logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Namaku, Andra

Jane merasa tubuhnya tak bertenaga dan siap luruh kapanpun. Lututnya sudah bergetar hebat. Ini kali kedua Jane merasa seperti ini, sejak perkenalan di panti asuhan waktu itu. Jane tidak suka menjadi pusat perhatian. Jane merasa lantai yang dipijaknya bak lumpur yang justru menariknya lebih dalam ketika dia berusaha mengangkatnya.
“Angkat dagumu, sayang. Tatap ke depan! Banggalah pada dirimu. Jangan biarkan seorangpun merasa berhak menindasmu!”
“Mama,” gumam Jane. Pelan Jane mengangkat kepala yang semula menunduk dalam. Ditatapnya satu persatu setiap mata yang saat ini menatapnya, kemudian tersenyum. Tatapnya kini beralih ke depan.
“Sini Jane!” Miss Siska mengulang panggilannya. Di sampingnya berdiri seorang bocah laki-laki dengan senyum culas yang juga siswa baru sepertinya.
Jane mengangguk.
“Perkenalkan diri kalian! Jane? Silakan!” Miss Siska mengangguk.
“Biar aku dulu, Miss,” serobot bocah laki-laki itu.
Miss Siska tidak serta merta memberikan kesempatan pada bocah laki-laki itu. “Bagaimana Jane?” Miss Siska menanyakan pendapat Jane.
“Silakan saja, Miss.” Jane tersenyum.
“Baik, silakan Andra!” Miss Siska mengangguk mempersilakan.
Dan si bocah laki-laki tidak tahu diri itu, menatap ke depan dengan pongah tanpa mengucap terima kasih terlebih dulu pada Miss Siska.
“Namaku, Andra. Aku terpaksa pindah sekolah, em mungkin ini yang ke enam sejak pertama masuk elementary school,” katanya bangga.
Jane menaikkan alis, sungguh heran. Bocah aneh, batinnya. Sejak kapan pindah sekolah jadi semacam prestasi. Bagaimana mungkin dia tampak demikian bangga.
“Semoga ayahku benar tentang sekolah ini,” lanjutnya. “Yang katanya paling bagus, di kota ini tentu. Haha.” Tawanya terhenti saat Miss Siska berdehem.
“Yeah, semoga kita bisa berteman. Meski mungkin itupun tak lama,” katanya mengakhiri perkenalan.
Jane memperhatikan tatapan teman-temannya sangat berubah, yang semula tampak antusias kini menjadi entahlah, heran atau muak barangkali. Jane berdehem, mengikuti cara Miss Siska untuk memperoleh perhatian temannya.
“Selamat pagi, saya Jane. Mohon kerjasamanya,” Jane mengakhiri perkenalan yang teramat singkat dengan senyum.
“Rumahnya mana?” tiba-tiba seorang bocah laki-laki berdiri dari tempat duduknya dan segera dapat sorak ‘huu’ dari seluruh kelas.
“Kamu ingin menjawabnya?” bisik Miss Siska. Jane menggeleng.
“Baik, Miss rasa perkenalan cukup. Bisa kalian lanjutkan sendiri nanti saat rehat,” putus Miss Siska, lalu mempersilakan kami berdua duduk kembali. Andra memperoleh tempat duduk di depan. Barangkali pesanan ayahnya juga karena dari tampangnya sepertinya dia anak orang kaya, batin Jane. Sementara Jane duduk di bangku nomor 2 dari belakang. Tidak apalah, toh hasil belajar tidak ditentukan dari posisi bangkunya. Setidaknya begitu cara Jane menyemangati diri sendiri.
“Hei! Jane! Kenalkan aku Tomi, anak paling ganteng di kelas ini,” katanya kocak. Jane tersenyum.
“Hei! Jangan tersenyum padanya, Jane! Hati-hati!” seorang anak perempuan merangkulnya. “Aku Brenda.
Dia akan memanfaatkanmu,” lanjutnya memperingatkan. Jane kembali tersenyum.
“Jangan menjatuhkan teman gitu dong!” Tomi memasang tampang memelas, kocak sekali, membuat Jane terkekeh. Dia pelawak barangkali, duga Jane.
“Hei! Kau belum menjawab pertanyaannya tadi. Di mana rumahmu? Punya rumah kan?” tiba-tiba Andra datang merusak suasana.
Kekehan mereka berhenti. Namun mereka satu persatu menatap Jane kini. Seolah berharap dia punya semacam pukulan telak untuk menghentikan kesombongan Andra. Sayangnya Jane tidak bisa. Jane tidak punya apapun yang bisa dibanggakan kini, bahkan keluargapun tidak. Apa yang harus Jane katakan sekarang.
“Baiklah, katakan jika benar kalian ingin tau rumahku,” Jane memberikan diri sekaligus mencoba berdalih.
“Ya, katakan Jane. Aku ingin tau,” tulus ucap Tomi.
Jane menghela napas. “Aku sesungguhnya tidak tau apakah tempat tinggalku sekarang bisa disebut rumah. Aku tinggal di panti asuhan.” Jane menunduk, tidak berani menatap mata teman-temannya. Entahlah, Jane tidak takut dicemooh Andra. Namun Jane tidak ingin ditinggalkan teman.
Sesuai dugaan Jane, Andra tertawa sangat keras, tampak puas sekali. “O kau gelandangan rupanya,” katanya mengakhiri tawa, sekaligus percakapannya. Setelah itu dia pergi bersama beberapa teman yang mungkin sekarang berstatus sebagai bawahannya. Tiba-tiba dia menoleh.
“Kalian juga boleh ikut denganku kalau mau. Aku traktir kalian semua!” katanya seraya menatap Tomi, Brenda dan beberapa teman yang bersama Jane. Beberapa ikut, beberapa yang lain termasuk Tomi dan Brenda tetap tinggal. Brenda mengusap punggung Jane. “Tidak apa Jane, jangan pikirkan!” hiburnya. Jane hanya mengangguk, benar-benar bahagia. Kini Jane tahu apa artinya teman, sesuatu yang samar dia rasakan dulu.
“Masing-masing kita mempunyai kewajiban dari Sang Pencipta.” Jane tersenyum mengingat percakapannya dengan suster Bernada malam itu.
Bisa jadi sekarang saat Jane memulai segalanya. Tidak ada orang tua yang bisa dia banggakan sekaligus melindungi, juga menjadi tempatnya mengadu. Tidak ada rumah tempat ke mana dia pulang, pun sebuah kamar sendiri tempatnya mengunci diri untuk mendengarkan musik kesukaannya, tempatnya menutup mata di malam hari dan membuka mata kembali di pagi hari. Setidaknya Jane masih punya suster Bernada, Mirna dan teman sekolah meski hanya satu dua karena Jane merasa perubahan besar pada tatapan mata mereka.
“Awas Jane!”
Terlambat! Tubuh Jane menghantam lantai dengan cepat. Jane tengah asyik tenggelam dalam dunia dan pemikirannya saat kaki Andra sengaja dipasang menghalangi jalannya.
“Makanya lihat jalan! Susah berjalan tegak ya kalau jadi orang miskin!” hina Andra puas. Sebenarnya beberapa dari mereka yang berada di sekitar Andra kaget dan tampak tidak suka dengan apa yang dilakukan Andra. Namun Jane tahu, mereka juga tidak punya alasan untuk membelanya. Dan sungguh itu tidak masalah.
“Kamu tidak apa?” Brenda membantu Jane berdiri.
“Tidak apa-apa, Brenda. Sungguh. Tidak perlu kuatir,” jawab Jane yakin. Jane kembali berdiri tegak seraya membersihkan roknya.
“Aku hanya perlu membiasakan diri,” gumamnya.
“Apa Jane? Kamu bilang apa barusan?” tanya Brenda.
“Tidak. Aku tidak ngomong apa-apa kok. Ayo!” Jane balas merangkul Brenda. Sama sekali tidak merespon apalagi membalas Andra. Tentu ini membuatnya makin penasaran.
"Orang miskin aja belagu!" berkata begitu Andra bangkit, menyeringai. Dia memegang sesuatu di tangannya. Beberapa teman di sekitarnya terkesiap. Namun Jane sama sekali tidak mengerti. Dia masih berjalan berangkulan bersama Brenda di sepanjang koridor sekolah seraya bercanda. Pun sama sekali tak menduga saat Andra berjalan cepat ke arahnya. Sayangnya Andra tak menduga ada sekelompok kakak kelas yang sepertinya berjalan tergesa dan tanpa sengaja menabraknya. Tak ayal bungkusan yang ternyata sisa makan siangnya jatuh berhamburan ke lantai dan tertimpa tubuhnya sendiri. Tubuhnya yang agak tambun menimbulkan suara berdebum, membuat Jane dan Brenda berbalik cepat karena kaget.
"Aduh maaf Dik, tidak sengaja. Kami tergesa," salah seorang penabraknya mengulurkan tangan berinisiatif menolongnya berdiri. Sementara beberapa teman yang menyaksikan dan memahami situasinya justru tertawa keras. Sedang Jane dan Brenda hanya menatap bingung bercampur iba, tak mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.
Andra setengah berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sambil mengumpat sepanjang jalan. Wajahnya merah padam menahan malu.

Book Comment (56)

  • avatar
    TigabelasRedmi

    aku suka membacanya

    12d

      0
  • avatar
    DesyNatalea

    gg keren

    16d

      0
  • avatar
    GeloCikz

    anjai

    27d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters