logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Teddy bear Boyfriend

Teddy bear Boyfriend

R


Chapter 1 Dikhianati?

Seorang gadis berambut sebahu berdiri di depan sebuah gedung bertingkat tiga. Ia sedang menunggu pemilik dari rumah susun yang akan ia sewa. Tidak lama kemudian, seorang pria bertubuh gempal datang menghampirinya.
“Nona Sabilla?” tanya Pria itu memastikan. Gadis berambut sebahu itu mendongak, dan menoleh ke arah suara. Ia mengangguk.
“Mari ikut saya untuk melihat kamar yang akan Anda sewa!” pintanya sambil membuka pintu pagar besi tersebut. Sabilla pun mengikuti langkah Pria itu dari belakang. Sesampainya di lantai dua, keduanya berjalan menyusuri teras kamar dan menyusuri lorong tersebut sampai akhirnya berhenti di kamar paling akhir. “Hanya ini yang tersisa.”
“Baik,” jawab Sabilla dengan gugup.
Pemilik rumah itu pun membukakan pintu dan menyerahkan kuncinya pada Sabilla. “Kamu bisa melihat-lihat dulu sebelum memutuskan untuk tinggal di sini.”
“Oh, tidak perlu, Pak. Saya akan langsung membayar uang sewanya!” seru Sabilla sambil merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan uang yang selama ini ia kumpulkan.
Pria itu mengernyitkan alis, uang yang di serahkan padanya terdiri dari uang receh dan uang kertas. “Baiklah, semoga kamu betah di sini. Oh, ya. Kalau mendengar rumor ada hantu di sini, abaikan saja!” ucap pria tambun itu lalu beranjak pergi.
Sabilla mematung menatap punggung pria tambun itu. Benarkah ada hantu di sini? Lalu, ia menoleh ke arah pintu yang sudah sedikit terbuka. Sudahlah, ini masih siang untuk takut pada hantu, Sabilla pun memutuskan untuk memasuki kamar sepetak yang ia sewa.
Billa meraba dinding dan menyalakan lampunya, lampu putih yang menggantung di tengah kamar itu berkedip seperti disko, lalu mati seketika. Sepertinya ia harus mengganti lampu.
Pintu pun di tutup, ia mulai membersihkan ruangan tersebut dari debu. Setelah selesai, ia keluar dari rumah tersebut lalu menguncinya. Sabilla berjalan menuju tangga sambil meraih ponselnya. Tangannya lincah mengetik nomor pada keypad pada layar ponsel itu, lalu menempelkan ponselnya di telinga kanan.
“Hallo, Eli, kamu pulang jam berapa?” tanyanya pada seorang wanita di ujung telepon.
“Aku, mungkin akan pulang jam lima sore, kenapa?” tanya temannya lagi.
“Em, aku sudah menemukan rumahnya. Terima kasih untuk kebaikanmu selama ini.”
“Sungguh? Kamu pindahan setelah aku pulang, ok! Aku ingin ikut ke rumah barumu.”
“Tidak perlu, Eli. Aku akan pindah sendiri. Selamat bekerja!” ucap Sabilla sambil mengakhiri panggilan tersebut.
“Sepertinya aku harus menemui Leo lebih dulu. Hari ini kan dia libur!” gumamnya. Ia melangkah dengan mantap menuju jalan raya untuk menyetop sebuah taksi.
Sesampainya di jalan raya, Billa berdiri dan menunggu. Lalu ia melambaikan tangan saat sebuah taksi muncul dari sebuah tikungan. Taksi itu berhenti di depannya.
“Selamat pagi, Nona!” ucap sopir taksi. Sabilla masuk dan mengangguk. “Tujuan Anda kemana, Nona?” tanya sopir taksi itu sambil melajukan mobilnya.
“Jalan VII, Apartemen 42.”
“Baik!” ucap sopir itu.
Sabilla menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Baru kali ini ia naik taksi lagi, biasanya setelah selesai pulang dari toko kuenya, ia hanya jalan kaki atau naik kereta bawah tanah yang selalu sesak dengan penumpang.
Sesampainya di Apartemen tempat tinggal Leo, Billa turun dari taksi dan segera membayarnya.
“Nona, apa Anda menyukai boneka?” tanya sopir taksi itu setelah menerima uang dari Billa.
“Ya, sedikit.”
“Apa Anda mau merawat boneka ini?” tanyanya lagi. Billa bergeming saat pria itu memperlihatkan boneka beruang berwarna coklat dengan bulu-bulu yang halus. Namun, sepertinya boneka itu baru saja dipungut dari tong sampah sampai penampilannya sangat kotor dan bau.
“Tentu saja,” ucap Billa sambil mengambil boneka tersebut. “Terima kasih, Pak!” ucapnya lagi. Sopir taksi itu mengangguk, lalu melajukan kembali mobilnya.
Billa mencium boneka tersebut, lalu menutup hidungnya. “Argh, bau sekali!” gerutu Billa, ia berjalan menuju gedung yang menjulang tinggi itu.
“Simpan dulu di sini, deh. Nggak akan ada yang ngambil, juga. Kalau diambil orang juga tidak masalah!” gerutunya sambil menyimpan boneka tersebut di depan pintu masuk.
Billa memasuki gedung tersebut, lalu menyusuri lorong menuju pintu lift. Sesampainya di lantai lima, pintu lift terbuka. Billa berjalan menuju pintu apartemen milik kekasihnya, Leo. Sesampainya di depan pintu, Billa segera membuka pintu tanpa mengetuknya lebih dulu. Ia ingin memberikan kejutan bahwa dirinya datang hari ini.
“Sayang~ kamu janji ya, untuk putus dari Billa. Aku sudah memberikan apa yang kamu minta, loh!” rengek suara manja seorang wanita.
Sabilla yang sudah memasuki kamar apartemen milik Leo itu sangat terkejut. Wanita mana yang dibawa Leo ke apartemennya sepagi ini? Sabilla celingukan, lalu berjalan mendekati pintu kamar tidur. Suara desahan dan rintihan yang membuat Sabilla semakin merinding itu terdengar sangat jelas dari dalam kamar.
Sabilla mengepalkan kedua tangannya, ia merapatkan barisan giginya, menahan semua amarahnya saat ini. Ia tidak menyangka Leo sudah mengkhianatinya dengan membawa seorang wanita? Apa yang mereka lakukan di dalam kamar itu? sudah pasti, Billa menghirup napas panjang lalu menenangkan perasaannya. Ya, pria itu harus diberi pelajaran! Tekadnya bulat.
Sabilla meraih knop pintu, tetapi ia mengurungkan niatnya untuk membuka pintu kamar tersebut. Ia kembali mendengarkan suara dari dalam kamar tersebut, Sabilla sangat mengenali suara wanita itu, knop pintu pun diputar.
Dan Sabilla semakin terkejut. Tidak hanya dirinya saja, dua insan yang sedang bergumul di atas ranjang pun sama terkejutnya. Wanita itu gelagapan menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut, sementara pria yang duduk membelakangi Billa, mengacak rambutnya karena frustrasi.
“Eli!” Billa menganga. Bukankah sahabatnya itu pergi bekerja? Sabilla menatap Leo yang mulai turun dari ranjang dengan tergesa-gesa memakai celana jippernya. Sabilla berbalik lalu beranjak pergi.
“Billa. Tunggu!” teriak Leo sambil mengejarnya.
“Aku bisa jelasin!” pinta Leo sambil menahan kepergian Sabilla. Gadis itu enggan menoleh ke arah kekasihnya yang sedang telanjang dada. Perih hatinya setelah mengetahui kenyataan pahit. Ia pun merasa jijik dengan apa yang dilihatnya barusan.
“Bukankah Eli memintamu untuk kita putus. Aku terima!” ucap Sabilla sambil menepis genggaman tangan Leo. Ia tidak menoleh lagi dan berjalan keluar dari kamar apartemen tersebut.
Leo menghempaskan napas kasar, ia tidak mengejar Sabilla dan memilih untuk berdiri dengan perasaan yang sangat kacau. Wanita berambut sepunggung itu melilitkan selimut pada tubuhnya, lalu berjalan pelan menghampiri Leo.
“Bukankah ini yang kita inginkan?” tanya Eli pada pria itu. Leo menoleh dan kembali memalingkan wajah. Ya, dia ingin putus dengan Sabilla, tetapi bukan begini cara yang ia inginkan.
Sabilla merasa sudah salah sejak awal, tidak mungkin pria setampan Leo mau menjadikannya kekasih. Ia juga mengakui kalau Elis adalah wanita cantik yang sempurna di mata semua pria.
Sabilla turun dengan meniti tangga darurat, napasnya terengah-engah bukan karena capek, melainkan karena Lelah menahan tangis. Ia pun menyerah untuk melangkah dengan kaki yang mulai melemas. Sabilla duduk di anak tangga, lalu menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir begitu deras, tangis yang tanpa suara.
“Sudahlah, aku harus segera pindah!” ucapnya sambil berdiri kembali. Ia mengusap air matanya di pipi, lalu menghirup napas panjang dan menghempaskannya perlahan.
Sesampainya di lantai satu, Sabilla memungut kembali teddy bear pemberian sopir taksi tadi. Ia menatap lama boneka ditangannya. “Sepertinya, kalau dicuci, kamu akan terlihat manis,” gumamnya. Lalu ia melangkah untuk pulang.
Sesampainya di rumah Elis, Sabilla segera mengemas barang miliknya. Setelah selesai, ia keluar dari rumah sahabatnya itu sambil mendorong koper hitam miliknya. Sesampainya di pinggir jalan. Ia menunggu sebuah bis.
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Sabilla banyak melamun. Sampai ia lupa letak gedung rumah susun yang ia sewa itu. Mobil bus pun berhenti setelah ia menyetopnya, lebih jauh dari tempat yang seharusnya Sabilla turun, Sabilla segera turun dan berjalan menyeret kopernya kembali ke arah sebelumnya. Sesampainya di depan rumah susun, Sabilla kembali menyeret kopernya dan meniti tangga menuju lantai dua.
“Anda penghuni kamar paling ujung itu?” tanya seorang wanita yang bertemu dengan Sabilla di depan pintu kamar pertama.
“Ah, ya. Salam kenal!” ucap Sabilla sambil membungkuk.
“Kamu memungut boneka? Itu bau sekali!” cibir wanita itu sambil berlalu dan menutup hidung.
Sabilla menoleh boneka yang sedang dipegangnya. “Ck, kamu harus segera mandi, Bear!” ucapnya sambil berjalan cepat menyusuri lorong kamar. Sesampainya di depan kamarnya, ia segera membuka pintu.
Setelah menyimpan kopernya di atas ranjang, Sabilla berjalan menuju kamar mandi. Gadis itu mulai mencuci bonekanya lalu memakaikan pewangi pakaian. setelah selesai mencuci boneka tersebut, Sabilla menatap boneka teddy bear itu.
“Setelah mandi, kamu terlihat cantik, ya!” pujinya. Lalu ia memeras kapas-kapas itu. setelah selesai. Sabilla berjalan keluar rumah menuju atap rumah. Di atap itulah tempat semua penghuni rumah susun menjemur pakaian.
Sabilla berdiri, menatap pemandangan kota dari atap rumah. udara segar di hari yang menuju siang itu membuat perasaannya sedikit lega. “Aku harus segera membuat adonan untuk jualan nanti!” ucapnya sambil beranjak turun. Meninggalkan boneka basah itu bergelantungan di kawat jemuran.
Malam harinya, kedai yang ia sewa itu segera dibuka. Berbagai macam kue yang sudah ia siapkan segera di tata. Adonan pun ia simpan di rak meja kompor. Tak lama kemudian, para pembeli segera berdatangan.
“Billa, aku minta maaf!” ucap pria itu berdiri di depan etalase. Sabilla mendongak, ia pun segera berpaling.
“Tidak perlu meminta maaf, toh, aku pun akan segera menikah!” ucapnya penuh kebohongan. Leo mengernyitkan sebelah alisnya, ia sedikit terkejut tetapi tidak sepenuhnya percaya pada ucapan Sabilla.
“Dengan siapa?”
“Ya cowok, lah!” jawabnya lagi. ia tidak menoleh ke arah Leo karena masih membenci pria itu.
Leo menyunggingkan senyum tipis. “Aku tidak percaya. Mana ada yang akan menikahi gadis sepertimu!” ejeknya.
Sabilla menoleh, menatap Leo penuh kebencian. “Lalu, apa aku harus peduli? Tidak!” ucap Billa. “Kalau Anda kemari hanya untuk mengajakku debat, pergillah!”
“Aku akan membeli kuenya!” ucap Leo. Sabilla masih mengabaikan pria itu. “Chessescake dengan toping buah cerry!” ucap Leo sambil menyimpan lembaran uang di atas etalase. Sabilla bergeming, kue itu adalah kesukaannya. Lalu menoleh ke arah Leo, pria itu sudah tidak ada di hadapannya lagi. Sabilla menghela napas panjang sambil menatap lembaran uang di depannya.

Book Comment (390)

  • avatar
    AnggariAlfien

    bagus untuk mengisi waktu luang tulisannya juga jesal

    15d

      0
  • avatar
    NikeAvrillia

    cerita ini sangat bagus dan rapi

    28d

      0
  • avatar
    ZaskiaKia

    sangat bagus😭😭

    24/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters