logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part 5 Melahirkan di Kamar Mandi

Part 5
“Saya mendapat laporan dari ibu-ibu ini, katanya Ustadzah Dewi menampung perempuan yang hamil tanpa suami. Apa itu benar?” tanya seorang lelaki yang mengenakan kemeja biru itu.
Aku terdiam saat mendengar pertanyaan ketua RT itu. Perlahan kaki ini melangkah mundur dan masuk ke kamar. Jantungku berdegup kencang menahan ketakutan ini. Keringat dingin mulai bercucuran di dahiku. Tak dapat kubayangkan jika mereka mengusirku dari sini. Akan kemana lagi aku harus tinggal.
“Iya, benar, Pak,” jawab Mbak Dewi tenang. Seolah ia sudah tahu jika ini pasti akan terjadi.
“Kami tidak mau di kampung ini ada pezina, Ustadzah. Tolong suruh dia pergi dari sini atau kami yang akan menyeretnya pergi!” ucap salah seorang dari mereka dan yang lain pun bersahutan membenarkan.
Hatiku kalut. Kaki ini pun tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku jatuh luruh ke lantai. Batinku menjerit pilu tak sanggup lagi menerima cobaan ini.
“Tenang ibu-ibu!” Pak RT mencoba menenangkan ibu-ibu yang sudah mulai emosi itu. Suasana menjadi tenang kembali.
“Jadi karena tuntutan dari warga di sini saya minta Ustadzah suruh perempuan tersebut untuk pergi dari kampung kita ini,” lanjutnya.
“Tapi, Pak. Kisha hanya sementara saja di sini. Setelah melahirkan nanti, ia akan saya pulangkan ke rumahnya. Jadi saya minta pengertian dari Bapak juga Ibu-ibu di sini,” jelas Mbak Dewi penuh kharisma dan tetap tenang.
“Tidak bisa, Ustadzah. Kami mau dia pergi sekarang juga!” teriak Bu Ida yang sudah sangat kuhapal suaranya.
Teriakannya pun disambut oleh ibu-ibu dan warga yang lainnya. Suasana menjadi panas. Bahkan kudengar seperti ada yang melempar sesuatu ke arah Mbak Dewi.
Hatiku pun semakin kalut dan takut. Ingin keluar membantu Mbak Dewi, tapi takut menjadi sasaran amuk massa di sini. Aku hanya mampu meringkuk di belakang pintu kamar sambil memeluk kedua lutut ini. Suara teriakan dan caci maki dari luar membuat telingaku panas. Namun, tak lama kemudian suasana kembali hening. Tak lagi kudengar suara teriakan atau caci maki.
“Kisha?”
Suara Mbak Dewi mengagetkanku. Kubuka pintu kamar dan menghambur ke pelukannya. Tangisku semakin deras. kutumpahkan semua sesak ini di pelukannya.
“Maafkan Mbak. Mbak nggak bisa lagi menghalau massa. Mereka meminta agar kamu pergi dari sini,” lanjutnya sambil mengusap punggungku.
“Kisha mengerti, Mbak. Kisha akan pergi dari sini,” jawabku berusaha tegar walaupun diri ini masih ragu hendak kemana.
Aku melepas pelukan Mbak Dewi. Kuhapus sisa air mata yang menggenang di pipi. Kukemasi semua pakaian ke dalam tas besar sambil sesekali mengusap air mata yang tak juga mau berhenti mengalir. Terkadang aku mengutuk semua yang terjadi. Ini adalah kesalahan kami berdua, tapi kenapa hanya aku yang selalu mendapatkan hukuman dari-Nya? Hanya ku yang selalu dihantui rasa takut, sedangkan dia bisa melenggang bebas tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Kisha, mulai sekarang kamu harus pakai pakaian seperti ini ya.” Mbak Dewi menyerahkan beberapa lembar pakaian miliknya padaku.
“Mbak ingin kamu menutup auratmu. Bukan hanya untuk menutupi kehamilanmu. Bertobat adalah jalan keluar terbaik untuk semua masalahmu. Mbak yakin suatu saat kamu akan menemukan jalan yang terbaik,” lanjutnya.
Aku memeluk Mbak Dewi dan berterima kasih padanya. Kukenakan pakaian yang tadi diberikannya padaku. Kusematkan hijab di atas kepala ini dan menutupi semua auratku. Mbak Dewi tersenyum melihat penampilan baruku.
“Dek, kamu mau pergi kemana?” tanya Mbak Dewi yang sedari tadi duduk dipinggir tempat tidur sambil memperhatikan gerakanku.
“Kisha juga belum tahu, Mbak,” jawabku ikut duduk di sampingnya.
Pikiranku menerawang jauh. Masih belum tahu kemana harus pergi dan apa yang akan kulakukan nantinya.
“Sebenarnya, Mbak mau ajak kamu ke kampung, tapi Mbak masih sibuk banget. Kamu ngekos aja di daerah seberang di dekat kampusnya Mbak. Biar Mbak juga bisa ngurusin kamu. Lagian Mbak sudah janji mau ajak kamu ketemu dengan teman Mbak,” jelas Mbak Dewi.
“Tapi, Mbak. Aku nggak punya uang untuk ngekos,” jawabku sambil menunduk.
Selama ini aku sudah banyak merepotkan Mbak Dewi. Rasanya tak patut jika aku harus meminta bantuannya lagi.
“Mbak ada sedikit tabungan untuk biaya hidupmu sementara. Nanti bisa kamu ganti kalau sudah kerja,” jawabnya sambil mengelus pundakku.
***
Hari ini Mbak Dewi mengajakku menemui temannya. Ia menjemputku di tempat kos yang kemarin memilihkannya untukku. Lokasinya tidak jauh dengan kampus Mbak Dewi, yaitu di belakangnya. Mbak Dewi juga yang membayarnya untuk tiga bulan ke depan. Kamar kos seluas 12 meter persegi ini disekat menjadi tiga ruangan. Ruang tamu, kamar tidur, dan kamar mandi. Kepada ibu kos, Mbak Dewi mengatakan bahwa aku adalah sepupunya yang berasal dari kampung dan hendak mencari pekerjaan.
Kami sampai di kampus Mbak Dewi tepat pukul 10 pagi. Universitas yang dikenal sebagai kampus hijau ini terlihat sangat luas. Memasuki kampus ini mengingatkanku akan cita-cita yang harus kandas karena masalah ini. Cita-citaku menjadi perawat dan sudah mendaftar di Sekolah keperawatan yang berada di belakang rumah sakit yang bersebelahan dengan kampus ini.
Mengingat hal itu, tak sadar setetes air bening jatuh di pipiku. Cepat kuusap pipiku sebelum Mbak Dewi menyadarinya. Tampak dari jauh seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun mendekati kami. Ternyata dialah teman Mbak Dewi itu.
Setelah Bu Rahmi--teman Mbak Dewi--menjelaskan apa yang harus kulakukan, kami pun berpisah. Mbak Dewi mengantarku kembali ke tempat kos. Tidak hanya itu, ia pun meminjamkan laptopnya yang lama untuk mediaku menulis. Beruntung aku dipertemukan dengan Mbak Dewi yang menolongku dengan tidak tanggung-tanggung.
Waktu berlalu, pekerjaan yang diberikan Bu Rahmi mampu aku selesaikan dengan baik. Ia pun merasa puas dengan pekerjaanku sehingga kemudian merekomendasikan kepada teman-temannya yang lain. Bayaran yang mereka berikan pun lebih dari cukup untuk biaya hidupku hingga bisa menabung sedikit demi sedikit. Berangsur aku pun bisa mengembalikan tabungan Mbak Dewi yang dipinjamkan dulu.
Usia kandunganku kini sudah memasuki bulan kesembilan. Mbak Dewi selalu mewanti-wanti agar aku selalu menjaga kesehatan dan cepat mengabarinya jika ada sesuatu yang gawat. Tinggal di kosan ini lebih baik bagiku karena semua penghuni kosan yang kebanyakan anak kuliahan. Mereka selalu sibuk dengan kegiatannya dan jarang berada di kamarnya. Dengan begitu aku jarang bertemu dengan mereka sehingga kehamilanku dapat tertutupi dengan baik. Terlebih sekarang aku menggunakan hijab yang lebar dan panjang.
Malam ini aku sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh teman Bu Rahmi. Hari sudah sangat larut. Di luar pun sedang turun hujan yang sangat deras. Jam di laptop ini menunjukkan pukul satu dini hari. Tugas ini harus diserahkan esok pagi, jadi aku menyelesaikannya malam ini juga. beruntung aku dikaruniai otak yang encer, sehingga bisa mengerjakan semuanya dengan lancar.
Tepat saat aku menutup laptop, tiba-tiba saja perut ini terasa mulas. Namun, karena cuaca yang sedang dingin, malas rasanya harus menunaikan hajat di kamar kecil. Aku berusaha menahannya sebisa mungkin, tapi kusadari ada air yang merembes di kaki ini.
“Wah, kok bisa aku ngompol,” batinku saat kulihat air yang keluar semakin banyak.
Karena terlanjur basah, akhirnya aku ke kamar kecil sekalian untuk menunaikan hajat tadi. Terlebih rasa mulas ini semakin menjadi. Tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi .Segera kulihat ke arah kloset, sesosok bayi mungil ada di sana.s

Book Comment (112)

  • avatar

    sangat bagus

    24d

      0
  • avatar
    HasminaNur

    cerita a bgus bgt,,,terharu bgt n ccok lah

    28d

      0
  • avatar
    YarabiBimbi

    keren

    31/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters