logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Arwah Korban Kecelakaan

"Kenapa, Nez?" 
Aku masih berusaha mengendalikan deru napas yang memburu. Suara-suara itu sangat mengganggu, entah dari mana asalnya. Bude memberiku segelas air minum dan mengipas pelan dengan nampan yang ia bawa tadi. 
Bude khawatir, ia terus bertanya ada apa. Namun, karena napasku masih tersengal-sengal dan panik, ia pun mengerti dan menunggu sampai tenang.
"Bude, tadi ada suara cewek gitu, Bude. Serem banget, Inez takut!" kataku mengadu. 
"Lha? Kok bisa? Dia ngomong apa?" tanya Bude heran.
"Dia ngomong perih gitu, Bude. Kayak kesakitan banget."
"Udah, kamu mungkin kecapean. Lagipula kamu baru dua kali ke kampung Bude. Mungkin suasana kota dan desa beda, jadi kamu agak kaget. Sudah, itu cuma halusinasi," jelas Bude membuatku sedikit tenang. 
Aku menghela napas pelan, berusaha berpikir positif mungkin benar kata Bude. Pertama kali ke desa ini sepuluh tahun lalu, aku masih kecil saat itu. Karena Ayah dan Bunda ada tugas mendadak yang mengharuskan mereka pergi berdua, Bude dimintai untuk menjagaku sementara. 
Tidak ada keluarga di kota sana. Hanya ada Tante Dita yang baru saja melahirkan malaikat kecilnya. Tentu ia akan sangat kerepotan.
Sanak saudara lain? Ayah tak bisa percaya begitu saja meskipun masih berstatus keluarga. Karena dulu Bude sempat mengurusku waktu kecil, Ayah pun lebih percaya kepadanya.
"Sotonya belum habis, Bude?" tanyaku setelah melihat tidak ada mangkuk kotor. 
"Cuma terjual lima porsi hari ini, Nduk. Setidaknya hari ini lebih baik, daripada kemarin hanya tiga porsi." Wajah Bude memelas, aku kasihan melihatnya.
Sebelum ke sini, Bude selalu mengabari Ayah jika usahanya lancar. Orang rela mengantre panjang demi semangkuk soto komplit buatan Bude. Bahkan banyak yang kecewa karena sotonya habis padahal masih banyak yang mau. Namun, segalanya berubah drastis sejak warung soto baru itu ikut berjualan dekat sini. 
"Oh, iya. Soal kecelakaan tadi itu udah diambil jasadnya, Nduk?"
"Udah, Bude sama petugas ambulans. Bekas darahnya masih ada di jalan. Orang-orang pada takut lewat situ," jawabku. 
"Ndak heran, pantes aja mendung."
Aku yang tak tahu apa hubungannya orang kecelakaan dengan cuaca mendung hanya terdiam. Bude menutup termos nasi dan memasukkan suwiran ayam ke kulkas. Sepertinya ia ingin menutup warung. 
"Besok hari terakhir Bude jualan, Nduk," katanya lalu duduk sambil menatap kosong ke bawah. Aku tahu Bude pasti pusing memikirkan usahanya. 
"Jangan sedih, Bude. Insya Allah, ada rezeki lain yang menunggu."
"Nduk, tak bisakah kamu membantu Bude?" Alisku mengerut, Bude ingin aku melakukan apa?
"Kenapa, Bude?"
***
Malam hari setelah berberes warung, aku hendak ke belakang untuk mengantar piring dan mangkuk bersih. Bude dan Pakde izin keluar sebentar, katanya ingin berbelanja di Indoma*et karena sedang promo akhir bulan. Aku pun disuruh menjaga rumah dan jangan melangkah selangkah pun dari teras sebelum Bude pulang. Ya, entah apa alasannya. Sejak dulu Bude memang terlalu menjagaku.
Duk, duk, duk!
Aku meneguk ludah, menoleh ke samping kanan. Lemari tempat Bude menyimpan sendok dan alat berjualan itu bergerak sendiri. Seakan-akan ada seseorang yang terjebak di dalamnya. 
Lemari itu sampai bergeser dari tempatnya. Aku mundur beberapa langkah, meletakkan piring di atas meja kemudian langsung pergi ke luar. Suara apa itu? Mungkinkah ada tikus yang terjebak di dalam sana?
Hatiku bimbang, kalau benar begitu harus diusir secepatnya. Bisa-bisa peralatan Bude dikencingi tikus. 
"Hush, hush!"
Ketika lemari itu kuketuk pelan, terdengar ketukan juga dari dalam. Awalnya kukira hanya kebetulan, tapi setelah aku mengetuk lemarinya tiga kali, suara balasan pun terdengar sama. Merinding, kuputuskan untuk ke ruang tamu menunggu Bude datang.
Sial, mati lampu!
Ponsel, di mana ponselku?
"Bude! Pakde!" Aku menangis karena takut gelap. Ponsel ada di kamar, bagaimana mengambilnya ketika mata tak bisa melihat apa-apa?
"Tolong, carikan bola mataku! Perih!"
Tiba-tiba punggung terasa sangat berat seakan menggendong seseorang. Suara itu lagi, mengapa dia sangat suka menggangguku?
"Budeee!" Aku terus berteriak meski tahu Bude tidak ada di rumah. Beberapa menit kemudian, lampu kembali nyala meski kedap-kedip. Mungkin listriknya tak kuat, maklum desa. 
Aku langsung bergegas mencari lilin dan korek api, jaga-jaga bila mati lampu lagi. Setelah itu ke kamar mengambil ponsel. 
Entah salah ingat atau bagaimana, ponsel yang sebelumnya kutaruh di atas meja kini berada di atas ranjang. Duduk sebentar men-scroll beranda Facebook, orang-orang masih membahas tentang kecelakaan itu. Membosankan. Mirisnya, ada beberapa akun yang menyebar foto korban. Aku hanya memberi komentar agar lebih bijak dan menjaga privasi. Kasihan keluarga korban jika melihat banyak postingan tersebut.
Ketika hendak keluar, aku melewati cermin perlahan. Namun, selangkah lebih maju kusadari ada yang aneh. Mundur lagi, menatap diri sendiri. Kaca ini memantulkan bayanganku, bukan?
Tok, tok, tok!
Itu pasti Bude!
Aku berjalan cepat menuju pintu depan dan memutar kenop. Bude diam bergeming, kepalanya tertunduk sambil menenteng sesuatu. Aku celingukan mencari di mana Pakde.  
"Bude, kenapa sendirian? Pakde mana?" tanyaku penuh selidik. 
Bude hanya menggeleng, kemudian mendongak perlahan. Sungguh, aku ingin berteriak melihat wajahnya yang sangat pucat. Di sisi lain khawatir dan mulai bertanya-tanya.
"Muka Bude pucat banget. Bude sakit?" Lagi-lagi ia menggeleng, tatapannya kosong ke depan. Aku tak mengerti apa-apa. 
Bude memberiku sebuah plastik hitam dan memberi isyarat agar diam dengan meletakkan jari telunjuk di bibir. Aku manggut-manggut padahal aslinya kebingungan sendiri. Ketika hendak membuka plastik tersebut, ia langsung berdeham seakan menegur. Aku terkejut dan kembali mengikat plastik tadi. Gemetar, sekujur tubuh terasa merinding. Bude tak pernah sedingin ini.
"Inez masuk, ya, Bude?" ucapku lalu berbalik badan. Takut melihat Bude yang diam membisu seperti itu. 
Belum ada satu meter melangkah, Bude memanggil lagi. Dengan malas aku kembali ke pintu depan.
"Iya, kena—"
"Cepat, bantuin Bude bawa belanjaan! Berat ini!" pintanya.
Aku menganga, Bude baru datang? Lalu, yang tadi itu siapa?!
"Kenapa bengong, Inez? Ayo bantu!"
"Bude? Bukannya ta–tadi Bude udah pulang?" tanyaku kebingungan. Wanita berkerudung hitam itu meletakkan barang belanjaan di lantai lalu berkacak pinggang. 
"Ngomong apa kamu, Nez? Bude baru nyampe! Itu Pakde di motor."
Seketika lututku terasa lemas, samar-samar mata menangkap sosok menyeramkan di belakang Bude. Ia tersenyum lebar meski wajahnya setengah hancur dengan mata bolong.
Kutatapi sosok itu dari atas ke bawah dan mulai menyadari sesuatu. Pakaian yang dikenakan tampak tak asing. Dengan napas tersengal-sengal, aku berusaha mengusir ia dalam hati.
"Bu–Bude ...," lirihku tertahan sambil menunjuk arwah gadis di belakangnya. Aku mulai putus asa karena sosok itu tak mau pergi.
"Carikan bola mataku!"
***

Book Comment (466)

  • avatar
    sulistiowatiEndhah

    ceritanya bagus, alurnya jelas

    19/05/2022

      0
  • avatar
    azzahrazulaika

    bagus sekali ceritanya

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Arisky Agung

    bagus banget novel ini sangat seru untuk di baca dengan siapapun

    13/05/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters