logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Laki-Laki Misterius

Aku menjadi tak tenang melihat penampakan di bawah pohon jambu. Rambut hitam panjang menutupi wajah dan pakaian putih yang lusuh terpampang jelas dari balik kaca jendela. Aku masih terpaku menyaksikan perempuan itu.
Itukah yang dinamakan kuntilanak? batinku.
Mulutku yang bergetar mulai berkomat-kamit membaca doa dan surah pendek yang aku hafal. Kupenjamkan mata dan bergeser ke belakang pintu dengan tubuh yang bergetar. Berani-beraninya itu s*tan menampakkan diri kepadaku.
Suara perut memanggil-manggil minta jatah diisi. Ah, tak tahu situasi perutku ini. Rasa lapar datang di waktu yang tidak tepat. Sebaiknya aku keluar mencari makan dulu sambil menunggu Toni daripada harus ketakutan seperti ini, tetapi di luar sana ada kuntilanak sedang berdiri menatap ke arah kosanku.
Astaghfirullah hidupku jadi diteror seperti ini, tak pernah kubayangkan sebelumnya. Lebih baik aku baku hantam dengan manusia daripada harus menghadapi s*tan itu.
Aku mencoba mengintip lagi dari jendela. Ternyata ia sudah tak ada. Perasaanku sedikit lebih tenang. Ini saatnya aku kabur sebelum ia datang mengganggu lagi.
Kuraih ponsel dan beberapa lembar uang dalam dompet. Waktunya untuk membeli makan, sekalian akan kubelikan untuk Toni. Perut harus sudah terisi penuh sebelum berhadapan lagi dengan kuntilanak itu.
Namun, saat aku hendak membuka pintu, tiba-tiba saja bulu kuduk berdiri seperti ada yang meniup tengkukku. Otomatis bulu-bulu di tangan pun ikut berdiri. Tanganku menjadi dingin dan gemetar.
“Aagiiit. Bisikan memanggil namaku di telinga seperti angin yang berlalu.
Astaghfirullah, ucapku, memasukkan uang dan ponsel ke saku celana yang ternyata tak mau masuk karena hebatnya getaran tanganku.
“To--toloong. Suara rintihan seorang perempuan terdengar dari dalam kamar mandi.
Ternyata ia pindah dari bawah pohon jambu ke kamar mandi kosku. Namun, aku tak berani melihatnya. Semakin tak karuanlah detak jantung ini. Keringat mulai bercucuran dari dahi.
“Totoloong aku. Rintihan itu terdengar lagi tanpa ada wujudnya.
Aku ingin segera keluar, tetapi mendadak pintu tidak bisa dibuka. Berkali-kali aku menarik tuasnya, tetapi pintu itu tetap bergeming. Aku semakin panik terlebih lagi rintihan itu terus terdengar.
“Kenapa pintu ini enggak bisa dibuka, sih,” gumamku.
Ah, ternyata terkunci saat aku memutar ke arah kanan kuncinya. Akhirnya pintu terbuka, langsung saja aku segera melarikan diri dari sana.
Kapan aku menguncinya? Seingatku belum dikunci tadi, batinku.
Tiba diujung gang, aku teringat tidak mengunci pintunya, tetapi rasanya sudah kututup. Biarlah, sepertinya tak akan ada orang ke sana.
Aku menoleh ke belakang. Mengamati kosanku dari ujung gang. Ada seorang laki-laki berdiri di depan kosan melihat ke arahku.
Jenis demit apa lagi ini? kataku kepada diri sendiri.
Tak kuhiraukan laki-laki yang berdiri di depan kosan, mungkin itu demit juga. Banyak sekali demit penghuni kosan itu. Aku bergidik ngeri membayangkannya. Sebentar mataku menengok kiri hendak menyeberang. Saat aku melihat ke belakang lagi laki-laki itu sudah tak ada. Aku semakin merinding.
Git, mau ke mana? tanya Bang Tio saat aku tiba di seberang jalan.
Beli makan, Bang, sahutku.
“Warung nasi itu tutup. Di mana lagi ya, Bang? tanyaku.
“Tuh ada juga yang jual pecel lele, Git, kata Bang Tio menunjuk ke arah penjual pecel lele yang tak jauh dari warungnya.
Akhirnya, kuputuskan membeli pecel lele saja. Hampir setengah jam aku mengantri, ternyata ramai sekali pembeli di sini. Wajar saja, yang jual pecel lele daerah sini sepertinya cuma di sini. Mungkin ada yang lain, tetapi jaraknya cukup berjauhan.
Aku kembali ke warung Bang Tio, niat hati ingin ngopi dulu sambil nunggu Toni. Ternyata ia sudah ada di warung Bang Tio.
“Eh, dari mana, sih, Git?” tanya Toni, wajahnya terlihat tegang.
“Beli makan. Kamu lama banget, keburu tuh kuntil ganggu aku lagi, ucapku memberikan sebungkus pecel lele beserta nasinya.
“Tadi aku udah ke kosan. Aku kira kamu ada di dalam. Aku panggil dan mengetuk pintu, eh, malah dibalas ketukan pintu juga dari dalam. Merinding, langsung lari ke sini, tutur Toni.
“Nah, kan, bener yang kubilang. Benar-benar ngejerumusin aku biar diganggu tuh kuntil. Dapetin kosan sarang demit, ujarku kepada Toni.
“Aku enggak tahu, Git. Kukira kosan itu aman-aman aja. Sorry, deh, ucap Toni.
Aku tak bisa menyalahkan temanku ini. Kesalahanku juga tak melihat dalam kosannya sebelum membayar uang sewa. Terlalu lelah mencari kosan yang dekat dengan tempat kerja, ke sana, ke sini, tak dapat juga. Saat Toni dapat kosan untukku, tak pikir panjang langsung saja kubayar. Pelajaran juga untukku harus lebih teliti kalau melakukan sesuatu.
Aku dan Toni menyantap pecel lele yang sudah dibeli tadi sebelum pulang ke kosan sarang demit itu. Kami mengobrol dulu sambil ngopi di warung Bang Tio.
Aku heran bisa-bisanya Toni tak tahu kosan itu berhantu. Padahal ia tiap hari di sini. Memang, sih, cuma siang saja ia di sini dan pasti lebih fokus ngurusin bengkel daripada mendengar cerita kosan itu. Sementara Bang Tio memang dua puluh empat jam di sini, wajar kalau ia lebih tahu.
Setelah selesai aku dan Toni pamit pulang. Toni mengendarai motornya sedangkan aku dibonceng. Aku cerita ke temanku ini bahwa tadi ada sosok demit laki-laki juga.
Ia terus meminta maaf karena sudah mendapatkan kosan berhantu ini untukku. Padahal aku sudah bilang bukan salahnya juga, ini semua kecerobohanku juga.
Toni berjanji akan menemaniku untuk beberapa malam. Aku merasa tenang, setidaknya kalau ada teman kuntilanak itu mungkin tak akan mengganggu.
Aku berpikir lagi untuk mencari kosan baru dan meminta Toni membantu. Akan tetapi, ia enggan mencarikan kosan lagi. Katanya ia takut salah memilih kosan lagi untukku. Biarlah nanti kucari sendiri saja.
Seperti biasa aku menyalakan televisi agar tak terlalu sepi. Jam menunjukkan pukul sepuluh. Sebenarnya ini masih sore buat aku bahkan di kosan sebelumnya aku selalu tidur di atas jam dua belas. Di sini waktu Magrib saja sudah mencekam, sudah seperti tengah malam. Tak ada orang juga yang membuat keadaan sepi mencekam. Paling cuma beberapa orang lewat yang menggunakan gang ini sebagai jalan pintas karena jalan raya di depan satu arah. Jadi, terkadang orang lewat gang ini agar lebih cepat ke jalan lain.
Kami sibuk dengan ponsel masing-masing. Pintu sudah kututup. Aku berbaring di kasur sedangkan Toni menyender ke tembok dekat pintu.
Srek srek srek.
Terdengar suara seperti orang menyeret kaki di luar. Aku dan Toni terkejut dan beradu pandang. Suara itu modar_mandir di depan pintu. Untung saja tirai jendela sudah ditutup. Perlahan Toni mendekat ke arahku.
“Suara apa itu, Git? bisiknya.

Book Comment (245)

  • avatar
    KarembongCebong

    Cerita nya serem tapi judulnya menarik👍👍

    13/04/2022

      0
  • avatar
    riskarufia'h

    baru memulai

    18d

      0
  • avatar
    WennyWennymarjeni

    lumayan

    21d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters