logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Tanpa Ada Jawaban

Hari-hari berlalu tanpa ada jawaban dari Jerry, kenapa dia tiba-tiba memberikan sebuah kado sebagai permintaan maaf karena membatalkan pertemuan malam itu.
Sebenarnya aku tidak marah karena dia membatalkan pertemuan itu. Lagipula itu hanya pertemuan biasa. Aku hanya ingin tahu saja maksud dari omongan Tante Hantini tempo hari. Kalaupun dia tidak mau menjelaskan, ya tidak apa-apa. Aku juga tidak akan memaksa. Walaupun sebenarnya aku sangat berharap Kejujuran-kejujuran darinya.
Akhir-akhir ini Jerry jadi jarang sekali datang ke kafe atau mengantar jemput. Jangankan datang memberi penjelasan, mengirimkan pesan saja hanya di jawab sekedarnya. Itu pun aku yang memulai dulu. Tiap aku tanya kenapa? Dia selalu bilang,"Aku nggak apa-apa. Kakak nggak usah khawatir."
Aku saat ini pun jadi sedikit malas menghubungi Jerry. Setelah capek pulang kerja pun, aku langsung tidur. Tidak juga berselera untuk makan malam.
"Yoora, Ibu lihat sudah beberapa hari ini kamu nggak makan malam. Kamu kenapa? Sakit?" tanya Bu Wira saat kami sedang menyantap sarapan.
Di meja makan ada Bu Wira, Mbak Claudia, Aku, dan Mbok Yah. Sedangkan Pak Wira dan Pak Kardi tidak ikut makan, karena sedang dalam perjalanan keluar kota.
"Nggak, Bu. Yoora sehat kok. Cuma lagi malas makan malam aja" jawabku jujur.
"Makan itu nggak boleh malas, Yoora. Kamu tiap hari kerja. Dari pagi sampai malam. Tubuh kamu butuh asupan. Supaya tenaga kamu tetap ada. Kalau kamu malas makan begini, nanti kamu bisa sakit. Awas ya kalau Ibu masih lihat kamu malas makan dengan alasan capek kerja."
"Biarin aja, Ma. Nggak usah dipaksa. Palingan Yoora lagi diet. Biar makin disayang sama Jerry, hhe iya kan?" Mbak Claudia ikut berkomentar. Tertawa mengejek.
"Ih, apaan sih, Mbak? Enggak diet. Nggak ada hubungannya juga sama Jerry" elakku.
"Iya, deh, iya. Eh, Ra, tapi aku lihat beberapa hari ini Jerry nggak jemput kamu. Kenapa dia? Tumben" tanya Mbak Claudia.
"Dia lagi sibuk" jawabku berbohong.
"O iya. Dia udah mau sidang skripsi ya? Aku kira tuh bocah yang tengil, pecicilan kekanak-kenakan, manja, bakalan bodoamat sama pendidikan. Ternyata lulus tepat pada waktunya. Hebat juga tuh anak. Ra, sebenarnya kamu tuh beruntung tahu dapetin si Jerry."
Apa? Mbak Claudia bilang aku beruntung bisa pacaran sama Jerry? Iya sih, selama pacaran dengan Jerry aku bisa tertawa lepas, hatiku merasa sangat bahagia. Lebih bahagia dari saat berpacaran dengan Harvey dulu. Aku merasa tidak ada beban saat bersama Jerry. Meskipun aku tahu Jerry itu playboy.
Kadang aku juga merasa bodoh. Merasa bahwa sudah diperbudak oleh cinta. Sudah disakiti tetap saja masih setia.
* * * * *
Karena Jerry masih tidak bisa dihubungi, akhirnya aku berangkat ke kafe dengan Daniel. Tadi aku sudah mengirimkan pesan padanya untuk menjemputku. Tak lama kemudian dia datang dengan sepeda motor.
"Tumben pakai motor? Mobilnya kemana? Digadaiin ya? Haha, kasihan" godaku saat dia sampai di rumah. Tertawa meledek.
"Apaan sih, Kak? Enggak lah. Mobilku dipakai Kak Harvey buat jemput Kak Griselda di bandara."
"Emang mobil Harvey kemana?"
"Lagi di bengkel" Daniel menyerahkan helm kepadaku. Aku menerimanya.
"Lagian manja banget tuh si Griselda. Pakai minta jemput segala. Terus si Harvey mau lagi disuruh-suruh sama ceweknya."
"Namanya juga bucin. Kayak nggak pernah pacaran aja. Cie, yang masih kepo sama mantan" goda Daniel.
"Ih, apaan sih. Enggak. Nanya doang."
"Nanya apa kangen?"
"Kangen sama kakak kamu? Idih, sorry-sorry to say."
"Iya juga nggak apa-apa sih, Kak."
"Apaan sih. Geplak pakai helm juga nih" Ancamku pura-pura seraya mengangkat helm ke arahnya.
"Ampun, Kak, ampun. Iya, minta maaf" katanya seraya menjewer kedua telinganya. Daniel memang selalu begitu. Kalau minta maaf, dia selalu sambil menjewer telinganya sendiri.
"Pagi-pagi jangan bikin mood rusak."
"Iya, Kakak cantik. Bawel banget sih. Eh, tapi, Kak Yoora berarti manja juga dong? Kan minta di jemput juga."
"Enak aja. Ini mah beda ya, beda. Si Jerry nggak bisa. Pak Kardi lagi nganterin Pak Wira. Bukan karena manja. Huh dasar."
"Taksi, ojek online, ojek pangkalan, angkot, kan banyak. Ngapain nyuruh aku jemput?"
"Kalau ada yang gratis kenapa harus pilih yang bayar? Hehe."
"Dasar cewek."
"Udah, ah. Yuk, berangkat keburu telat."
"Iya-iya. Lagian dari tadi Kak Yoora nyerocos terus sih. Buruan naik."
Setelah aku naik, Jerry menstarter motornya. Meninggalkan rumah Pak Wira yang hanya di huni para asisten rumah tangga saat siang hari. Karena anggota keluarga sibuk bekerja.
Di perjalanan aku hanya diam saja. Tak berbicara sedikit pun. Daniel pun ikut diam. Sepertinya dia tahu hati dan pikiranku sedang tidak baik-baik saja karena Jerry.
Sebenarnya aku ingin sekali cerita ke Daniel. Tapi masa iya aku harus cerita ke dia? Ini kan masalah aku dan Jerry? Tidak perlu melibatkan Daniel. Lagi pula Daniel punya kehidupan sendiri. Tidak seharusnya juga aku bergantung pada Daniel.
Sesampainya di kafe aku langsung turun dari motor, melepas helm dan menyerahkannya pada Daniel. Ketika aku berjalan masuk ke dalam kafe, aku berhenti sejenak. Tampak motor Jerry berada diantara deretan motor para karyawan.
"Kenapa, Kak?" Daniel yang berjalan di sampingku bertanya. Ikut berhenti. Dia bingung karena aku tiba-tiba berhenti dan memandang ke arah deretan motor.
"Jerry disini" jawabku. Lalu segera berlari masuk ke dalam kafe.
Kuedarkan pandangan ke penjara ruangan. Dan benar saja. Tampak Jerry sedang duduk di meja dekat jendela. Memandang ke luar dengan tatapan kosong. Aku berjalan mendekatinya.
"Jerry, hai, kok kamu nggak bilang sih kalau mau kesini?" tanyaku ketika sampai di mejanya. Aku pun duduk di hadapannya.
"Kak Yoora? Eh, iya maaf" jawabnya gugup. Mungkin karena kaget dengan kedatanganku.
"Kamu kenapa? Sakit?" tanyaku penasaran. Karena kulihat tadi dia sedang melamun, tidak seperti biasanya.
"Enggak, Kak. Aku nggak sakit. Mungkin cuma kurang tidur aja," jawab Jerry memberi alasan. Tapi aku tidak percaya begitu saja. Dari dulu dia memang suka begadang. Tapi tidak pernah sampai lesu begitu.
"Tapi, kamu kayak pucat gitu. Beneran nggak apa-apa?" tanyaku sekali lagi. Memastikan.
"Iya, beneran. Kakak mah suka gitu. Suka nggak percaya sama aku."
"Bukan nggak percaya. Aku khawatir. Habisnya di hubungi nggak bisa."
"Aku sibuk."
"Kesannya, kamu tuh kayak ngehindar dari aku. Sebenarnya kamu kenapa sih?"
"Nggak apa-apa, Kak. Udah dibilangin juga."
"Tapi, akhir-akhir ini kamu tuh aneh. Aku ngerasa kamu nyembunyiin sesuatu dari aku."
Jerry diam mendengar perkataanku. Dia tidak berani menatapku. Aku merasa kasihan. Tapi aku harus segera mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah memenuhi pikiranku akhir-akhir ini.
Kami terdiam beberapa saat dalam keheningan. Aku memilih mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Aku tidak melanjutkan perkataan, Jerry pun diam. Tak menjawab pertanyaanku. Aku semakin yakin kalau dia memang menyembunyikan sesuatu dariku.
"Seberapa sayang Kakak sama aku?" tiba-tiba Jerry bertanya. Menatapku serius. Aku kaget. Terdiam sejenak. Kenapa dia bertanya seperti itu?
"Aku nggak tahu perasaan yang aku punya saat ini seperti apa? Kadang aku bersyukur bisa tertawa lepas saat bersamamu. Aku juga sakit melihatmu berbagi tawa dengan gadis lain. Aku tidak punya alasan untuk meninggalkanmu. Aku tidak punya alasan kenapa bisa bertahan sampai detik ini. Tapi aku punya satu harapan untuk kamu, perubahan."
Aku bangkit dari duduk. Hendak pergi meninggalkan Jerry yang masih diam. Aku takut obrolan kami makin mendalam. Dan aku merasa tidak enak karena ini di kafe.
"Kak Yoora" tiba-tiba Jerry ikut berdiri, mencengkram pergelangan tanganku.
"Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersama Kakak. Meskipun mungkin hanya sebentar."
Perkataan Jerry sontak menghentikan langkahku. Aku menoleh. Apa yang baru saja dia katakan?
"Apa maksudmu?" tanyaku lirih seraya melepas cengkraman tangannya.
"Aku....." Jerry tidak meneruskan perkataannya. Dia menunduk.
"Jerry, tolong jawab" Aku berkata sekali lagi. Tapi Jerry masih tetap diam. Aku melihat ada raut kesedihan di wajahnya.
Membuatku semakin yakin kalau ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.
Beberapa saat kemudian, dia menatapku dengan wajah iba.
"Maaf, Kak. Aku ke kampus dulu" Jerry melangkahkan kakinya, meninggalkanku dengan berjuta pertanyaan.
Aku bingung. Dan aku sengaja tidak mengejarnya. Karena aku tahu, tidak mudah bagi seseorang untuk berbagi cerita. Sekalipun itu dengan orang terdekat.
Suatu saat nanti Jerry pasti bicara jujur tanpa aku minta. Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya.
~💚Pricilla Hwang💚~



Book Comment (579)

  • avatar
    Satu Dalam Sejuta

    good

    4d

      0
  • avatar
    FazriAmin

    buku nya bagus

    12d

      0
  • avatar
    SuailyGerard

    ia hanya sebatas cantik tetapi tidak memiliki hati yang sangat menyakiti mungkin hanya bukan dia yang dihati andai saja bumi bisa diputar dan memiliki hati yang terbuka bagi setiap orang yang sangat saling melengkapi dan terus berjuang untuk diri sendiri

    17d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters