logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part 7 Berusaha Bangkit

Part 7
Aku, Mbak Dewi, dan Mbak Steffy yang baru saja selesai memakaikan kain di tubuh bayi mungil itu saling berpandangan. Tak lama tampak seraut wajah seorang perempuan setengah baya muncul di depan pintu kamarku. Wajah itu tak lain adalah Bu Dian pemilik kosan ini. Dengan tangan yang bertolak di pinggang dan wajah memerah, ia pun memulai ceramahnya di hadapan kami bertiga.
“Pokoknya saya tidak mau tahu, sekarang juga kamu harus meninggalkan tempat ini. Saya tidak mau tempat ini dihuni oleh anak haram!” cecarnya
Aku hanya mampu tertunduk lesu. Di belakangnya telah berkerumun penghuni kos yang lainnya. Tak dapat dihindari lagi ucapan-ucapan sinis penuh kebencian keluar dari mulut mereka. Mbak Dewi yang mencoba memberikan penjelasan pada Bu Dian pun ta lepas dari caci makinya. Tak ayal, Mbak Stefy yang sudah menolongku pun terkena imbasnya.
Dengan penuh penyesalan, aku pun meminta maaf pada Mbak Stefy yang telah menolongku. Air mata tak henti mengalir saat harus bersiap meninggalkan tempat ini.
“Kesalahan bukan untuk diulang. Mbak harap kamu bisa menjadi orang yang baik setelah kejadian ini. Begitu pun bayi ini, semoga kelak menjadi anak yang berguna,” jawab Mbak Steffy saat aku meminta maaf padanya.
Aku memeluk Mbak Steffy, kebaikannya tak akan pernah aku lupa. Dibantu dengan Mbak Dewi, aku melangkah keluar dari kamar kos ini sambil menggendong bayiku yang belum sempat diberi nama. Tatapan sinis serta sindiran pedas mengiringi langkahku. Tak hanya itu, sorakan dengan nada menghina pun terdengar dari lantai dua gedung kos yang baru tiga bulan ini aku tempati.
***
“Dek, apa kamu nggak pengen pulang ke rumah orang tuamu?” tanya Mbak Dewi.
Tatapanku menerawang jauh saat mendengar ucapan Mbak Dewi. Rasa rindu pada Bunda kembali menyeruak di batin ini, terlebih pada Tarifah adik semata wayangku.
“Entahlah, Mbak. Di satu sisi aku merindukan mereka, tapi aku takut dengan Ayah,” jawabku sambil menyusui bayiku.
Mbak Dewi menghentikan kegiatannya menyusun barang-barangku yang baru saja kami angkut ke sini. Setelah diusir dari kosan kemarin, kami memutuskan untuk menyewa sebuah bedeng yang berjarak sekitar dua kilometer dari kampus Mbak Dewi.
Aku tak ingin jauh dari kampus ini karena sudah merasa nyaman dengan pekerjaan baruku. Tak sedikit teman-teman Bu Rahmi yang memberiku pekerjaan menulis. Bahkan ada salah seorang dari mereka yang menawarkan pekerjaan untuk menjadi ghost writer di sebuah perusahaan milik temannya yang baru berkembang. Kesempatan ini tak ingin ku sia-siakan karena upah yang lumayan tinggi bisa didapat dengan mudah.
Di bedeng ini, tidak semua penghuninya mahasiswa, tapi ada juga yang bekerja. Kepada pemilik bedeng kami menceritakan hal yang sebenarnya, berharap tak ada lagi kejadian seperti yang lalu. Beruntung ia bisa menerima keadaanku. Begitupun dengan penghuni yang lain.
“Coba sesekali kamu hubungi mereka,” saran Mbak Dewi.
“Bagaimana jika mereka masih menolak?” tanyaku sambil menidurkan bayiku.
“Coba terus sampai mereka luluh. Biar bagaimanapun kewajiban kita sebagai anak adalah berbakti kepada orang tua,’ jawabnya sambil memandangi sosok mungil yang ada di hadapannya itu.
“Dia cantik. Kita belum memberinya nama,” lanjutnya.
“Kisha belum kepikiran, Mbak,” jawabku.
Aku menyandarkan tubuhku di dinding. Rasa lelah karena habis melahirkan tak sebanding dengan lelahnya jiwaku dengan semua permasalahan ini. Entah sampai kapan jiwa ini sanggup bertahan dengan peliknya kehidupanku.
“Gimana kalau kita kasih nama Rayya. Rayya Raima Haniyah. Artinya sinar kebahagian yang lemah lembut," tanya Mbak Dewi antusias.
“Semoga kelak ia menjadi perempuan yang menyinari kebahagiaan bundanya, dan menjadi sosok yang lemah lembut dan menentramkan hati semua yang dekat padanya,” lanjutnya sambil mencium kening bayi merah itu.
Aku tersenyum melihat tingkah Mbak Dewi. Ia yang bukan siapa-siapa bagiku, tapi begitu menyayangi kami seperti saudaranya sendiri. Seandainya saja ayah dan bunda pun bisa menyayangiku dan bayi ini seperti Mbak Dewi. Ah, cepat kuusap air bening yang mengalir di pipiku.
“Jangan menangis. Jika kamu benar-benar mau bertobat karena-Nya, Insya Allah akan ada jalan keluar dari semua masalah ini.” Mbak Dewi mengelus lenganku sambil tersenyum.
***
Hari ini aku membuat janji dengan salah satu perusahaan yang hendak merekrut menjadi penulis bayangan. Dengan iming-iming upah cukup fantastis menggodaku yang memang sedang butuh biaya banyak. Gegas kukunci pintu bedeng dan menitipkannya pada pemilik bedeng. Kemudian memanggil becak yang sedang mangkal tak jauh dari bedeng ini. Dengan menggunakan kereta tak berkuda ini lumayan menghemat waktu dan mampu melindungi kami dari sengatan matahari. Walaupun masih harus terpapar debu jalanan yang banyak berterbangan.
Biasanya aku menitipkan Rayya pada pemilik bedeng. Wanita tua yang sudah menjanda selama sepuluh tahun itu selalu senang jika bermain dengan Rayya. Itu bisa mengurangi rasa rindunya pada cucu-cucunya yang semuanya tinggal di luar kota. Namun, kali ini aku sengaja membawa Rayya untuk sekalian jalan-jalan di mall.
Aku harus menaiki bus Trans Musi untuk menuju kantor perusahaan tersebut. Menyeberangi Sungai Musi dengan melewati Jembatan Ampera sudah menjadi rutinitasku semenjak beberapa bulan ini. Ada kesenangan tersendiri saat melewati jembatan yang dibangun di zaman penjajahan Belanda ini.
Melihat kapal tongkang besar bermuatan batubara yang sedang melintas di Sungai Musi serta perahu ketek yang banyak berlalu lalang di sana merupakan hal yang jarang kulakukan saat masih kecil dulu. Kebahagian yang sangat berkesan jika ayah mengajak kami melintasi jembatan ini dulu. Tarifah yang masih kecil akan berteriak riang melihat perahu-perahu kecil itu.
Semua itu benar-benar membuatku rindu pada mereka. Rindu pada perintah ayah yang selalu menyuruhku membuatkannya kopi. Rindu pada bunda yang selalu mengomel jika aku bangun kesiangan. Rindu pada Tarifah yang manja dan selalu mengajakku bermain.
Gegas aku turun saat bus ini sampai di sebuah mall besar di kota ini. Mbak Dewi yang ternyata telah menungguku segera mengambil Rayya dari gendonganku. Kuserahkan semua barang bawaanku padanya dan segera pamit untuk ke kantor yang tak jauh dari sini. Sengaja aku membawa Rayya karena memang sudah janji dengan Mbak Dewi. Setelah semua selesai, aku kembali menemui Mbak Dewi dan Rayya.
“Gimana, Dek?” tanya Mbak Dewi saat kami sedang menikmati makanan di sebuah restoran cepat saji di mal ini.
“Alhamdulillah, Mbak. Mereka memberiku proyek yang lumayan besar dengan upah yang lebih dari cukup. Mungkin nanti aku bisa membeli motor bekas agar lebih mudah untuk bepergian,” jelasku pada Mbak Dewi.
“Bagus, deh. Mbak senang dengarnya, tapi kamu juga harus jaga kesehatan ya. Kasihan Rayya kalau kamu sakit,” nasihatnya.
“Iya, Mbak,” jawabku sambil tersenyum.
“Bentar lagi Mbak wisuda. Setelahnya Mbak mau pulang kampung. Mbak belum tahu balik lagi ke sini atau tidak. Kamu jaga diri baik-baik, ya,”
“Iya, Mbak. Akan Kisha ingat selalu pesan Mbak. Bagaimana kalau ki--,” ucapanku terputus saat mata ini menangkap suatu pemandangan di depanku.
Dua sosok yang baru saja melintas di benakku kini sedang melintas di depanku. Wanita yang selalu ingin kupeluk sedang berjalan tak jauh dariku bersama seorang gadis yang selalu ingin dimanja.
“Mbak Kisha!” teriak gadis itu membuatku terpatung.

Book Comment (112)

  • avatar

    sangat bagus

    24d

      0
  • avatar
    HasminaNur

    cerita a bgus bgt,,,terharu bgt n ccok lah

    28d

      0
  • avatar
    YarabiBimbi

    keren

    31/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters