logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Kamu

Kamu

RieStory


Chapter 1 Prolog

Siang begitu terik dan jam kerja Jane nyaris usai saat ponselnya berdering. Meski enggan keluar dari tempat kerjanya yang dingin sekaligus masih dengan setumpuk kerjaan yang rasanya memang tak kunjung usai, namun panggilan darurat membuatnya bergegas. Berita mendebarkan sekaligus menggemparkan dari salah satu rekan intelnya bahwa sejumlah besar opium coba diselundupkan dari Singapura lewat kiriman cargo yang sampai hari ini.
“Bongkar semua tanpa kecuali!” Jane mengeluarkan perintah.
Jane terus mengawasi kerja anak buahnya membongkar satu persatu muatan dengan teliti, termasuk meraba setiap inci kontainer yang membawanya. Bahkan tak menghiraukan desahan anak buahnya yang sampai menjelang malam, muatan yang dimaksud tak kunjung ditemukan sementara kiriman hari ini yang terbongkar belum juga separuhnya. Sementara rasa lelah membuat mereka mulai ceroboh. Hasilnya, semua kontainer bersih.
“Ulang!” tegas Jane.
“Tapi Bu-”
“Atau kita akan bermalam di sini,” tukas Jane santai.
Satu kontainer kembali diturunkan untuk dibongkar, tanpa bantahan, karena jika Jane sudah mengatakan. Maka itulah yang akan dilakukan. Dan, itu sungguh mengerikan. Mereka hanya bisa menyesali kecerobohannya.
Sementara di tempat lain, seseorang menunggu gelisah.
“Bagaimana bisa!”
“Tapi semua cargo tertahan, Bos!”
“Aku tidak tanya alasanmu!”
Mereka berbalik tanpa menunggu perintah, karena titah bosnya hanya punya satu arti, yakni sekarang. Jadi, tujuan mereka saat ini hanya satu, mengambil barang dengan atau tanpa paksaan. Dengan atau tanpa korban. Mereka sampai di tempat tujuan dalam 15 menit. Satu anak buah Jane yang sekedar menjalankan prosedur dengan berusaha menahan dan menanyakan tujuan mereka menjadi korban pertama. Sontak anah buah Jane mundur dan mengatur posisi seraya menunggu komando berikutnya.
Satu bidikan selanjutnya dari mereka mengenai tumpukan pakan ternak yang sedang mereka bongkar. Seperti debu yang tertiup angin, campuran pakan dengan bubuk putih kering tersebar di udara. Bingo! Tangkapan Jane telah menyatakan diri.
“Lindungi barang bukti!” titah Jane seraya mendial nomor darurat.
Baku tembak tak terhindarkan. Meski mobil polisi meraung bersahutan tanda bantuan telah tiba, Luki tak bergeming. Tak peduli keadaan kini terbalik serta teriak panik anak buahnya yang kini tercerai berai dalam beberapa pelarian. Tak ada komando apapun darinya. Pun tak menghiraukan peringatan dari pengeras suara yang menyatakan mereka sudah dikepung. 55, begitu inisial dari satu anak buahnya yang semula berlari, bingung tak mendapati si bos di sisinya. Tanpa pikir panjang dia kembali, meski tahu situasi ini tidak jauh lebih sulit dari beberapa pelarian mereka terdahulu. 55 berguling menghindari tembakan para pengejarnya, dan menarik paksa lengan bosnya. Memaksanya berlari dan melompat ke atap apartemen berikutnya, lantas dengan lincah melompat menggapai pagar besi dan menaiki tembok kamar 66 apartemen yang didisain berbeda untuk mempersulit para pengejarnya, sekaligus memudahkan mereka berlari ke arah manapun karena rooftop apartemen ini berada di tengah dan dikelilingi 5 rooftop apartemen lain. Sehingga arah mereka menjadi sulit ditebak. Namun tiba-tiba Luki berhenti dan berbalik. Dia tertawa lebar, sengaja menunggu dan menonton para pengajarnya yang kepayahan menaiki tembok. Lagi-lagi 55 dibuat bingung oleh bosnya. Seharusnya dengan mudah mereka bisa terlepas dari pengejaran mereka sejak awal. Namun justru bosnya seperti sengaja menunggu. Sampai pada akhirnya justru mereka yang salah langkah. Karena tergesa, lompatan mereka meleset. Beruntung ada satu atap pelindung jendela yang menahan tubuh mereka. Namun tak ada jalan lain kecuali melompat turun ke bawah. Dan, itu berarti bunuh diri karena rapatnya barisan petugas bea cukai dan polisi yang menanti. Tanpa pikir panjang, 55 mengangkat tubuhnya berdiri, berlari mengikuti si bos meski pijakannya belum juga seimbang benar setelah jatuh terguling akibat melompat dengan panik tadi. Buntu. Di depan mereka tembok tinggi menjulang, begitupun di kanan kiri mereka berjajar tembok belakang apartemen. Satu-satunya jalan adalah berbalik.
“Mau lari ke mana lagi kamu ha?” tiga orang berhasil menyusul,. Termasuk Jane, atasan mereka. “Angkat tangan!”
Pelan mereka angkat tangan mengikuti instruksi, entah sadar tidak ada jalan untuk lari atau hanya menunggu celah. Maka Jane tetap siaga di tempatnya, sementara anak buah Jane berlari mendekat, mendorong tubuh mereka ke tembok seraya menyepak untuk merentangkan kedua kaki mereka.
“Luki?”
“Halo, Jane. Apa kabar? Lama ya tak jumpa.” Luki tersenyum dengan gaya khasnya. Dada Jane masih berdesir, namun dia hanya sanggup menatap. Setelah segala upayanya, segala pencarian dan penantian panjangnya. Inikah kesempatan yang dia dapat? Seperti inikah pertemuan yang dia harap?
“Masih suka berlari rupanya?” sindir Jane sarkas. Tangannya bergerak memasukkan pistol yang tadi diacungkan usai anak buahnya membacakan hak Luki sebagai pesakitan.
“Apa kamu tidak?” balas Luki seraya menaikkan alisnya.
Jane kembali bersitatap dengan Luki yang juga menatapnya lekat, lantas menggeleng lemah. “Tidak lagi.”
“Yeah! Seharusnya begitu. Apalagi ada Jane junior yang menunggumu sekarang,” Luki tersenyum sinis, membuat Jane terperanjat.
“Kamu tau?”
“Kamu menikah tiga tahun yang lalu, tepatnya 5 Mei. Kamu menikah di senja hari karena itu saat yang romantis menurutmu tapi jarang orang pakai. Pernikahan yang indah…sungguh membuatku cemburu,” Luki sengaja mengucapkannya dengan lantang, membuat kedua anak buah Jane yang tengah memegang pundak Luki dan satu anak buahnya berhenti dan saling pandang. Saat inilah yang ditunggu Luki. Borgol sekaligus pegangan anak buah Jane lepas dalam sekali sentak, dan dia sudah berada di belakang Jane dalam satu lompatan. Jejaknya segera diikuti 55 yang ikut tertangkap bersamanya. Kali berikut dengan mudah mereka menghindari tembakan demi tembakan, menggapai tiang demi tiang, semakin tinggi dan jauh meninggalkan para pengejarnya.
“Maafkan aku, Jane,” gumamnya sebelum menyeringai dan meninggalkan Jane yang terlambat merespon. Meski Jane dan anak buahnya masih mendengar teriaknya, “Kamu bagus dengan seragam itu, Jane.”
“Lain kali jangan hiraukan apapun ucapannya!” tegas Jane seraya menendang udara, sebelum meninggalkan kedua anak buahnya yang masih kebingungan.

Maafkan aku, Jane. Aku tau pengorbananmu. Aku tau bagaimana kamu terluka. Namun akan ada masanya, dan itu bukan sekarang. Luki membuang pandangnya jauh ke depan. Kamu menyukai balkon ini kan? Senyumnya perih tersungging. Sesungguhnya saat Jane merasa sakit, dia jauh lebih sakit.

Sementara di balkon yang lain.
“Ada apa, Sayang?” Dewa mengarahkan kursi rodanya mendekat. Jane tersenyum, dan menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Dia memejamkan mata, meresapi harum maskulin tubuh suaminya, berharap memberi ketenangan sekaligus mengingatkan angan dan hatinya yang terus bertualang ke masa lampau. Dewa membiarkan, membiarkan Jane bersandar juga membiarkannya menyelesaikan dilema batinnya meski tahu bukan dia yang sedang memenuhi angannya sekarang.
Apa yang kamu lakukan, Luk? Kenapa kamu kembali dengan cara seperti ini, Luk? batin Jane perih. Luka itu rasanya kembali menganga.

Ini semua karena kamu, Jane. Karena kamu. Aku akan lakukan apapun. Ya Tuhan, andai kesempatan itu ada. Luki mengusap kalut wajahnya, seperti selalu dilakukannya. Namun segera dihentikannya, kala teringat olehnya kalimat larangan Jane, “Aku saja, karena tanganmu tak akan mampu menghapus resahmu.” Seperti selalu dikatakannya dulu. Ah, Jane!

Book Comment (56)

  • avatar
    TigabelasRedmi

    aku suka membacanya

    12d

      0
  • avatar
    DesyNatalea

    gg keren

    16d

      0
  • avatar
    GeloCikz

    anjai

    27d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters