan, membuatku yang sedang sholat dzuhur sedikit terganggu, berkurang rasa khusyuk dalam beribadah.
Setelah uluk salam, segera kutemui si pemilik langkah kaki yang ternyata anakku satu-satunya, Adi, yang duduk selonjoran di sofa dengan pandangan menerawang ke atas.
"Eh, pulang sekolah kok nggak ucap Salam?" kudekati dia dengan duduk di sebelahnya, namun tak ada sahutan. Bahkan menoleh pun tidak. Sepertinya Adi kesal, tapi entah karena apa aku tak tahu.
"Adi, di tanya kok nggak jawab?" tanyaku penasaran. Pikiranku jadi menerawang, mungkin saja dia ada sedikit masalah disekolahnya. Atau ada hal yang membuatnya kesal hingga membawa masalahnya hingga ke rumah.
Dia mencebik kesal, sambil menoleh dengan muka marah.
"Bu, ibu kenapa sih nggak cerai aja dengan ayah?" Deg, apa maksudnya? kenapa tiba-tiba dia berucap demikian. Padahal dia baru kelas tiga sekolah dasar dan belum mengerti arti perceraian.
"Loh, Di. Maksud kamu apa kok ngomong gitu sama ibu? Nggak boleh lho ngomong cerai-cerai. Emang kamu tahu artinya apa?" tanyaku sengaja dengan cara bercanda.
"Udah, ah. Percuma ngomong sama ibu." Adi berjingkat pergi menuju kamarnya dengan membanting pintu. Blug!
Sepertinya dia benar-benar marah.
Tok tok tok!
Belum hilang keherananku, tiba-tiba pintu depan ada yang mengetuk.
"Bu, Bu Indira, maaf nih saya ganggu. Bu Indira sudah tahu kabar suami ibu belum?" Rupanya Bu Dewi yang datang, tetangga yang rumahnya dekat mertuaku. Dilihat dari deru nafasnya , dia seperti habis berlari atau dikejar anjing galak.
"Tenang dulu, Bu Dewi, sini masuk dulu."
"Eh, iya."
Aku mengajaknya masuk dan menyuruhnya duduk, lalu ke dapur untuk mengambil air putih.
Segelas air putih ditandaskan dalam waktu satu tegukan saja. Setelah kulihat agak tenang, barulah aku mengajaknya bicara.
"Bu Dewi, kenapa sih kayak orang panik gitu mukanya? coba ceritakan apa yang terjadi."
"Bu Indira, kok Bu Indira tenang-tenang aja di rumah sih. Emang belum tahu ya kabar suaminya sekarang?" tanyanya seperti keheranan.
"Tahu apa, Bu?" giliranku kini yang penasaran dengan apa yang tengah terjadi dengan suamiku.
"Lho, emang Bu Indira nggak tahu kalau sekarang suami Bu Indira lagi di rumah ibunya, bawa perempuan muda, cantik, lagi hamil juga kayaknya sih." Bu Dewi bicara penuh penegasan dengan kening yang menyatu, seperti heran melihatku.
"Apa maksudnya Bu Dewi, Jangan bercanda deh, nggak lucu, Bu." ucapku tak percaya.
"Iya Bu, benar. Masak saya bohong soal ginian. Bahkan Adi juga tadi habis dari rumah neneknya. Emang dia belum cerita sama Bu Indira?" Raut wajah heran itu semakin kentara dalam melihatku. Aku menggeleng lemah, tapi dadaku rasanya sesak.
Entah kenapa tiba-tiba seperti ada yang menonjok dalam disana, diujung hati paling dalam. Sakit, sangat sakit.
Apakah benar yang dikatakan Bu Dewi ini, entahlah. Namun jika benar mas Agung membawa perempuan lain ke rumah ibunya, kenapa tak ada satu orang pun kerabat dari mertua yang memberitahuku.
Dan kalaupun itu benar, pantas saja Adi datang ke rumah dengan wajah yang di tekuk tidak seperti biasanya. Apa dia juga melihat ayahnya, hingga marah-marah tak jelas padaku. Bahkan tadi sampai bilang 'cerai'.
Ah, rasanya dadaku sakit dan sulit percaya jika Mas Agung berhianat.
"Bu Indira, Bu, kok malah bengong. Ya udah, Saya mau pulang dulu takut anak-anak nyariin." Bu Dewi keluar dari rumah setelah mengucap Salam. Dan hanya kujawab dalam hati.
'Ya, Tuhan. Kenapa rasanya sakit sekali, meski itu belum tentu benar,' gumamku menahan sambil meraba dada. Aku tak akan tenang jika belum melihatnya sendiri.
Segera kusambar pasmina instant yang tergantung di belakang pintu kamar. Aku harus memastikan kabar yang baru saja kudengar, agar jangan sampai ada kesalah pahaman. Lagipula aku tak mau menduga-duga tanpa menyerah kebenarannya.
Setelah pamit pada Adi yang sama sekali tak menyahut ucapanku, segera kuhidupkan motor matic putih menuju ke kediaman mertuaku yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah yang dibangun masih di tanah mertua. Hanya berjarak lima ratus meter saja. Aku memang sudah terbiasa bepergian seperti ini, karena Mas Agung sangat jarang mengantarku. Apalagi beberapa waktu ini, dia selalu sibuk dan tak ada waktu buatku dan Adi.
Sengaja kukendarai motor dengan kecepatan rendah, agar aku bisa menata hati dan tidak bertindak anarkis jika saja hal yang menimpa mas Agung benar adanya. Aku tak boleh gegabah dengan melakukan hal yang akan membuatku malu disana nantinya. Kebiasaanku yang gampang teraulut emosi, sulit sekali aku hindari.
Sampai di depan rumah mertua, nampak Yanti, adik iparku tengah memainkan ponselnya di teras. Seakan tahu aku yang datang, segera dia mengangkat satu kakinya dengan menumpangkan ke kaki lainnya. Sombong sekali memang gadis itu, tak berubah sikapnya padaku meski bapak mertua berulang kali menasehati. Padahal aku tak pernah mengusik apalagi menyulitkannya.
"Assalamualaikum, Yan. Apa mas Agung ada di dalam?" tanyaku, namun dia abaikan salamku. Seakan-akan budeg, bahkan sama sekali dia tak menoleh ke arahku. Dasar anak ini!
Tak menunggu perintah, aku memasuki rumah. Tak ada siapa-siapa di ruang tamu, hanya ketika berjalan ke arah ruang keluarga, nampak Mas Doni_adiknya ibu mertua, biasa dia aku panggil Mas, tengah asik menonton film kartun. Film yang biasanya di tonton anak kecil. Dia tertawa seakan asik sekali menontonya.
"Mas Doni?" Dia menoleh sedikit kaget, namun tak lama dia kembali mengalihkan pandanganya ke layar 63 inci di depannya. Sama seperti keponaknnya, dia pun seakan tak perduli padaku yang mematung di sebelahnya.
"Eh, Indira, kamu datang, Nak?" Ibu mertua melangkah dari arah dapur. Mukanya nampak kusut, matanya sedikit memerah seperti bekas menangis. Entah kenapa perasaanku jadi tidak enak.
"Di Mana mas Agung, Bu?" Tanpa basa-basi aku menanyakan keberadaan suamiku. Rasa penasaran serasa membuat darahku naik, apalagi mendapati Mas Doni dan Yanti tadi yang memang sengaja mengacuhkanku. Menyebalkan memang, kedua orang itu.
"Duduk dulu, Nak," pinta Ibu, sambil meraih tanganku namun, segera kulepaskan dengan tangan kiriku. Balik kugenggam kedua tangannya.
"Aku kemari bukan untuk duduk, Bu. Tapi mencari Mas Agung yang sudah seminggu ini tidak pulang," tegasku langsung ke tujuan.
Ibu menatap lirih dan seperti berat untuk menjawab. Namun perhatianku justru tertuju ke pintu kamar tamu yang tertutup rapat, dan terdengar suara wanita cekikikan dari dalam.
Bukankah di rumah ini yang perempuan, hanya Yanti? Itu pun dia sedang duduk di luar sambil memainkan ponselnya.
Lalu suara siapa di sana?
Segera kulangkahkan kaki dan meninggalkan ibu yang mulai terisak.
"Sabar, Nak ... Tahan emosimu ...." lirihnya. Namun tak menyurutkan niatku untuk menuju ke sumber suara.
"Wah, kayaknya akan ada perang dunia nih!" Masih bisa terdengar perkataan Mas Doni dari belakang disusul tawanya yang seakan mengejek. Namun aku tak perduli. Semuanya harus segera terungkap.
Aku harus tahu ada siapa di dalam sana!
Aku, Indira, tak akan diam saja!

Book Comment (337)

  • avatar
    Firda Naura

    what if i told you i love you

    5d

      0
  • avatar
    Danzz Restianzz

    bagus banget ceritanya

    14d

      0
  • avatar
    SilvaAline

    parabens amei o livro, super bom gostei demais

    21d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters